Oleh: Mohamad Choirur Rochim*
Esai – Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sejak didirikan 31 Januari 1926 oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai kharismatik di Surabaya, NU konsisten sebagai lokomotif sebuah perjuangan bangsa dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Sebagai organisasi sosial, jumlah jamaah atau pengikut (follower) NU sangat banyak, dengan basis utamanya di kawasan pulau Jawa (pulau yang terpadat jumlah penduduknya): Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Basis NU juga tersebar di Kalimantan, Sulawesi dan Mataram. Ini menegaskan bahwa NU memang organisasi besar dan mewakili wajah sebagian besar rakyat Indonesia. Jamaah NU tidak hanya ada di Indonesia, tetapi tersebar di manca negara.
Melihat gambaran sebagaimana di atas, Nahdatul Ulama memiliki tanggung jawab besar. Kewajiban NU dalam kontribusi kepada bangsa dan negara ini—tentunya kepada umat manusia—sangatlah berat. Namun demikan, banyak yang menilai bahwa organisasi besar ini kurang peka terhadap perkembangan zaman. Misal hadirnya peringai lini masa: Twitter, Facebook, Website hingga tetek bengek sebutan lain di medsos.
Maulana Farizil Qudsi, Editor Majalah Masjid Kemayoran Surabaya-Ar Royyan Magz, dalam NU Online mengungkap (25/04/2011), seiring perkembangan zaman, NU mengalami pergeseran persepsi dari masyarakat. Organisasi ini banyak dinilai sebagai organisasi yang kolot dan kurang peka terhadap perkembangan zaman. Hal ini dapat terjadi dikarenakan oleh berbagai macam sebab. Bisa karena pembawaan dakwah yang lebih condong pada arah ‘ritualis’, bisa karena asumsi yang keliru dari para jamaah, atau dapat juga disebabkan karena berbagai macam alasan lainnya.
Sadar atau tidak, banyak berita yang berkaitan kekerasan atas nama agama, terorisme, seperti yang paling gres, teror bom di Sarinah itu, serta gerakan organisasi di Indonesia, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) hingga ke ISIS yang radikal. Tentunya kita tidak begitu saja melupakan sepak terjang Gerakan Wahabisme, yang menyeru untuk meninggalkan bid’ah (heterodoksi) dengan kedok kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jika kita menemui peringai media sosial dengan berita-berita murahan, yang mengadu-dombakan informasi-informasi yang tidak sesuai faktanya, mengakibatkan goyahnya pemikiran nahdliyin muda macam saya ini, yang dangkal dan gampang menerima propaganda media sosial. Sebagai pengguna aktif media sosial, saya menangkap ini adalah bentuk “ancaman” yang serius di kalangan remaja.
Laode Ida memberikan tawaran yang strategis dalam membangun organisasi NU, tawaran tersebut ada dalam buku yang berjudul MUDA NU: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (2004:26). Setidaknya terdapat tiga faktor yang dianggap penting untuk secara sistematis dilakukan perubahan dalam NU, yaitu: Pertama, menjadikan para pengelola NU—mulai dari pesantren hingga pengurus NU di semua level (baca: dalam hal ini pengurus website berbranded NU, pen.)—agar lebih kreatif dan kontekstual dalam pemikiran agar lebih bisa mengembangkan berbagai ijtihad (usaha) baru.
Kedua, berupaya membuka wawasan manajemen baru di kalangan NU, di mana gagasan ini muncul sebagai reaksi dari pola pengelolaan NU yang terjebak dalam pola tradisional, karena NU merupakan organisasi dengan massa besar. Ketiga, dalam kaitan dengan kiprah politik NU, mendobrak gerakan politik formal NU ke arah gerakan Islam kultural sebagaimana misi awalnya.
Untuk mendorong gerakan politik NU secara sistematis dengan menganut paham ahlussunah wal jama’ah, membuat website berbasis NU! (Jika boleh jujur, di dalam gadget atau smart phone, saya memiliki aplikasi NU Online sebagai referensi dalam membentengi website radikal-radikal itu). Mengingat pergulatan saya dengan NU tidak pernah secara langsung sebagai pengurus atau anggota: hanya alumnus lembaga pendidikan beryayasan NU; juga melalui diskusi dengan sahabat-sahabat muda NU, para dosen NU, buku-buku tentang ke-NU-an, dan tentunya media sosial itu sendiri. Jadi anggap saja tulisan ini semacam refleksi dalam melihat NU dari luar pagar.
Memang, di era digital, di dunia yang serba cepat dan canggih ini—disadari atau tidak, mau tidak mau—NU harus progresif dalam berdakwah melalui lintasan media sosial. Jika kalangan politis memiliki media sosial berdalih menjaring aspirasi masyarakat, bagi kalangan Muda NU dan tokoh-tokoh NU, ikut andil dalam menyebarkarkan paham Aswaja ala Nahdlatul Ulama ini, baik melalui tausiah, promosi pesantren NU, promosi madrasah NU, maupun bentuk kegiatan-kegiatan NU lainnya.
Telah banyak tokoh NU yang memanfaatkan media sosial untuk “menjual” pemikiran NU, misal Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj—akrab disapa Kang Said; anak perempuan Gus Dur, Yenny Zannuba Wahid atau yang lebih dikenal dengan Yenny Wahid (Direktur The Wahid Institute); kemudian KH A. Musthofa Bisri atau Gus Mus, yang tentunya membawa brand Nahdatul Ulama, dalam menggiring persepsi masyarakat kearah yang lebih baik dan moderen. Caranya adalah menggunakan media sosial sebagai salah satu media eksistensi bernarsis belaka sebagai media untuk berdakwah.
NU Sebagai Jangkar
Nadlatul Ulama merupakan aset bangsa yang memiliki kontribusi begitu besar bagi pembangunan peradaban Indonesia dari masa lampau hingga kini. Karena itu, tak ada alasan untuk menolak NU sebagai bagian utama dari jangkar nasional yang menggerakan, mendorong, dan mengontrol Indonesia sebagai bangsa. Seperti yang dilakukan oleh sesepuh NU: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdurahman Wahid, dan lainnya.
Sebagai orang awam, saya sepakat dengan artikel yang ditulis Antony Lee dalam Kompas edisi 11 Januari 2016, di halaman 4 dengan judul “Islam Moderat di Dunia Maya”. Seperti dikutip Lee, sebagaimana Ahmad Mukafi Niam, Pemimpin Redaksi NU Online, menuturkan, “Di internet itu juga terjadi ‘pertarungan’ wacana keislaman. Ke depan, kami ingin mendukung maksimal pandangan NU terhadap masalah-masalah keagamaan versi NU, versi moderat. Ini karena ke depan orang mengakses masalah keagamaan tak hanya bertanya kepada kiai, tetapi juga ke Mbah Google.”
Di tengah menikmatinya, meminjam istilah Malkan Junaidi, Tarekat Internetiyah—nama lain dari mbah Google, layanan media sosial—tak dipungkiri bahwa para follower NU berhadapan dengan paham ekstremisme, internet. Sebab tak sedikit berita yang berseliweran di media sosial, baik di facebook hingga di lini masa: Twitter, kemudian juga website, Youtube, dan tak ketinggalan broadcast BBM, WA, WeChat, dan Line yang menyasar langsung di gadget kita, yang menyuguhkan berita menyimpang dengan kaidah fikih. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan ideologi di kalangan nahdliyin.
NU dengan paham ahlussunah wal jama’ah mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. NU sangat strategis berdakwah via media sosial. NU memberi keleluasaan dalam diktum dari kaidah pemikiran ulama, atau sebagaimana yang diamini aktivis pemuda NU, kita mengenal pemikiran ‘mempertahankan yang baik dari masa lalu dan mengambil yang baik dari masa kini’. Dalam bingkai inilah, intrepretasi diambil dari masa kini.
Penting, NU memiliki akun seperti NU Online, TV9, Aswaja TV, dan account-account fans lain seperti @GUSDURians (Komunitas GUSDURian), dalam merespon isu-isu keagamanan dan kebangsaan dengan prinsip dasar tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan). Dengan gagasan dasar ini, NU telah berhasil melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan moderat, bukan dengan kekerasan.
Di tengah kegamangan identitas bagi generasi muda NU, meminjam istilah Jurnalisme Kemaslahatan, HA. Hakim Jayli, M.Si, paham radikal tersebut bisa dijangkar lebih awal. Portal-portal yang bernafaskan ke-Islam-an seperti NU merupakan “jangkar” di wilayah viral media sosial yang menjamur seperti saat ini. Jika demikian, kita berharap akan ada lebih banyak jurnalisme kemaslahatan ke-Islam-an yang menyebarkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam.[]
* Seorang kolumnis nahdliyyin kelahiran Watulimo, Trenggalek
1 comment
Oh my goodness! Amazing article
dude! Thank you so much, However I am having difficulties
with your RSS. I don’t understand the reason why I am
unable to subscribe
to it. Is there anyone else getting
identical RSS issues?
Anybody who knows the answer can you kindly respond?
Thanx!!