Sudah bukan hal yang asing lagi bagi kita, kaum perempuan, mendengar berbagai macam opini tentang pendidikan perempuan. Selama ini banyak yang berujar dengan kalimat yang kadang menyakitkan—karena perempuan selalu memaknai suatu hal dengan perasaan. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga?

pendidikan perempuan sarjana ibu rumah tangga

Buat apa buang-buang duit untuk sekolah kalau pada akhirnya, setelah menikah, hanya mengurus anak? Perempuan itu tempatnya hanya di sumur, dapur, dan kasur, lalu untuk apa pendidikan?

Nah, kata-kata seperti ini yang sungguh miris, menurut saya. Serendah itukah posisi perempuan di hadapan mereka? Mereka dengan mudah mengeluarkan opini tidak masuk akal dan sulit dirasionalkan. Bukankah sebaik-baik madrasah bagi seorang anak adalah ibu? Lantas bagaimana bisa menjadi madrasah yang kelak melahirkan generasi hebat dan berkualitas jika pengalamannya dangkal?

Jadi, pendidikan bagi kaum perempuan merupakan hal yang penting. Apalagi sekarang sudah ada yang namanya emansipasi wanita. Perempuan tidak dibatasi lagi dalam berbagai hal agar bisa mengembangkan dirinya demi kemajuan bangsa. Dalam hal kerja, atau dunia politik sekalipun, sudah tidak ada lagi pembedaan dan diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan banyak perempuan yang menjadi pemimpin di suatu perusahaan karena memang loyalitas dan kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam sejarah islam, tidak sedikit yang tercacat sebagai perempuan hebat dan melahirkan karya-karya yang luar biasa. Siti Khadijah, contohnya. Ia adalah istri Rasulullah saw yang sukses dalam berdagang sehingga terkenal sebagai pengusaha kaya raya. Namun demikian, ia tetap rendah hati dan selalu membantu orang yang membutuhkan.

 

Baca juga:

Makna Hari Kartini di Masa Pandemi adalah Semangat Menginspirasi

Bahas Kemandirian Ekonomi Perempuan, Fatayat NU Trenggalek Audiensi dengan Bupati

 

Ada lagi, Al-Khansa’. Ia seorang perempuan islam yang terkenal pemberani dan mampu manjadi madrasah bagi anak-anaknya. Ia pernah merasakan pendidikan dan kepiawaiannya membuat syair menjadi semangat untuk membela islam.

Kemudia di Indonesia, ada RA Kartini. Ia dikenal sebagai pelopor pergerakan perempuan di Indonesia. Jasanya sungguh tak dapat dihitung demi memperjuangkan hak perempuan untuk bebas dalam memiliki impian dan cita-cita. Namun demikian, meski sukses dalam berbagai profesi dan pendidikannya, ia tidak pernah sedikitpun melupakan kodratnya sebagai perempuan. Ia tetap setia mendampingi suami serta mengurus anak-anaknya. Karena menjadi seorang ibu adalah tugas yang mulia dan berlipat-lipat pahalanya.

Setelah dijelaskan seperti itu pun, masih juga ada yang bertanya: lalu bagaimana jika seorang perempuan sekolah sampai tingkat perguruan tinggi namun pada akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang sering membuat geram urat nadi. Apa salahnya menjadi ibu rumah tangga? Bukahkah memang kodratnya perempuan seperti itu. Mau apapun profesinya, atau dari kalangan manapun, mereka pasti punya keluarga. Dan posisinya di rumah adalah sebagai ibu rumah tangga. So, that is not a problem.

Pengetahuan yang didapat dari pendidikan tentu sangat bermanfaat bagi ibu rumah tangga untuk mendidik anak-anak, karena hal itu merupakan kewajiban seorang ibu. Sehingga bukan hanya suaminya saja yang pandai. Pendidikan seorang perempuan juga untuk mengimbangi suami, baik dari segi intelektual maupun spiritual. Bukan maksud untuk menggurui suami, tetapi bukannya keluarga yang bahagia adalah keluarga yang suami dan istri hidup saling melengkapi?

Begitu pula dalam hal pendidikan. Dalam urusan mendidik anak pun perlu kerja sama antara suami dan istri. Jika tak bisa membimbing anak: memberi pelajaran tentang ilmu akademis dan agama, mau dibawa ke mana visi-misi hidup anaknya nanti? Padahal seorang ibu juga harus tahu cara mengajari anaknya bersikap, mengajari tata karma, dan mengajari bagaimana cara menjalani kehidupan dengan baik.

Intinya, perempuan itu istimewa. Bahkan ketika sudah menikah dan menjadi ibu rumah tangga, posisi istri sebagai mahkota suami. Istri berkualitas, kualitas suami meningkat. Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya. Ibu berkualitas, kualitas anaknya pun meningkat.

Dari banyak pertimbangan, semuanya selaras dan tidak ada kesia-siaan seperti yang mereka pikir. Bahwa bukan suatu masalah jika perempuan sarjana menjadi ibu rumah tangga. So, I proud of you, kepada perempuan-perempuan hebat yang kini tengah berjuang dalam dunia pendidikan, berjuang menyelesaikan skripsi, atau yang kini tengah mencari pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya.

Menjadi ibu rumah tangga itu adalah kewajiban seorang wanita, tetapi memiliki impian dan cita-cita adalah wanita yang luar biasa.


* Opini oleh Novia De, pengurus Departemen Jaringan, Komunikasi, dan Informatika PC IPPNU Trenggalek.

1 comment
Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Nuansa Wahabi Dibalik Gerakan Padri

Oleh : Ust. Afrizal el-Adzim Syahputra, Lc., MA Kemunculan gerakan Salafi-Wahabi di…

10 Watak Wasathiyyah Nahdlatul Ulama

Oleh : Habib Wakidatul Ihtiar*   Nahdlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah diniyyah-ijtima’iyah…

Siti dan Sayyidati: Adaptasi Islam dengan Budaya Lokal

Oleh: Misbahus Surur*    ESAI — Beberapa hari lalu secara tak sengaja saya…

Idulfitri: Merayakan Makna dan “Diri” yang Sejati

Oleh: Ustadz Surya Qalandar¹   “Al-Hubûṭ” dan Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’an, digambarkan…