Penentuan sekolah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan hak bagi setiap warga negara yang akan meningkatkan kualifikasi belajarnya sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan oleh negara. Tetapi tidak semudah membalikkan tangan dalam menentukannya karena berbagai macam pertimbangan dan alasan masing-masing.
Menentukan pendidikan anak tidak boleh ada paksaan, yang mengakibatkan anak bersekolah karena kehendak orang tuanya. Tetapi sebaliknya, orang tualah yang memberikan gambaran kehidupan anaknya di masa depan dengan memperhatikan tuntutan dan tantangan kehidupan saat ini dan yang akan dihadapi di masa depan. Sehingga anak akan mendapatkan berbagai macam alternatif pilihan sekolah yang diaggapnya baik. Pada akhirnya anak akan menemukan pilihannya.
Lalu, bagaimana peran orang tua dalam memberikan alternatif pilihan sekolah?
Pentingnya Peranan Orang Tua
Tentu saja orang tua harus memiliki cukup wawasan untuk mendalami berbagai sekolah yang ada. Misalnya bagaimana kurikulumya, fasilitas, tenaga pendidik, visi-misi sekolah, profil alumni, dan pengasuhnya. Sekarang ini masih ada orang tua yang berbondong-bondong memasukkan ke sekolah tertentu karena tetangga atau lingkungannya tanpa memperhatikan profil sekolah dan kejelasan visi-misi pendidikannya.
Banyak ditemui kasus anak-anak yang gagal belajar karena tidak cukup mendapatkan asupan pengetahuan orang tuanya, serta minimnya alternatif sekolah yang dijadikan pertimbangan matang dalam menentukan tempat belajar formal. Orang tua masih mengikuti tren anut grubyuk tanpa memperhatikan potensi anak dan gambaran masa depan yang sesuai dengan karakter anak.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengetahui kemampuan anak. Komunikasi yang mendalam dengan anak merupakan bagian yang penting selama mengikuti proses belajar di sekolah sebelumnya.
Apa yang diinginkan anak setelah mereka diberi fasilitas yang cukup untuk mengeksplorasi potensi yang bisa digali. Ada kalanya hal yang dicoba tidak sesuai dengan mintanya. Atau minatnya belum tereksplorasi dengan baik. Di sinilah peran komunikasi antara orang tua dengan anak menjadi sangat penting, supaya anak mendapatkan pendidikan yang sesuai.
Sarana komunikasi lain adalah laporan hasil belajar akademis dari sekolah. Tetapi akhir-akhir ini ada yang menyangsikan laporan hasil belajar. Disinyalir terjadi pendongkrakan nilai karena tuntutan ketuntasan minimal yang seakan dipaksa untuk memenuhi target nilai tertentu. Hal itu dilakukan agar keberhasilan suatu sekolah akan terlihat dan sudah sesuai dengan kehendak atasannya. Meski demikian bagi anak yang memiliki akademis baik, tetap akan terekam sebagai anak yang berkognitif lebih baik dibandingkan teman-temannya.
Sehingga pilihan berkomunikasi dengan guru merupakan salah satu langkah yang baik untuk mengetahui aktivitas anak di sekolah yang cenderung mereka minati. Unggul di akademis atau nonakademis. Dari informasi yang diperoleh dari guru tersebut dapat dijadikan acuan orang tua dan siswa untuk menentukan sekolah yang tepat untuk mewadahi bakatnya.
Baca juga:
Sekolah Membentuk Nalar Kritis Anak
Masih banyak orang tua yang terjebak pada pandangan sekolah dengan paradigma lama, yang tidak mengintegrasikan kecakapan abad 21. Seharusnya proses pembelajaran menekankan kreatifitas dan berfikir kritis, kemampuan berkomunikasi, dan pentingnya kolaborasi.
Masih banyak yang bangga “hanya” dengan kepemilikan nilai-nilai akademis yang dilaporkan dari sekolah. Sering tidak menjadi perhatian, bagaimana kemampuan komunikasi berbahasanya. Padahal dengan berbahasa yang baik, mulai dari aspek menyimak, berbicara, hingga menulis, akan berkontribusi terhadap daya nalar dan daya kritis anak. Sehingga anak akan mudah menerima materi dan menstimulasi otak untuk dapat berfikir kritis. Dengan kemampuan baca yang baik, peluang untuk kreatif juga akan semakin besar.
Di era disrupsi dan pesatnya perkembangan teknologi informasi ini, kemampuan nalar, kreativitas, dan kekritisan berfikir menjadi penting. Sehingga anak tidak lagi menjadi objek konsumerisme teknologi informasi tetapi justru produktif dengan hasil berupa produk dan pemanfaatan konten teknologi positif yang memberi manfaat secara ekonomi dan sosial.
Tidak diharapkan lagi anak yang terlahir pada generasi Z yang saat ini menjadi objek didik termakan berita bohong dan menyesatkan, atau konten yang tidak beradab dan melanggar norma agama, hukum, dan sosial.
Mengintegrasikan berbagai macam keterampilan dan kecakapan anak ini penting, namun sering lepas dari perhatian orang tua. Diperlukan pemahaman dalam membaca laporan belajar dan mengomunikasikan kecakapan yang telah dipelajari anak dengan guru. Menjadi penting ketika kecakapan pendidikan abad 21 tersebut sudah terpegang oleh anak dan mendapatkan informasi dari guru, sehingga mempermudah dalam menentukan pilihan sekolah selanjutnya.
Pesantren: Salah Satu Pilihan Terbaik
Pesantren dapat menjadi pilihan karena ia sudah mengintegrasikan pendidikan modern dengan kurikulum pondok pesantren. Selain kurikulum khas pesantren yang berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin dalam Kurikulum Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI), diintegrasikan juga kurikulum pendidikan nasional yang di dalamnya terdapat mata pelajaran harus ditempuh seluruh siswa secara nasional. Sehingga alumni ponpes memiliki pengetahuan dan keterampilan, yang berarti lebih siap secara zhahir dan bathin.
Pemerintah juga memayungi pondok pesantren dalam Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019. Dengan UU tersebut, seluruh tingkatan mulai dari Diniyah sampai dengan Ma’had Aly diakui pemerintah. Bahkan program Marhalah Tsaniyah atau Program Pascasarjana Strata-2 (S-2) sudah mulai dibuka di beberapa pesantren yang membuka Ma’had Aly.
Hal tersebut menguatkan pondok pesantren sebagai alternatif pilihan terbaik di tengah-tengah merosotnya moral anak-anak yang cenderung liberal. Menurunnya akhlak dan budi pekerti ketimuran yang sejak nenek moyang diunggulkan. Ini karena di pesantren, anak dilatih kemandirian, kedisiplinan beribadah, etika, dan kepatuhan terhadap orang tua dan orang-orang yang menjadi penunjuk bagi mereka (ustaz) dalam belajar nilai-nilai kebaikan yang diajarkan Islam.
Saat ini, pesantren di bawah NU, penyelenggaraannya tidak seperti tempo dulu yang masih klasik: banyak yang dinilai kurang modern dan mengungkung santri; santri menjadi objek eksploitasi berbagai kepentingan kehendak pengasuh serta terkesan kumuh dan sarangnya penyakit kulit. Namun kini jauh berbeda seiring dengan tuntutan dan tantangan pesantren.
Sebagai tempat belajar bagi generasi Islam yang moderat dan dipersiapkan menjadi kader-kader pemimpin masa depan di negeri ini, masuknya kurikulum pendidikan nasional ke dalam kurikulum pesantren menjadi jawaban pesantren atas tuntutan perkembangan zaman. Sehingga tidak lagi bisa dinilai bahwa santri dikungkung. Harus dibedakan antara dikungkung dengan minimnya kecakapan hidup. Dengan adanya asrama, santri bisa lebih fokus mempelajari kitab, moderasi sosial, dan belajar aneka kecakapan hidup. Di dalam pesantren, dilatihkan keunggulannya masing-masing, multi kecakapan berbahasa, belajar moderasi dari dalam asrama, kepatuhan, dan berfikir kritis melalui berbagai wahana kegiatan santri. Dilatihkan pula kemandirian dan kepemimpinan melalui organisasi pendidikan yang dikembangkan di dalam lingkungan pesantren.
Pesantren, sekarang, dapat memenuhi tuntutan kecakapan abad 21 serta mampu memberikan penguatan karakter yang jelas, sehingga bisa dijadikan bahan diskusi bersama anak dan keluarga sebagai alternatif pilihan terbaik sebagai tempat belajar. Harapannya, anak menjadi santri yang mandiri, kritis, berakhlak, serta berilmu agama dan umum sekaligus sehingga siap menghadapi kompleksitas tuntutan masa depan. Tentu dengan catatan, orang tua harus selektif terhadap profil pesantren yang akan dipilih. (*)
*) Opini oleh: Ust. Kabul Trikuncahyo, S.Pd., M.MPd., wali santri PPM Raden Paku Trenggalek.