Dinamika keagamaan di Indonesia terus mengalami ujian. Perbedaan pendapat terkait wawasan keislaman dan kebangsaan terus mencuat. Padahal, konsep Islam yang dijalankan di negara kita ini sudah berjalan ratusan tahun yang lalu. Khususnya di era Wali Songo yang puncaknya pada abad ke-14 menjadi tokoh utama dibalik perkembangan dan syiar Agama Islam di INusantara ndonesia.
Metode dakwah dan konsep yang diusung Wali Songo dikemas dengan indah, dengan ramah, santun, dan penuh hikmah. Wali Songo paham betul bahwa keberagaman yang ada di Indonesia sarat dengan budaya dan kearifan lokal yang tidak mungkin dihilangkan. Keberagaman tersebut justru dimanfaatkan sebagai media dakwah yang sangat mengena. Terbukti Islam mengalami puncak kejayaan di masanya.
Indonesia merupakan contoh model relasi negara dan agama yang berhubungan dengan indah dan selaras. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda. Namun keduanya dipahami saling menempatkan diri, dimana agama dan negara dipahami saling membutuhkan secara timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena agama membantu pembinaan moral, etika dan spiritualitas.
Seperti dhawuh Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy’ari: “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.“
Akhir-akhir ini banyak muncul indikasi pemahaman yang bergeser, yang menggiring opini membenturkan antara pemahaman konsep dalam beragama dan bernegara. Puncaknya, mereka menggelorakan propaganda-propaganda yang menjerumus ke arah perpecahan. Dan sudah menjadi isu publik, ingin mengganti sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi khilafah.
Seiring dengan fenomena tersebut, Nahdlatul Ulama menggelorakan ‘Islam Moderat’ atau Wasathiyah Islam, sebagai langkah (mempersatukan) pemahaman agama masyarakat, yang selaras dengan ajaran Islam yang diwariskan Baginda Nabi Yang Mulia Muhammad shallahu alaihiwasalam, yaitu Islam rahmatan lilalamin.
Islam bukanlah agama yang mengusung arus keras (ekstrim), suka membid’ahkan, apalagi mengafirkan orang lain. Namun, Islam juga bukan agama yang terlalu bebas (liberal).
Untuk memperkuat pemahaman agama kaitannya dengan keadaan kebangsaan dan dinamika keagamaan di Indonesia ini, Nahdlatul Ulama terus menggelorakan semangat atau spirit (ruh) dalam berdakwah.
Harus memahami realitas, bahwa Islam itu relevan untuk setiap zaman, masa, dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). Tidak gegabah atau ceroboh, selalu mempertimbangkan kebaikan (manfaat) dan keburukan (madharat), memberi kemudahan kepada orang lain dalam beragama.
Memahami Islam tidak bisa hanya sebagian atau sepotong-sepotong, apalagi hanya lewat media sosial (medsos). Sebab, bahaya jika belajar agama hanya di medsos. Belajar dan memahami teks agama harus secara komprehensif, yaitu harus berguru dan bersanad.
Memahami satu teks dengan yang teks lainnya harus saling berkaitan. Misal, teks jihad. Ini tidak bisa dipahami separuh-separuh, tidak utuh, hingga hanya diartikan sebagai ‘perang’ saja. Padahal, maksud jihad disini beragam dan sesuai dengan konteksnya.
Kita, Nahdlatul Ulama, memahami betul sifat dan karakter Islam tertutup oleh perilaku dan sikap yang berlebih-lebihan. Padahal Nabi saw mengatakan:
خيرالامور اوسطها
Artinya: “Sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah”
Seperti juga yang dikatakan oleh salah seorang kiai kharismatik, KH Ahmad Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengna Gus Mus: “Islam itu moderat, kalau tidak moderat berarti bukan Islam.”
Dalam berdakwah, kita, Nahdlatul Ulama, harus ramah, dan santun. Dakwah itu merangkul, bukan memukul; mengayomi, bukan memusuhi. Seperti yang sudah dipesankan Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari: “Dakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun sebuah kota, tetapi merobohkan istananya”
Intinya, Islam Moderat atau Wasathiyah Islam adalah mengajarkan keseimbangan. Islam moderat tidak terjerumus ke arah ekstrimisme kiri maupun kanan, yang mendorong kepada radikalisme dan tindakan anarkis. Wasathiyah Islam juga tidak mengarah ke liberalisme yang mendorong kebebasan. (Wallahua’lam)
* Ust. Ali Asmungi: Ketua PC Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Trenggalek