Oleh: Ust. Afrizal el Adziem, Lc, MA*
Sejarah puasa Ramadan tidak terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Saw yang merupakan pemisah antara periode dakwah di Makah dan di Madinah. Peristiwa Hijrah juga merupakan starting point (titik awal) keberhasilan Nabi dan para Sahabat dalam menegakkan ajaran Islam. Setelah Nabi Saw berada di Madinah, banyak ayat-ayat Al-Qur’an tentang hukum yang diturunkan, salah satunya kewajiban berpuasa.
Ketika Nabi Saw. berada di Madinah, beliau hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (puasa Asyura) dan 3 hari setiap bulan (puasa Ayyamul Bidh). Puasa Ayyamul Bidh ini dilakukan pada pertengahan bulan, dimulai tanggal 13 dan berkahir tanggal 15 setiap bulannya.
Kemudian Allah Swt. mewajibkan puasa Ramadan dengan menurunkan surat al-Baqarah, ayat 183–184:
“Wahai orang–orang yang beriman diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan orang–orang sebelum kamu. (Yaitu) beberapa hari tetentu. Maka barangsiapa diantara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka wajib mengganti sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari–hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin”.
Ketika kedua ayat ini diturunkan, umat Islam bebas memilih antara berpuasa atau tidak berpuasa. Bagi yang tidak berpuasa, wajib memberi makan orang–orang miskin.
Kemudian Allah Swt menurunkan surat al-Baqarah, ayat 185: “Barangsiapa diantara kamu ada di bulan itu (Ramadan), maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka wajib mengganti sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain”.
Ketika ayat ini diturunkan, semua umat Islam yang bermukim di Madinah atau di tempat lain wajib berpuasa, kecuali orang yang sakit atau bepergian. Namun, mereka harus mengganti semua puasa yang ditinggalkannya pada hari lain. Sedangkan bagi orang yang sudah tua dan tidak mampu berpuasa, maka diganti dengan membayar fidyah.
Pada saat ketiga ayat ini turun, belum ada ketentuan yang jelas mengenai batasan–batasan kapan boleh makan–minum dan kapan tidak boleh. Akibatnya, ada beberapa sahabat yang tidak sempat berbuka dan sahur sebelum berpuasa di hari berikutnya.
Salah satu sahabat yang mengalami hal demikian adalah Qais bin Shirmah al-Anshari. Dia sehari-harinya bekerja sebagai buruh di kebun kurma. Suatu hari, Qais sedang berpuasa Ramadan dan pulang ke rumahnya ketika waktu berbuka tiba. Namun, di rumahnya tidak ada makanan untuk berbuka, sehingga istrinya harus mencarikan makanan untuk Qais. Setelah mendapatkan makanan, istri Qais melihat suaminya sudah tertidur pulas. Karena takut mengganggu suaminya, maka Qais tidak dibangunkan sampai Subuh. Keesokan harinya, Qais yang belum makan sejak hari sebelumnya, pingsan pada saat bekerja. Persitiwa ini langsung dilaporkan kepada Nabi Saw.
Tak lama setelah Nabi Saw menerima laporan tersebut, Allah Swt menurunkan surat al-Baqarah, ayat 187:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, ketika kamu beri’tikaf di dalam mesjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”.
Kisah sahabat Qais diatas merupakan kejadian yang melatarbelakangi turunnya surat al-Baqarah ayat 187. Ayat ini menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Ayat ini menjelaskan beberapa ketentuan yang belum ada pada ketiga ayat sebelumnya, yaitu waktu berbuka puasa dan diperbolehkannya berhubungan suami istri pada malam hari bulan Ramadan.
Tahapan-tahapan yang sudah penulis jelaskan di atas merupakan treatment atau media latihan bagi umat Islam. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib umat Islam seandainya Allah Swt langsung mewajibkan puasa sebulan penuh tanpa terlebih dahulu membiasakan puasa tiga hari setiap bulan dan puasa tanggal sepuluh Muharram. Sudah barang tentu, mereka akan merasa kesulitan, apalagi mereka masih dalam tahap awal dalam menerima beberapa kewajiban dari Allah Swt.
Wallahu A’lam.
* Pengasuh PPM Raden Paku, Surodakan, Trenggalek. Alumni Al Azar Kairo ini juga aktif di RMI PCNU Trenggalek serta GP Ansor.
Referensi:
- Muhammad bin Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, juz. 5, h. 278
- Ibnu Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wil al Qur’an, juz. 3, h. 419
- ‘Ali al Shabuni, Tafsir Ayat al Ahkam, juz. 1, h. 81
- Al Tafsir al Wasith li al Qur’an, Muhammad Sayyid Thantawi, juz. 1, h. 393