Buku adalah jendela dunia. Membaca buku ibarat kita melongokkan kepala melalui jendela, sehingga kita bisa melihat-lihat dunia hingga nun jauh di sana. Memang, saat ini akses informasi melalui internet semakin mudah. Namun demikian sama sekali tidak akan mematahkan peribahasa tersebut.
Buku berjudul “Santri Diplomat Keliling Dunia” ini adalah definisi yang tepat dari peribahasa di atas. Dengan membaca buku ini, pembaca serasa diajak berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat menarik di dunia, menyaksikan ragam tradisi dan kultur masyarakatnya, dan menguak sisi-sisi kesejarahannya. Di sejumlah bagian, pembaca juga diajak untuk ‘menyaksikan’ behind the scene dari peristiwa-peristiwa penting kenegaraan, yang itu tidak akan ditemukan di media manapun.
Meski dimaksudkan sebagai catatan perjalanan penulis selama 20 tahun meniti karir di Kemenlu RI, buku ini jauh dari sekedar otobiografi. Dalam buku ini, penulis tidak hanya bercerita (story telling) tentang pengalaman yang ia lihat, tetapi juga mengulas situasi sosiokultur-historis dari daerah-daerah yang ia kunjungi.
Di Yaman, misalnya—di mana penulis pertama kali ditugaskan—penulis mengisahkan keterkejutannya ketika mengetahui bahwa banyak warga di kota Sana’a menenteng AK-47 atau senjata api lainnya ke manapun mereka pergi. Ia bahkan beberapa kali ditawari orang untuk membeli senapan serbu rancangan Kalashnikov tersebut.
Di sisi lain, ia juga mengulas kehidupan keberagamaan di negeri para wali tersebut, tradisi dan amaliah warganya, peta aliran-gerakan Islam beserta tokoh-tokohnya, rubath (pesantren), hingga lokasi makam para nabi dan wali di sana (seperti makam Nabi Hud a.s. dan makam Sayyid Abdullah bin Husain, pengarang kitab Sullam Taufiq).
Pada saat penulis berkunjung ke Damaskus, Suriah, penulis sambil menceritakan pengalamannya selama perjalanan juga mengulas bagaimana sejarah makam Nabi Yahya a.s., Sayyid Husein r.a., dan Sahabat Bilal bin Rabah r.a. berada di kompleks Masjid Umayyah, juga makam Salahudin al-Ayyubi yang tidak jauh dari sana.
Begitu pula saat penulis berkunjung ke Brasilia di Brazil, Leningrad di Rusia, Uzbekistan, serta sejumlah negara di Afrika. Kisah perjalanan ke kota-kota tersebut tidak luput dari ulasan menarik tentang kehidupan beragama di sana. Dan tidak lupa, seperti sebelum-sebelumnya, penulis menghubungkannya dengan suasana kehidupan di Indonesia, dengan suasana di pesantrennya saat ia mondok dahulu, bahkan dengan kota Trenggalek, kampung halamannya.
Salah satu yang menarik adalah kisah tentang makam Syekh Yusuf al-Makassary, yang terletak di kota Cape Town, Afrika Selatan. Syekh Yusuf adalah seorang ulama-pejuang dari Makassar, Sulawesi Selatan. Sepulang belajar ilmu agama dari Tanah Hijaz, Syekh Yusuf berdakwah di kampung halamannya di Makassar, dan akhirnya diangkat menjadi mufti Kesultanan Banten oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Dan saat berperang melawan VOC, Syekh Yusuf diangkat sebagai panglima perang.
Kekalahan yang diderita Banten menyebabkan beliau diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Namun karena di sana beliau masih bisa menyebarkan pengaruh kepada ulama-ulama Nusantara, akhirnya beliau, bersama keluarga dan 49 pengikutnya, dipindahkan ke Cape Town.
Bagaimanapun, barakah pengasingannya ini adalah terbentuknya komunitas muslim yang makin hari makin berkembang di ibukota Afrika Selatan ini. Dan sebagaimana dikisahkan penulis, hingga saat ini amalan tarekat Naqsabandi terus dilestarikan di masjid di dekat makam Syekh Yusuf. Menariknya, Syekh Yusuf tidak hanya diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, tetapi juga diangkat sebagai Pahlawan Afrika Selatan oleh Presiden Nelson Mandela.
Di bagian-bagian buku selanjutnya, pembaca juga bisa menikmati kisah perjalanan menarik lainnya, seperti saat penulis berkunjung ke Zanzibar, Casablanca, Tiongkok, hingga Timor Leste. Tentu, yang tak ketinggalan adalah potret kehidupan beragama warga setempat, terutama komunitas umat muslimnya, yang menjadi point of view dari buku ini.
Dari potret komunitas muslim di berbagai tempat yang dikunjungi penulis, ada benang merah yang seolah hendak disampaikan dalam buku ini. Selain di negeri-negeri muslim seperti Yaman dan negara Timur Tengah lainnya, komunitas muslim di banyak belahan dunia merupakan umat minoritas. Namun demikian, sebagai umat minoritas, mereka mendapatkan hak-haknya dengan baik untuk menjalankan ajaran agama Islam, serta hidup berdampingan secara damai dengan umat agama lainnya—yang menjadi umat mayoritas. Maka, sudah semestinya jika muslim di Indonesia yang merupakan umat mayoritas juga menghormati dan menjaga hak-hak umat minoritas agama lainnya, demi terwujudnya kedamaian dan harmoni kehidupan antar sesama umat manusia. Ini pula yang menjadi bahan renungan penulis—juga pembaca tentunya—pada akhir bagian buku.
Baca juga:
KH. Kholil Majid, Figur Teladan dalam Khidmah Melayani Umat
Inspirasi dari Seorang Santri
Buku ini, bisa dikatakan, merupakan buku story telling yang informatif dan easy reading bagi semua kalangan pembaca. Melihat gaya tuturnya yang mengalir dan enak dibaca, hampir tidak percaya jika penulisnya adalah seorang diplomat (baca: calon Duta Besar) di Kemenlu RI. Dan benar, ternyata penulis memang pernah aktif di Lembaga Pers Mahasiswa saat studi di Jogja silam.
Bisa jadi, pembaca—apabila tidak dicantumkan dalam judul—juga tidak menyangka bahwa penulis adalah seorang santri. Ini sekaligus juga kisah inspiratif bagi pembaca, terutama yang sama-sama dari kalangan santri.
Sunani Ali Asrori atau akrab dipanggil Gus Sunan, penulis buku, adalah putra dari KH. Kholil Madjid, pengasuh PP. Qomarul Hidayah Tugu, Trenggalek. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di bawah asuhan ayahnya sendiri, ia masuk ke MISRIU, PP. Al-Falah Ploso, kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Falkultas Hukum UII Jogjakarta. Selulus dari UII, ia memulai karirnya sebagai diplomat.
Dari kisahnya selama menimba ilmu, tampak bahwa ia adalah pembelajar yang tekun, disiplin, serta memiliki tekad yang kuat. Ia, misalnya, menyempatkan diri untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama 6 bulan di Pare selulus dari Ploso. Tidak tanggung-tanggung, selama di Kampung Inggris tersebut, ia sampai berlatih di dua tempat kursus yang berbeda.
Ketekunannya dalam mencari ilmu berlanjut saat ia studi di Jogja. Di luar jam kuliah, ia suka mengikuti seminar, apapun temanya, meski digelar di kampus-kampus lain. Ia, di tengah kesibukannya kuliah, bahkan masih menyempatkan diri untuk mengaji ke KH Raden Najib Abdul Qadir di PP. Al-Munawwir Krapyak. Berbekal dari ketekunan dan kuatnya tekad itu lah, ia, seorang santri produk pesantren, mampu mengisi peran di bidang diplomasi—sebagai diplomat—hingga berkelana ke berbagai penjuru dunia.
*
Buku ini diterbitkan pada tahun 2021, di mana ‘euforia’ kaum santri belum selesai. Dalam dasawarsa terakhir—lebih tepatnya setelah terbit Keppres 22/2015 tentang penetapan Hari Santri—kita bisa melihat betapa banyak ruang dan peran publik yang (ternyata) diisi oleh kaum santri. Simbol-simbol kesantrian menghiasi koran, media sosial, dan televisi. Kaum santri yang semula ‘bersembunyi’, tanpa sungkan lagi menampakkan jati diri. Mereka yang tak pernah belajar di pesantren pun, sangat percaya diri mengenakan sarung dan peci…
* Androw Dzulfikar