tentang-hati

Oleh : Zein Ave

Aku mengantar Rya pulang usai dari pesta pernikahan kawan kami, sedikit jauh dari rumahnya, sekitar 15 menit melaju dengan kecepatan 90 km/jam. Tidak ada cerita atau ocehan tentang si ini, si itu dan mereka selama perjalanan. Kami membisu, sesekali klakson serta riuh kendaraan mengisi keheningan hingga sampai di pelataran rumah kekasihku. Maklum, ini kali kedua kami dipertemukan dan ntah apa alasannya memintaku mengantarkannya pulang.

“Masuklah..”, ucapnya lembut sesaat sebelum mengucap salam dan membuka daun pintu.

Awalnya aku hanya ingin sekedar mengantarnya dan langsung berpamitan tapi saat menatap teduh matanya bibirku mengucap kata-kata diluar niatan awal, “aku diteras saja, sepertinya asyik menikmati kopi sembari melihat kunang-kunang kalau ada.”, timpalku dengan sedikit melempar senyum ke arahnya.

Tak aku duga Rya menangkapnya dan membalas melempar senyum padaku seketika dan berlalu. Senyumnya tertinggal lalu menghampiriku yang duduk bersandar di sandaran kursi teras. Bersama itu aku teringat hari dimana kami dipertemukan, di bawah bayang mata tanpa terduga. Ditepi perairan hangat pemandian, mata-mata tajam membidik direntang busur, terarah pada titik bagian sensitif perasaan kami, lebih tepatnya aku. Untunglah sebagai seorang perempuan, Rya mengejawantahkan rasa sabar, “mungkin mereka iri“, ku dengar ia membisik lembut. Aku dicabutnya dari amarah seketika.

Cahaya lampu mobil menyilaukan penglihatanku. Aku terhempas dari arus lamunanku yang mengalir begitu saja tanpa terikat durasi. Mobil itu melesak dalam garasi samping rumah.

Tak ku tahu dari dalam atau mana seorang pria dengan kumis tebal itu menghampiriku dan menyapa, “eee… ada tamu to, datang sama Rya?“.

Bergegas aku berdiri, mengulurkan tangan bersalaman, “iya, pak“, jawabku. Tengkukku terasa berat sekali dan seakan memang memintaku untuk lebih tertunduk, kucium tangan beliau.

Nduk, kalau bikin kopi, bapak juga mau“, seru beliau.

Terlintas dalam pikiranku, bakalan terjadi hal yang berat ini. Bapak juga minta diseduhin kopi, ngalamat panjang ini ngobrolnya. Aku mencoba untuk tenang, sebagaimana seorang publik figur menghadapi lawan bicaranya.

“Santai saja, kebetulan bapak memang belum ngopi, jadi ya sekalian.. hehe“. Sepertinya bapak itu tahu apa yang tersirat dalam benakku. “oh iya, sampean namanya siapa? Kok sepertinya tidak asing lagi“, lanjutnya.

“Saya, Aji, pak. Priyambada Pangestu Aji, lengkapnya..”. Dalam hati aku bertanya, bagaimana mungkin tidak asing, lha wong saya bertemu pertama kali ini. Sebelumnya aku juga belum pernah menginjakkan kaki di daerah sini.

“Rya tadi berangkatnya sama bapak dan ibu, mau bapak jemput, eh.. sudah dirumah sama nak Aji, ya ini bukan suatu kebetulan mungkin memang nak Aji yang saya tungu-tunggu itu “.

Rasanya ingin aku menepuk rembulan agar merangkak lebih cepat ke peraduannya, dugaanku tentang sesuatu yang berat itu semakin tergambar jelas. Aku menyalakan rokok untuk mengusir prasaan was-was ini dan menangkal kecut di bibir yang mendadak mengering. Namun disisi lain ada tarikan yang membuatku ingin mendengarkan lebih tentang apa yang mau disampaikan bapak.

Seakan direncanakan tepat pada waktunya, Rya keluar membawa nampan dengan cangkir di atasnya yang tentunya berisi larutan kopi untuk membasahi tenggorokanku yang asat seketika. “kopinya, mas.. Abi..”, Rya meletakkan cangkir-cangkir itu di meja kemudian memposisikan pantatnya di kursi sebelah abinya.

“ Ayo diminum, nak Aji..”, bapak menyesap kopinya dan melanjutkan, “membangun rumah megah di atas tanah labil dan goyah itu ya rawan ambruk lho ya..”.

Aku tertunduk, menggapai cangkir di depanku lalu menyeruputnya perlahan kopi yang mengepulkan asap. Sambil menyesapi lidah menikmati pahit setengah ada asamnya kopi seduhan si Rya, aku melirik Rya turut menyimak wejangan abinya dengan kepala sedikit tertunduk. Tidak dapat kupastikan dia paham atau tidak, tapi kelihatannya dia memang paham.

Bapak pun melanjutkan lagi, “maka pondasinya juga harus benar-benar kuat, nak. Taubatnya ditata dulu yang baik dan benar. Tanpa dilandasi taubat yang baik dan benar seorang pecinta tidak akan mudah menggapai cintanya, ini urusan hati.. Ora gampang”. Beliau diam sejenak, sepertinya memberiku waktu untuk memahami setiap makna terkandung dalam kata-katanya.

Lain dari mencerna tapi ntah kenapa tiba-tiba pikiran serta perasaanku bagai benang-benang, terajut membentuk sebuah jala sang nelayang yang dengan sengaja sang nelayan melempar ke belakang. Mendiamkannya sejenak lalu menariknya secara perlahan membawa ikan, kerang, bahkan sampah. Aku beberkan, di suatu ketika pernah aku mendapati kesenangan atau bahkan ketentraman, sepenggal peristiwa melawan ketakutan atas dunia. Hari ke-hari ketakutan berhasil aku tundukkan, ia menghilang begitu saja. Aku seperti halnya air sungai yang mengalir, paham dan tau lika-liku menuju muara. Aku terlena atas kesenangan itu, aku tergelincir keluar dari sungai dan terendap tak sampai ke muara.

“ hek..he…”, bapak itu terkekeh. Sebelum beliau melanjutkan mencecep kopi, sembari menghembuskan asap tatapan matanya tajam melontarkan pertanyaan dengan nada kalem sekali, “ kenapa bisa begitu, nak? “

Apabila diibaratkan, aku tlah terjerembab di suatu tempat yang gelap gulita tanpa cahaya, tidak ada jalan terlihat olehku untuk kulangkahkan kaki menuju taman indah penuh bunga–bunga wangi nan terang, menjumpai kekasih yang telah menunggu. Tidak satupun orang mendengar teriakanku, sementara hasratku memijakkan kaki di taman menggebu–gebu. Berulang–ulang doa kupanjatkan untuk mencapai taman, aku melangkah lagi penuh keyakinan dan sampailah aku pada lembah, kekasihku tak kunjung kujumpai. Hingga suatu ketika aku pasrah, bukan berarti berputus asa, bertanya – tanya tentang apa salah dan dosaku hingga seperti ini. Tak henti-henti berdoa, memohon ampunan atas dosa-dosaku, tersisihkan hasratku tentang taman bunga itu. Usai beberapa waktu yang tidak sebentar.

Mungkin inilah kuasa Ilahi, saat aku mencoba kembali melangkahkan kaki, aku tak peduli lagi apabila ada ular yang gigitannya akan mampu membuat menggigil atau taring serta cakar macan akan mencabik-cabik tubuhku, tiba-tiba ada cahaya yang indah menerangi jalan, aku berfikir bahwa cahaya terang memukau indah itu adalah sorotan dari lampu taman. Kususuri jalan arah cahaya penuh kegembiraan, aku semakin terlena keindahannya. Semakin jauh aku menyusurinya berselindung dalam bayangan ternyata kealpaan, kosong tanpa apa-apa, hanya tanah tandus nan kering kujumpai. Resah dan gulana merindukan kekasihku, sedang aku tersesat dalam rindu.

“ Ya seperti yang bapak katakan diawal tadi to, nak.. Cara taubat, pada dasarnya memang cukup dengan menyesali dan mengakui dosa-dosa yang dilakukan. Secara berurutan, bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa dirinya adalah orang baik, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk kekasih Tuhan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam melakukan taubat, dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai Allah. Puncaknya, seseorang bertaubat dari lupa bermusyahadah kepada Allah, walau sekejap. Jika pondasi sudah kuat nanti belajar juga bab menundukkan nafsu, bagian dari jiwa manusia yang selalu mengajak kepada kejahatan dan penyelewengan. “, tutur bapak dalam diamku.

“Sebagai pengantar, misal, kalau nak Aji kemari hanya untuk bertemu dan mendapatkan Rya ya jangan harap akan mengobrol dengan bapak babakan ini tadi. Nah, kalau nak Aji datang kemari dengan tujuan ngobrol sama bapak bab ini tadi dengan otomatis bertemu Rya pas ngantar kopi. hehe”, lanjut beliau dengan santai.

Cangkir bapak terlihat memang sudah asat, beliau berdiri dan membisikkan sesuatu ke telingaku lalu pergi meninggalkan kami. Sementara itu pantatku terasa berat untuk kuangkat, padahal ini sudah jam malam untuk bertamu ke rumah perawan, harus segera berpamitan.

“Abimu memang begitu ke setiap teman lelakimu?”, aku mencoba membuka pembicaraan dengan Rya sembari menetralisir pikiran serta perasaanku yang masih berkecamuk kalut ini.

“Baru mas Aji, temanku laki-laki yang datang kemari dan mengobrol begitu santainya dengan abi “.

“Santai gundulmu“, umpatku dalam hati. Rya tidak tahu betapa keras berdetak jantung ini serasa moncong pistol tertempel tepat diatas telingaku sedang si empunya bersiap menekan pincu melesatkan peluru menembus kepalaku.

“Ya sudah, bapak dan ibumu dimana? Aku mau pamit pulang..”, aku berdiri sembari mengecek tata letak kemeja maupun celanaku.

“ Umi tadi nemenin adek dikamar, adek sakit sedari tadi rewel. Kalau Abi biasanya jam segini itu ngaji bareng para santri di depan, mas  “.

“ Santri? Pesantrennya dimana? “, tanyaku, sambil menunjukkan ekspresi yang memang bertanya-tanya heran.

“ Sebelum kita menginjak plataran rumah ini, memang mas tidak sadar kalau memasuki kawasan pesantren? “, jawab Rya sambil agak melongo.

Jeddiiiaarrrrr… Bodoh mendadak, logikaku benar-benar tidak bisa mengolah dan menjelaskan dengan kata-kata tentang apa yang aku rasakan saat mendengar jawaban Rya, sungguh aku sendiri tidak mengerti yang terjadi sebenarnya dengan diriku saat ini.

“ Memangnya tadi Abi berbisik apa sama mas, Aji? “, sambar Rya ketika melihatku tampak terbengong.

“ Tidak jelas, Rya.. kumis Abimu menusuk-nusuk telingaku, geli..”, sahutku sekenanya dan menuntun motorku sampai gerbang pesantren.

2 comments
Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Cerita Pendek: Cincin Mahar Laila

  Ahad Pahing, sore menjelang buka puasa wetonnya, Bambang Sumbada, tegak berdiri…

MAWAR BERDURI [Cerpen]

Oleh: Zein Ave* Saya tidak tahu apakah burung juga meludah sembarangan. Layaknya…