Pengurus Wilayah (PW) Majelis Dzikir dan Shalawat (MDS) Rijalul Ansor Jatim kembali menggelar Ngaji Rutin, Selasa (4/1/2022). Agenda rutin tiap Selasa awal bulan kali ini menghadirkan Buya Arrazy Hasyim.
Dalam kajian tersebut, Buya Arrazy mengaji kitab Riyadu Akhlaqis Shalihin karya mufti Daghestan, Syekh Ahmad bin Muhammad Abdullah. Dalam acara tersebut, dai muda yang kajian-kajiannya viral di berbagai platform media sosial ini mengupas sejumlah hal mengenai persoalan tasawuf, yakni metode-metode penyucian ruhani.
Di antara poin-poin kajian yang disampaikan Buya Arrazy adalah sebagai berikut:
Pertama, aibnya orang maksiat adalah putus asa dari rahmat Allah Swt. Sedangkan aibnya orang-orang yang taat adalah terlalu percaya diri kepada Allah, yakni merasa sok suci.
Semua orang, bahkan ulama atau kiai (apalagi orang awam), memiliki potensi untuk terpapar maksiat setiap hari. Hanya saja—dibandingkan dengan orang awam—ulama atau kiai ‘rem’-nya juga kuat, dan mengetahui cara bertobat.
Kedua, riyadhah atau mujahadah terberat bagi seorang murid atau santri adalah menghilangkan ‘syak’ (keraguan serta suudzan) kepada guru.
Ketiga, setiap kali seorang hamba berdosa, maka di qalbu-nya ada ‘nukhtah saudah’ (noda hitam). Padahal setiap hari, terutama dari pandangan, kita berkali-kali terpapar maksiat. Maka tidak heran apabila saat dzikrullah tidak bisa mengena ke dalam qalbu, sebab dosanya berkarat. Bagaimana mau tajalli kepada Allah jika sering maksiat(?!).
Maka ‘ahammil muhimmat’ (yang paling penting di antara yang penting), adalah ‘ishlah nafs’, yaitu memperbaiki nafs, dengan cara taubat. Misalnya dengan membaca istighfar 100 kali setiap hari. Seseorang yang sudah meninggalkan tobat, maka ia sudah masuk ke dalam ‘dzalamah’ (kedzaliman).
Orang thariqah tobatnya dari dosa qalbu, orang syariat dari dosa fisik, sedangkan ahlul haqiqah tobatnya dari suul adab. Suudzan kepada Allah adalah syirik bagi ahlul haqiqah.
Ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi, bukan berarti ia dia (mudah) ditipu iblis, atau karena bujuk rayu perempuan (Hawa), tapi karena ia, Nabi Adam a.s, menghormati asma Allah yang diucapkan iblis. [perihal ini teringat dengan uraian Gus Baha’]
Keempat, wusul itu kalau udah ‘nyampe’, tidak ada rasanya. Sebab rasa itu untuk nufus. Untuk ruh tidak ada rasa, tetapi ada kenangan: kenangan liqa’ ma’annaby saw. Kalau sudah liqa’ ma’annabiy, hanya tunggu waktu (sebentar saja) untuk liqa’ ma’allah. Metode tercepat untuk wusul adalah shalawat, apapun thariqah-nya.
Kelima, Nabi saw tidak mengkhawatirkan umatnya akan berbuat syirik. Syekh Badi’ Sayyid al-Laham (dzuriyah Rasul dari jalur Syekh Abdul Qadir al-Jailani), salah satu guru Buya Arrazy, mengatakan sambil bersumpah atas nama Allah bahwa beliau tidak pernah melihat peziarah muslim yang menyembah kubur (sehingga syirik), kecuali orang-orang ahli kebatinan.
Adapun yang Nabi saw khawatirkan terhadap umatnya adalah ‘ittibaul hawa’ (mengikuti hawa—nafsu) dan ‘thulul amal’ (panjang angan-angan). Hawa yang berarti keinginan negatif atau rendah terbagi menjadi dua macam: ‘bahimiyah’ dan ‘sibaiyah’. Di antara sifat bahimiyah adalah makan, minum, seks, tidur, dan malas. Sedangkan sifat siba’iyah antara lain galak, marah, benci, iri, dengki, sombong, dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘thulul amal’ yaitu semua keinginan yang tidak ada ikhtiarnya. Misalnya, ingin umrah tetapi tidak pernah menabung, ingin mengkhatamkan tahfidz al-Qur’an tetapi tidak pernah mencari guru, ingin wusul tetapi tidak pernah mencari guru mursyid, dan sebagainya.
Keenam, di dalam marahnya ulama ada nur (cahaya). Ini pengalaman pribadi Buya Arrazy ketika diinsafkan dari madzhab Wahabi oleh Syekh Badi’, pada tahun 2006. Ketika itu, kepada Syekh Badi’, Buya Arrazy yang pemahaman ala Wahabinya belum sepenuhnya hilang, mempermasalahkan shalawatan dan syiiran yang dianggapnya syirik. Tatapan mata yang tajam dari Syekh Badi’ saat menjawab pertanyaan itu membuat tubuh Buya Arrazy langsung kepanasan, dan esoknya jatuh sakit selama dua bulan. Tiap kali menggigil, wajah Syekh Badi’ yang penuh dengan ‘nur’ muncul dan membersihkan ‘nar’ dalam tubuhnya, hingga ia bertobat dari Wahabi.
Ketujuh, setiap kali hendak wirid, atau kegiatan apapun seperti ceramah, mengajar, dan sebagainya, hendaknya bersyahadat terlebih dahulu, agar wusul.
Delapan, dulu, Abu Yazid al-Busthami setiap hari bolak-balik ke alam jabarut sebanyak 70 kali. Sehingga beliau tiap hari memiliki wirid baru. Demikian juga Imam Syadzili, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Bahauddin an-Naqsyabandy. Oleh karena itu, bacaan wirid banyak macamnya. Dan itu lah metodologi keilmuan para wali.
Sekarang ini, banyak rahasia (sirr) yang awalnya dirahasikan, sudah dibuka. Kecuali masih beberapa—sedikit. Sudah banyak kitab-kitab yang menerangkan ‘sirr’ tersebut, dan dikarang oleh orang (wali) yang hidup di era sekarang. Tinggal bagaimana kita mempelajari dan, terutama, mempersiapkan diri (riyadhah, mujahadah, dan semacamnya) agar bisa menyerap ilmu-ilmu tersebut.
Sembilan, Bintang Sembilan di lambang NU berasal dari Nabi Khidir a.s.. Lambang bintang sembilan tersebut ada makna rahasianya. Buya Arrazy sangat yakin bahwa yang mendirikan Nahdlatul Ulama adalah murid-murid Nabi Khidir a.s..
Sepuluh, Buya Arrazy di kesempatan tersebut juga memberi ijazah agar saat shalat tidak diganggu iblis; ijazah untuk mendamaikan orang yang bertengkar; dan ijazah Haikal al-Ma’arif. Haikalul Ma’arif atau peta-peta makrifatullah kisi-kisinya cuma empat. Berbagai syahadat alam semesta terkumpul di dalamnya; dari masa ke masa; dan dari alam, bahkan pra-alam, ke alam lainnya.
Masih banyak lagi, sebenarnya, yang disampaikan oleh Buya Arrazy saat mengaji kitab Riyadu Akhlaqis Shalihin di acara tersebut. Sepuluh poin tersebut hanya yang sempat dicatat oleh penulis saat menyimak kajian selama kurang lebih dua jam di channel Ansor Jatim TV.
Hadir di acara tersebut antara lain Ketua PW MDS Rijalul Ansor Gus Nailur Rochman atau Gus Amak, Gus Hadi, dan sejumlah pengurus lainnya.
(androw dzulfikar)