Secara bahasa, kata “sya’ban” mempunyai arti “berkelompok”. Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah pada bulan itu. Sya’ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan ulama. Karena itu tidak sedikit ulama baik dari generasi salaf maupun khalaf yang memeriahkan bulan Sya’ban dengan berbagai macam amalan, khususnya pada malam Nisfu Sya’ban atau malam pertengahan bulan Sya’ban.
Namun, terdapat perdebatan di kalangan para ulama tentang amalan malam Nisfu Sya’ban. Perdebatan tersebut di antaranya sebagai berikut:
Pertama, perayaan malam Nisfu Sya’ban. Menurut keterangan beberapa sejarawan, awal mula perayaan malam Nisfu Sya’ban dilakukan oleh para ulama Syam yang merupakan generasi tabi’in. Mereka adalah Khalid bin Ma’dan, Makhul, Lukman bin Amir, dan tabi’in lainnya. Mereka mengagungkan dan menekuni ibadah pada malam ini. Menurut sebagian riwayat, mereka melakukan amaliyah ini berdasarkan informasi Israiliyat yang mereka terima. Amaliyah tabi’in ini di kemudian hari dipraktikkan oleh umat Islam, bahkan sampai populer di berbagai penjuru dunia. Namun, yang dilakukan oleh para tabi’in tersebut menimbulkan perselisihan antar ulama. Ulama Basrah sepakat dengan apa yang dilakukan oleh penduduk Syam. Sedangkan ulama Hijaz menentangnya dan menganggapnya sebagai bagian dari bid’ah. Diantara mereka adalah Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan beberapa ulama fikih Madinah. Di samping itu, terdapat riwayat dari Zayyad an-Namiri yang menyatakan bahwa pahala malam Nisfu Sya’ban setara dengan malam lailatul qadar. Tetapi, Ibnu Abi Malikah tidak sepakat dengan riwayat ini karena Zayyad adalah tukang dongeng.
Ulama Syam juga berbeda pendapat mengenai tata cara menghidupkan dan mengagungkan malam Nisfu Sya’ban. Ada yang berpendapat disunahkan menghidupkannya di berbagai masjid secara berjamaah. Pendapat ini dikemukakan oleh Khalid bin Ma’dan, Lukman bin ‘Amir, dan para tabi’in lainnya. Mereka pergi ke masjid dengan menggunakan pakaian yang paling bagus, memakai bukhur (sejenis dupa tradisional yang berasal dari Timur Tengah), dan memakai celak. Pada saat di masjid, mereka melakukan berbagai ibadah untuk menghidupkan malam tersebut. Amaliyah para tabi’in ini disepakati oleh Ishaq bin Ruhawaeh (salah satu ulama yang pernah berdiskusi langsung dengan Imam Syafii). Beliau berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam tersebut bukan termasuk bid’ah. Ada pula yang berpendapat bahwa makruh hukumnya berkumpul di masjid pada malam tersebut untuk melakukan salat, berdoa, dan mendengarkan cerita. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam al-Auza’i.
Kedua, salat malam Nisfu Sya’ban. Penjelasan mengenai salat ini dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Dalam kitab ini, beliau berpendapat bahwa salat ini dilaksanakan pada malam kelima belas bulan Sya’ban (malam Nisfu Sya’ban). Salat ini dilaksanakan sebanyak seratus rakaat. Setiap dua rakaat satu salam. Setiap rakaat setelah al-Fatihah, membaca surah al-Ikhlas sebanyak sebelas kali. Namun, menurut beliau, salat ini bisa dilakukan sebanyak sepuluh rakaat. Setiap rakaat setelah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas sebanyak seratus kali. Beliau menisbatkan pendapatnya pada riwayat Hasan Basri. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut :
روي عن الحسن أنه قال حدثني ثلاثون من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إن من صلى هذه الصلاة في هذه الليلة نظر الله إليه سبعين نظرة وقضى له بكل نظرة سبعين حاجة أدناها المغفرة
“Diriwayatkan dari al-Hasan (Hasan Basri) bahwa beliau berkata: “Telah meriwayatkan kepadaku tiga puluh sahabat Nabi saw. Sungguh orang yang menunaikan salat ini pada malam ini (Nisfu Sya‘ban), maka Allah akan memandangnya sebanyak tujuh puluh kali dan setiap pandangan Dia (Allah) akan memenuhi tujuh puluh kebutuhan. Sekurang-kurangnya kebutuhan adalah ampunan (ampunan dosa dari Allah).”
Tetapi beberapa ulama fikih tidak sepakat dengan penjelasan Imam al-Ghazali ini. Di antara mereka adalah Imam Nawawi dan Syekh Alwi al-Maliki. Mereka berpendapat bahwa salat pada malam ini hukumnya bid’ah qabihah (bid’ah yang jelek). Sedangkan Syihabuddin ibn Naqib mengistilahkannya dengan bid’ah makruhah. Namun, meskipun mereka tidak sependapat dengan pendapat Imam al-Ghazali, mereka tidak lantas mencelanya bahkan sampai mengafirkannya. Mereka juga tidak mempermasalahkan kualitas Imam al-Ghazali sebagai ulama.
Ketiga, membaca surah Yasin tiga kali. Amaliyah ini termasuk amaliyah yang populer di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya para kiai tarekat. Setiap malam Nisfu Sya’ban, mereka membaca surah Yasin tiga kali secara berjamaah, diiringi dengan niat agar diberi umur panjang, terhindar dari bala musibah, agar diberi kecukupan rezeki. Namun, amaliyah ini diyakini oleh sebagian golongan sebagai amaliyah bid’ah yang tidak ada ketentuannya dalam agama. Selain itu, amaliyah ini juga dianggap hanya bertujuan untuk memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi. Lalu, mereka berkesimpulan bahwa melestarikan tradisi tersebut sama halnya dengan melestarikan tradisi bid’ah di sepanjang tahun.
Tuduhan ini kemudian ditanggapi oleh ulama lainnya, di antaranya Syekh Alwi al-Maliki. Beliau berpendapat bahwa tuduhan ini didasari perkataan yang tidak ada dalilnya. Tuduhan ini terkesan menghukum dengan sesuka hati, dan menghalangi pada pemberian dan rahmat dari Allah Swt. Menurut beliau, tidak ada larangan menggunakan (bacaan) al-Qur’an, zikir, dan doa-doa untuk tujuan duniawi semisal hajat pribadi dan maksud tertentu. Syaratnya adalah ikhlas beramal karena Allah, dan inilah yang dituntut dalam segala hal. Seperti mengerjakan salat, zakat, haji, jihad, berdoa, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya. Maka, keabsahan amal harus diiringi dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.
“…ketiga amalan ini tidak boleh dianggap sebagai amaliyah yang diharamkan dalam Islam meskipun tidak ditemukan riwayat yang disandarkan pada Rasulullah saw. Sebab, bukan berarti amalan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw dilarang, apalagi dianggap sesuatu yang tercela dalam agama”.
Beliau juga berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi siapapun yang menggabungkan amal dan keikhlasannya dengan permohonan hajat agama dan dunia, baik yang bersifat hissi maupun maknawi; lahir maupun batin. Orang yang membaca surah Yasin atau surah lain dari al-Qur’an dengan ikhlas karena Allah seraya mengharap keberkahan pada umur, harta, dan kesehatan, maka hal itu tidak masalah. Ia telah menempuh jalan yang baik, dengan catatan ia tidak meyakini bahwa hal tersebut disyariatkan secara khusus. Beliau mempersilakan bagi siapapun untuk membaca Yasin tiga kali, tiga puluh kali, seratus kali, bahkan membaca keseluruhan al-Qur’an secara ikhlas karena Allah, serta mengiringinya dengan permohonan terkabulnya segala harapan dan hajat, misalnya agar dihilangkan segala kesedihan, dibebaskan dari kesulitan, agar sakitnya diberi kesembuhan, dan terlunasi hutangnya.
Walhasil, ketiga amalan ini tidak boleh dianggap sebagai amaliyah yang diharamkan dalam Islam meskipun tidak ditemukan riwayat yang disandarkan pada Rasulullah saw. Sebab, bukan berarti amalan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw dilarang, apalagi dianggap sesuatu yang tercela dalam agama. Semua amalan ini merupakan amaliyah para ulama dan masayyikh yang sudah tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya serta kedekatannya dengan Allah Swt. Wallahu a’lam.
Rujukan :
- Ihya’ Ulumiddin; Imam al-Ghazali
- Al Majmu’ Syarh al-Muhaddzab; Imam an-Nawawi
- Madza fi Sya’ban; Syekh Alwi Al Maliki
- Husn al-Bayan fi Lailah an-Nisf min Sya’ban; Abdullah al-Ghimari
* Oleh: Ustaz Afrizal El Adzim Syahputra, Lc., MA; Pengasuh PPM Raden Paku Trenggalek yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua PC GP Ansor Trenggalek