Oleh: Misbahus Surur*
ESAI — Beberapa hari lalu secara tak sengaja saya menemukan video penggalan ceramah Pak Khalid Basalamah, Pak Adi Hidayat, yang dijadikan satu dengan tanggapan Gus Baha’, di media sosial. Sepertinya, video tersebut sudah agak lama, saya saja yang telat nonton. Ceramah berisi ihwal kontroversi zikir huw.. huw.. huw.. (هو.. هو.. هو..) yang diamalkan oleh sebuah tarekat. Tulisan ini tentu tidak bermaksud ikut meramaikan wacana atau anggapan ke-bid’ah-an zikir yang kerap dipraktikkan tarekat Syattariyah tersebut. Penulis sudah pasti tidak kompeten ikut membahasnya. Dalam persoalan tersebut, penulis cukup ber-sami’na wa atha’na dan tumut menjadi santri jarak jauhnya Gus Baha’.
Jadi, tulisan ini sebenarnya akan menyorot komentar Pak Ustadz Adi Hidayat perihal penggunaan nama Siti. Di video itu Pak Adi menganjurkan agar zikir huw.. huw.. huw.. dibaca secara utuh. Lalu, Pak Adi menganologikan dengan kebiasaan orang Indonesia. Kata Pak Adi, bahwa kendati tidak semuanya, orang Indonesia suka meringkas-ringkas, salah satu contoh yang dikemukakan adalah penggunaan nama siti yang disinyalir diringkas dari sayyidati dalam bahasa Arab. Titik tekannya pada “meringkas”, dan “identik dengan orang Indonesia”. Penulis akan urun uneg-uneg mengenai persoalan benarkah orang Indonesia umumnya suka meringkas? Lebih khusus, benarkah siti diringkas dari bahasa Arab sayyidati?
Benarkah Siti kependekan dari Sayyidati?
Tapi sebelum itu, mari kita membahas ini dulu. Sejak zaman para wali, agama Islam memang disebarkan ke Nusantara, khususnya di Jawa, menggunakan pendekatan budaya. Kalau dikaji sekarang, para wali ini strateginya jitu dengan pertimbangan yang sangat matang, seolah sudah tahu bahwa agama membawa norma-norma normatifnya sendiri yang akan sulit diterima, bila memaksa didakwahkan dengan cara normatif. Lebih-lebih sasarannya adalah masyarakat Nusantara, khususnya Jawa, yang sebelum kedatangan Islam, jelas-jelas sudah berbudaya dan berperadaban tinggi. Kalau memaksa menyebarkan ajaran agama secara normatif, bisa-bisa malah menebarkan ketegangan dan benturan. Alih-alih agama Islam lempang diterima dengan baik seperti sekarang.
Karena budaya penduduk Nusantara yang sudah tinggi, para wali lantas berkreasi menggunakan strategi budaya untuk menyebarkan nilai-nilai taken for granted-nya agama. Budaya dinilai lebih berwajah ramah, lentur dan adaptif dalam menjawab kebutuhan dan tuntutan (situasi) lokal.
Selain budaya, agama juga disebarkan menggunakan pendekatan tasawuf (teosofi) yang dinilai lebih dekat dengan gaya hidup mistik masyarakat Nusantara. Pengajaran agama melalui budaya dan tasawuf ini, menjadikan agama lebih arif dan tidak kaku. Karena dakwah dilakukan dengan metode yang tidak asing dengan situasi dan kondisi masyarakat lokal, nilai-nilai agama pun menjadi lebih mudah diserap; lebih cepat merasuk ke dalam jantung pemahaman masyarakat awam.
Sebagai ibarat: pada umumnya orang awam menyukai nilai-nilai yang taken for granted dalam agama, belum tentu untuk pertama-tama karena aspek-aspek normatifnya, melainkan lebih sering karena keindahan bungkus yang diakomodasi dengan baik menggunakan peranti budaya. Pada zaman wali, media kebudayaan seperti wayang secara efektif digunakan untuk menginternalisasi nilai-nilai agama: misalnya mengajarkan moral ke masyarakat untuk menjauhi kebiasaan mo limo. Adapun budaya yang menjadi media tersebut, yakni wayang, sudah ada dan dikenal dekat dalam kultur masyarakat Jawa itu sendiri (seperti wayang beber yang sudah ada jauh sejak era Majapahit).
Jadi, para wali tidak mengambil budaya berwujud media baru dari tempat lain yang jauh, yang tentu akan dianggap asing oleh masyarakat setempat dan lebih susah digunakan untuk berdakwah (akan susah ditangkap masyarakat lokal). Di situ, para wali mengembangkan budaya yang sudah ada dan digemari masyarakat. Hanya muatannya saja yang diselipi ajaran dan nilai-nilai agama.
Berbeda dengan metode dan corak dakwah agama yang diajarkan di zaman para wali, di era kini, dakwah agama kerap disiarkan menggunakan ilmu-ilmu yang dikenal berwatak kaku, seperti memformalisasikannya menggunakan pendekatan pure fikih yang hitam putih (tanpa toleransi). Ada kecenderungan, beberapa penceramah agama di televisi sengaja mempuritanisasi agama dan mengedepankan aspek-aspek formalnya, seperti menonjolkan simbol-simbol dalam berpakaian dan berbahasa yang sebetulnya bagian dari budaya lokal bangsa lain (simbol jubah dan cadar yang aslinya adalah budaya lokal Arab dianggap representasi Islam; atau bahasa ana dan antum sebagai ganti saya dan kamu). Di situ, bagi kita, menjalani agama jadi kelihatan kaku dan tidak bahagia. Apa yang para penggerak formalisme agama itu anggap sebagai islamisasi, kalau betul-betul kita cermati, sebetulnya banyak yang tak lebih dari sekadar Arabisasi (melokalkan kultur Arab di tempat ini).
“Ada kecenderungan, beberapa penceramah agama di televisi sengaja mempuritanisasi agama dan mengedepankan aspek-aspek formalnya, seperti menonjolkan simbol-simbol dalam berpakaian dan berbahasa yang sebetulnya bagian dari budaya lokal bangsa lain”
Dengan menggunakan simbol-simbol yang tidak dekat dengan keseharian masyarakat (jubah, surban, cadar) dan cara berbahasa (ana, antum, dst), beragama jadi tampak asing dan kehilangan keakraban dengan kultur masyarakat setempat dan aspek-aspek lokalnya. Orang beragama sekaligus mereka juga terpaksa tercerabut dari akar budaya keseharian, dan secara umum tercerabut dari budaya bangsanya sendiri. Agama tampak tidak menjadi rumah yang menaungi hal-hal remeh yang menjadi ingatan dan memori bersama masyarakat di ranah lokal, selain tidak ramah bagi keragaman sebagaimana saat agama Islam pertama kali berjumpa dan berdialog dengan situasi lokal di zaman wali-wali.
Zaman dulu penyebaran agama menggunakan adaptasi istilah/bahasa, misalnya untuk digunakan menamai anak: nama Siti yang diidentikkan dengan kalimat Sayyidati. Perjalanan dari sayyidati ke siti ini bukan sekadar sesederhana meringkas. Langkah tersebut adalah bagian dari usaha meng-kosmologi-kan hal-hal yang berbau Arab ke dalam jagad Nusantara (lokal), khususnya Jawa. Tentu saja prosesnya tidak sesempit kegiatan meringkas, seperti yang Pak Ustadz Adi Hidayat bilang. Ada unsur dakwah dalam hal memberi nama, dengan menggunakan kosmologi lokal. Dan itu sudah merupakan bawaan dari tradisi dan strategi budaya masyarakat Nusantara sejak era sebelumnya, yakni sejak zaman Hindu-Budha dan sebelumnya.
Sejak zaman Hindu-Budha, kitab-kitab asal India oleh orang Jawa (para empu di Jawa) disadur (dikosmologikan) ke dalam budaya Indonesia, maka lalu lahir kitab Arjunawiwaha, Bharatayuddha dst, yang dalam hal latar (kosmos/semestanya) agak berbeda dengan latar/setting kitab aslinya yang berasal dari daratan India sana, meski landasan-landasan pokoknya tetap sama. Maka, secara budaya, orang-orang Hindu di Indonesia pun berbeda dengan pemeluk Hindu yang berada di India sana. Begitu juga dengan orang Islam di Indonesia, tak harus berbudaya sama dengan mereka yang ada di Arab.
Sebagai contoh lagi, kisah kepahlawanan paman Nabi, Hamzah, yang diadaptasi oleh masyarakat Jawa Islam menjadi hikayat Amir Hamzah (dengan mengambilnya dari versi Persia). Hikayat Dzulkarnain yang diadaptasi dari kisah Alexander Dzulkarnain, Serat Rama yang disadur oleh pujangga Mataram, Yasadipura, dari kakawin Ramayana, dan masih banyak lagi.
Di situ, saya yakin mula-mula nama siti memang bukan berasal dari peringkasan kata sayyidati. Siti adalah ungkapan asli/lokal yang berarti bumi atau tanah. Lalu siti dimaknai dekat dengan sayyidati oleh penyebar agama awal, yakni para wali, untuk mengakrabkan agama dengan budaya masyarakat setempat. Sebab, para ulama penyebar Islam pertama tidak mencerabut masyarakat dari akar tradisi dan akar kebudayaan lokalnya.
Kalaulah orang Islam di Jawa kini merasa kata siti berasal dari kata sayyidati, itu karena saking dekatnya agama berharmoni dengan budaya setempat. Meski pada mulanya itu adalah teknik yang digunakan para wali (pendakwah Islam awal) dalam mengakomodasi—atau istilah Gus Dur mempribumisasi—budaya Islam dengan istilah yang sudah ada dalam bahasa lokal tersebut. Sebab sejak zaman Hindu dan Budha memang orang Indonesia berperadaban tinggi, sehingga secara kebudayaan, baik Hindu, Budha, maupun Islam sendiri, tak bisa serta-merta menghegemoni budaya setempat, kecuali saling bersinergi dan berjalan beriringan (memberi dan menerima). Sehingga akan melahirkan kultur budaya dan kearifan baru yang sangat kaya, sebagai wujud dari harmonisme perjumpaannya dua entitas. Kalau jalan menghegemoni dilakukan, yang terjadi adalah benturan (clash), dan sangat mungkin, agama tidak akan tersebar dengan baik seperti sekarang.
Justru, Islam datang dan akrab dengan budaya lokal. Islam turun di Arab, dan beradaptasi dengan budaya lokal Arab. Saking akrabnya, orang sering mengira bahwa budaya Arab yang beradaptasi dengan Islam, dianggap sebagai budaya Islam. Padahal penampakan yang paling sering kita lihat dan tirukan adalah penampakan dari budaya lokal Arab (arabisasi). Sebab, Islam turun di Tanah Arab juga tidak mencerabut budaya lokal Arab.
“Siti dimaknai dekat dengan sayyidati oleh para wali untuk mengakrabkan agama dengan budaya masyarakat setempat.”
Begitu pula tatkala Islam datang ke Nusantara, ia juga berdaptasi dengan budaya lokal. Islam tidak mencerabut orang-orang Indonesia dari budaya lokalnya. Jubah dan surban adalah budaya lokal Arab, begitu pula sarung dan songkok adalah budaya lokal Indonesia. Jadi kecenderungan gerakan Islamisme dan formalisasi agama yang mengidentikkan Islam dengan jubah, cadar, surban, tulisan Arab dan lain-lain sebagai ciri Islam atau Muslim, sebetulnya adalah motivasi-motivasi yang kecele dan amat terkungkung. Mereka tidak bisa membedakan mana agama dan mana yang ekspresi agama (yang berkaitan dengan budaya lokal). Budaya sangat penting peranannya dalam internalisasi nilai-nilai agama, di situlah peran (ke)budaya(an) yang tidak bisa diabaikan dan disepelekan.
Agama yang bersumber dari wahyu bersifat normatif dan cenderung kaku, sementara budaya yang berasal dari manusia bersifat lentur dan adaptif. Budaya adalah perihal konteks ruang dan waktu yang dinamis serta senanatiasa berubah, sementara agama membawa ajaran-ajaran bersifat statis dan tetap. Lalu bagaimana mendialogkan sesuatu yang tetap (statis) ini dalam kondisi yang terus bergerak dinamis?
Gus Dur pernah mewacanakan gagasan pribumisasi Islam, menyebarkan nilai-nilai agama dengan pendekatan budaya lokal. Kurang lebihnya, seperti pendekatan agama menggunakan peranti budaya seperti di atas. Namun di situ, agama tidak ditempatkan secara subordinat atau sekunder di bawah budaya, juga tidak menggunakan jalan sinkretisme. Pribumisasi Islam adalah perihal bagaimana agama bisa mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan dan kearifan lokal, tanpa mengubah doktrin-doktrin pokoknya.
Kenapa persebaran dan dakwah agama di Indonesia menghasilkan budaya Islam lokal yang bisa diterima dan kuat bertahan hingga sekarang seperti diba’, puji-pujian sufi, sarung, baju koko dan seterusnya? Justru itu menunjukkan bahwa agama disebarkan dengan arif dan bijaksana tanpa paksaan atau jalan pem-bid’ah-an pada yang lain (pengafiran). Agama disampaikan belasan abad lampau dengan cara luwes dan jembar, bukan menggunakan sarana intimidasi, ancaman dan menakut-nakuti. Artinya, bahwa penyebaran agama menggunakan pendekatan budaya adalah jalan yang paling gampang diterima manusia di berbagai tempat, ketimbang jalan ngotot, keras sambil membawa pentungan, yang tak jarang kerap memakan korban.
Lalu siapa akan menjamin, agama yang didakwahkan secara keras, ngotot, tidak toleran bahkan dengan intimidasi, akan bisa bertahan dan dapat berumur panjang ratusan tahun, sebagaimana contoh dakwah indah yang telah dilakukan dan diakomodasikan para wali di Tanah Jawa menggunakan peranti budaya lokal masyarakat setempat? (Wallahu ’alam)
* adalah warga NU kultural dan pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, UIN Maliki, Malang. Ia menulis buku Trenggalek pada Suatu Pagi (2017) dan Sebelum Trenggalek Kini: Remah-Remah Peradaban Kerajaan Agraris (2019)
3 comments
terimakasih ilmunya
Sae
terima kasih banyak untuk pencerahannya