
Pada masa berkabut: tahun duka
Peristiwa agung itu terselenggara
Sebagai pelipur hati yang tengah
Dirundung nestapa, juga rahmat
Bagi semesta—
*
Sesaat menjelang keberangkatan
Menuju Madīnah, Kota Cahaya
Al-Mustāfā diperjalankan bersama
Sahabatnya, al-Rūh al-Amīn—Jibrīl:
Menyibak keheningan malam;
Menembus tapal batas langit.
*
Yang Tersucikan bertandang untuk
Melihat pesona tahta Yang Mahasuci:
Sang Ahmad dan Sang Ahad
Kini dalam persuaan tak terkata;
Dalam ribaan keluhuran dan
Limpahan kemuliaan tak tertara—
*
Sang Kekasih yang pergi karena
Cinta, kembali pun demi cinta:
Membawa mata air kedamaian;
Pelita jiwa umat manusia: “Shalat”.
*Surya Qalandar, Kediri, 2017.
_________
Karen Armstrong dalam karyanya, Muhammad; Prophet for Our Time, mengatakan bahwa kisah pertama tentang “perjalanan malam” (isrā’) ini ditemukan dalam biografi abad VIII karya Ibn Ishāq. Dalam kisah yang panjang ini, Jibrīl mengangkat Sang Kekasih ﷺ ke atas burāq, dan bersama-sama mereka terbang menembus malam menuju Yerusalem.
Di sana mereka turun di atas situs Kuil Yahudi kuno, yang dalam Al-Qur’an disebut “al-Aqsā”. Mereka disambut oleh Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa, dan semua nabi-nabi besar di masa lalu, yang menyambut Sang Kekasih ﷺ ke dalam persaudaraan mereka dan mengundangnya untuk menyeru bersama mereka.
Setelah itu, para nabi shalat bersama-sama. Kemudian sebuah tangga dibawakan, dan Sang Kekasih ﷺ beserta Jibrīl naik ke langit yang pertama dari tujuh langit dan mulai mendaki hingga singgasana Tuhan. Pada setiap tingkat, Sang Kekasih ﷺ bertemu dan berbicara dengan sebagian nabi utama.
Nabi Adam menduduki langit pertama. Di sini, Sang Kekasih ﷺ diperlihatkan penampakan neraka; diperlihatkan Nabi Isa dan Nabi Yahya berada di langit kedua; Nabi Yusuf di langit ketiga; Nabi Idris di langit keempat; Nabi Musa dan Nabi Harun di langit kelima dan keenam; dan akhirnya Sang Kekasih ﷺ bertemu dengan Nabi Ibrahim di langit ketujuh, di gerbang menuju wilayah ketuhanan.
***
- Baca juga: Tingkatan Puasa Tertinggi dan Ketakwaan
Antara Sang Kekasih ﷺ dengan Nabi Musa ada cerita menarik saat itu. Seperti kerap kita dengar dalam cerita seputar mikrajnya Sang Kekasih ﷺ bahwa terjadi tawar-menawar antara beliau ﷺ dengan Sang Pencipta karena bisikan Nabi Musa.
Ketika mendapatkan perintah shalat, Sang Kekasih ﷺ kemudian diingatkan oleh Nabi Musa bahwa umat tak akan sanggup melaksanakan perintah shalat yang begitu banyak. Akhirnya, Sang Kekasih ﷺ kembali menghadap Sang Pencipta dan memohon keringanan untuk umatnya.
Diceritakan bahwa kejadian tersebut berlangsung beberapa kali hingga kewajiban shalat hanya menjadi lima waktu per hari. Menurut para sufi, sesungguhnya yang mendorong Nabi Musa untuk membisiki Sang Kekasih ﷺ dan memintanya untuk kembali menghadap Tuhan adalah karena pada saat Sang Kekasih ﷺ menghadap Tuhan, beliau menyaksikan Wajah-Nya dan mendapatkan pancaran murni Cahaya dan Keagungan-Nya.
Ketika Sang Kekasih ﷺ menemui Nabi Musa, pantulan Cahaya Ilahi itu juga ikut terpantul kepada Nabi Musa. Oleh karena itu, Nabi Musa menginginkan Sang Kekasih ﷺ untuk terus kembali menghadap Tuhan sehingga ia juga akan terkena dampak transmisi Cahaya Keagungan-Nya.
***
Sebagian besar penulis secara khidmat membiarkan kisah tentang penampakan Tuhan di bagian akhir tetap samar, karena Dia merupakan kenyataan absolut yang tak terucapkan secara harfiah, terletak di luar jangkauan kata-kata (meminjam istilahnya Otto: “mysterium tremendum et fascinans”—misteri yang meng-getar-kan sekaligus meng-gentar-kan). Sang Kekasih ﷺ harus meninggalkan konsep manusia biasa, menuju apa yang ada di balik “Sidrah al-Muntahā”, batas terjauh pengetahuan duniawi.
Bahkan Jibrīl tidak bisa menemaninya pada tingkatan terakhir perjalanan ini. Dalam Al-Rashafāt; Percikan Cinta para Kekasih karya Habib Ismail Fajrie Alatas diterangkan bahwa ketika Sang Kekasih ﷺ mikraj ke hadirat Yang Mahatinggi, Jibrīl tak mampu melanjutkan perjalanan bersama beliau ﷺ.
Jibrīl berhenti dan berkata:
وَمَا مِنَّآ إِلَّا لَهُۥ مَقَامٞ مَّعۡلُومٞ
“Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.” (QS. al-Shāfāt [37]: 164)
Artinya, Jibrīl tak mampu menaiki tingkatan kedekatan tertinggi kepada Tuhan sebab ia hanya terbang dengan satu sayap. Sementara Sang kekasih ﷺ mampu menembus batas terjauh sampai pada kedekatan yang tak dapat disifatkan karena beliau terbang dengan dua sayap.
Para malaikat diciptakan hanya dalam wujud rohani. Kenikmatan mereka adalah hanya dalam bertasbih kepada Sang Pencipta. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa henti. Mereka terus-menerus berada di bawah sayap perintah Tuhan. Sedangkan manusia tidak demikian. Manusia terbang dengan dua sayap: sayap perintah dan sayap larangan. Sayap larangan jauh lebih berat ketimbang sayap perintah.
Sang Kekasih ﷺ harus meninggalkan semua orang dan—menurut keyakinan para mistikus belakangan—bahkan dirinya sendiri ikut “lenyap di dalam Tuhan”. Kisah “perjalanan malam” (isrā’/night journey) dan “kenaikan ke langit” (mikrāj/ascension) ini merupakan peristiwa yang—dalam pengertian tertentu—terjadi satu kali, tetapi juga terjadi setiap kali.
Perjalanan ini merepresentasikan tindakan sempurna Islam, ketundukan diri yang juga merupakan kepulangan kepada sumber segala wujud. Kisah ini menjadi paradigma spiritualitas muslim, menggariskan jalan yang harus diambil seluruh umat manusia, jauh dari prakonsepsi, prasangka mereka, dan batas-batas egotisme.
Peristiwa ini merupakan pengalaman pribadi bagi Sang Kekasih ﷺ sendiri. Tetapi, sebagaimana para biografer awal menempatkan momen khusus dalam kehidupan Sang Kekasih ﷺ, ini merupakan penjelasan luar biasa dengan implikasi yang lebih dalam atas peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di luar.
Sang Kekasih ﷺ sedang didesak oleh keadaan yang tak dapat dikendalikannya untuk meninggalkan Mekah dan segala sesuatu yang dikasihi dan dikenalinya dengan baik—setidaknya untuk sementara. Beliau ﷺ harus bergerak melampaui dugaan awalnya, dan melampaui ide-ide yang diterima zamannya.
*
Dalam ode Arab tradisional, penyair biasanya memulai dengan sebuah ‘zikr’, “pengingat” tentang kekasihnya yang hilang, yang bepergian bersama sukunya ke tempat yang jauh dan semakin jauh dari dirinya.
Dalam bagian berikutnya, penyair memulai “perjalanan malam”, menembus impian nostalgisnya, dan berangkat sendirian mengarungi padang stepa dengan untanya—perjalanan penuh ketakutan yang memperhadapkannya dengan kematian. Akhirnya, sang penyair dipersatukan kembali dengan sukunya.
Dalam bagian akhir ode tersebut, dia dengan angkuh membanggakan nilai-nilai kepahlawanan sukunya, keberanian mereka di medan perang, dan perang mereka yang tiada akhir melawan semua orang asing yang mengancam kelangsungan hidup mereka.
Dalam “perjalanan malam” Sang Kekasih ﷺ, nilai-nilai purba ‘murū’ah’ ini dibalikkan. Alih-alih kembali ke sukunya, Sang Kekasih ﷺ pergi menjauhinya hingga ke Yerusalem; alih-alih menegaskan identitas kesukuannya dengan sovinisme arogan jahiliah, Sang Kekasih ﷺ menundukkan egonya.
Alih-alih menemukan kesenangan dalam pertempuran dan peperangan, perjalanan Sang Kekasih ﷺ merayakan harmoni, yang melampaui sekelompok keturunan, menuju keterpaduan dengan seluruh umat manusia.
Dikatakan dalam sebuah syair—baris terakhir Na’t-i Syarīf:
/Ya Habīb Allāh Rasūl Allāh ki yaktā’i tū-ī/
Sang Kekasih ﷺ dikelilingi nama-nama paling halus:
/Duhai sahabat Tuhan, Rasul Allah,
dikaulah satu-satunya,
Yang dipilih oleh Yang Mahakuasa,
dikaulah suci dan tiada tara/
Sang Kekasih ﷺ disebut-sebut dengan “cahaya mata para nabi, ‘cypres’ di taman kenabian, musim semi makrifat, kuncup mawar di padang rumput hukum Allah”, dan juga “burung bulbul yang mulia”.
Semoga selawat, cinta, dan salam kerinduan senantiasa tertuju padamu, Kekasih ﷺ. Tabik.
* Artikel oleh: Ust. Surya Qalandar