Pondok Tengah Kamulan kini telah berusia 2,3 abad. Pesantren yang terletak di Desa Kamulan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, masuk nominasi pesantren tertua dan disebut-sebut akan menerima penghargaan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU.
Bagaimana kisah tentang pesantren ini? Simak kisahnya berikut!
Baca juga: Daftar Pondok Pesantren di Kabupaten Trenggalek
Sejarah Berdirinya Pondok Tengah
Penyebaran Islam di daerah-daerah tidak lepas dari salah seorang tokoh lewat surau-surau kecil. Pengajian hanya sebatas mendengarkan, karena masih banyak masyakat awam mengenai pengetahuan ilmu agama.
Salah satu pondok di Kabupaten Trenggalek kini berusia 2,3 abad. Pasalnya, di surau tempat pertama kali digunakan, salah satu kayu bangunan terukir tahun 1790.
Adalah Pondok Pesantren Hidayatut Thulab, atau disingkat dengan PPHT. Masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Pondok Tengah. Sebab, tak jauh di sebelah utara terdapat pondok. Demikian pula di sebelah selatan yang hanya berjarak 1 KM juga terdapat pondok.
Pondok dengan usia tua ini tepat berada di Desa Kamulan Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek. Salah satu Pengasuh PPHT Pondok Tengah, KH Bahauddin Nafi’i sempat berkisah sebagaimana ditulis dalam catatan sejarah pondok.
Pada 1790, kondisi sekitar masih seperti hutan belantara. Di lokasi yang tak jauh, berdiri sebuah kerajaan bernama Sendang Kamulyan Trenggalek yang sudah tidak bertahta lagi. Yang tersisa hanya lah puing-puing bangunan. Tinggal seorang aparatur Kerajaan Mataram yang melarikan diri meninggalkan anak istri dan kedudukannya.
“Beliau merupakan kiai sufistik, (namanya) Mbah Kiai Ahmad Yunus, putra Mbah Bagus Mukmin yang diambil menantu oleh Raja Mataram,” jelas KH Bahauddin Nafi’i, Selasa (31/1/2023).
Mbah Yunus juga dikenal dengan sebutan Sunan Wilis. Di daerah yang kelak menjadi pondok, ia mendirikan bangunan yang sangat sederhana. Hanya beratapkan ilalang atau alang-alang, serta ijuk guna mengaitkan kayu-kayu bangunan. Bangunan ini dimanfaatkan sebagai pusat penyebarluasan ajaran Islam.
Keuletan dan kesabaran yang dimiliki Mbah Yunus dalam berjuang membuat hutan belantara tersebut berubah menjadi pemukiman penduduk. Daerah itu lah yang kemudian diberi nama Desa Kamulan.
Pihak Mataram mengetahui tempat tinggal Mbah Yunus, sehingga akhirnya istrinya dapat hidup dalam satu keluarga kembali di tempat tinggal di tengah hutan di daerah Kamulyan.
Umumnya hutan belantara, daerah yang didiami Mbah Yunus juga sarat dengan binatang-binatang buas. Tapi bagi Mbah Yunus, binatang buas sama sekali bukan musuh. Mereka justru hidup berdampingan berkat kearifan Mbah Yunus.
Suatu ketika, datang seorang pelarian yang mengaku berasal dari Kerajaan Mataram. Pelarian tersebut mengaku bernama Dho Ali. Dho Ali pun tinggal bersama Mbah Yunus.
Pada akhirnya, Dho Ali mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya. Kepada Mbah Yunus, ia mengungkapkan nama aslinya yaitu Ali Murtadho, salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang berkedudukan di Banyumas, Jawa Tengah. Karena Diponegoro ditangkap karena tipu muslihat Belanda—pada 1830 di Magelang—ia kemudian melarikan diri ke timur. Hingga akhirnya bertemu dengan Mbah Yunus di daerah Kamulan.
Ternyata Mbah Yunus adalah paman dari Dho Ali. Ia lantas diambil menantu oleh Mbah Yunus, dinikahkan dengan Nyai Basyiroh, putri terakhir dari 5 bersaudara.
Roda pesantren berjalan di atas kepemimpinan beliau berdua. Akan tetapi tidak lama setelah Dho Ali dijadikan menantu, Mbah Yunus dipanggil oleh Allah Swt. Maka kepimpinanan pesantren dipegang oleh Dho Ali atau Mbah Kyai Ali Murtadho.
Di masa kepemimpinan Mbah Ali Murtadho ini, dilakukan upaya renovasi masjid bersama para santri. Atas kehendak Allah, pada saat renovasi masjid, ada salah satu santri yang sempat menggores batu dengan telapak tangan. Goresan tangan itu menjadi bukti sejarah sampai sekarang.
Baca juga: Ketua RMI NU Trenggalek Ingatkan Media Jangan Sebut Boarding School dengan Pondok Pesantren
Pondok Tengah di Era Revolusi
Pesantren tersebut terus berkembang hingga Mbah Ali Murtadho wafat. Maka kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama KH Ikhsan. Pada periode ini, Pondok Tengah pernah dijadikan sebagai markas sementara tentara Hizbullah. Ini berlangsung antara tahun 1948 hingga 1949.
Ketika meletus pertempuran 10 November 1948, Pondok Tengah jadi sasaran pengeboman oleh tentara Sekutu. Dikisahkan, satu bom meledak di udara, dan 3 bom lainnya jatuh di area pesantren namun tidak meledak. Hanya satu misil yang meledak yaitu yang menyasar dan meledak di area Pasar Kamulan, sekitar 300 meter dari pesantren.
Hingga sekarang salah satu selongsong bom yang tidak meledak tersebut diabadikan sebagai lonceng tentang masuk dan pulang madrasah serta kegiatan lainnya.
Dalam sejarahnya, Pondok Tengah juga pernah dijadikan sebagai pusat pembinaan dan pengembangan kader GP Ansor untuk ikut serta menumpas pemberontakan G30S PKI.
Dikatakan Gus Bahak, Pondok Tengah sejak dulu sudah memiliki bangunan gedung yang memanjang. Diyakini, model gedung yang demikian merupakan satu-satunya di wilayah Kamulan bahkan Durenan pada masa itu. Hal itu lah yang membuat Pondok Tengah dijadikan sebagai pusat pelatihan kader Ansor pada era 1960 hingga 1970-an.
“Masih banyak saksi sejarah yang memberikan dan menyaksikan sendiri, di sini menjadi pusat informasi dari teman-teman Ansor,” tambah Gus Bahak.
Artinya, memang Pondok Tengah sejak dulu sudah terlibat aktif dalam kegiatan ke-NU-an. Mulai dari kegiatan-kegiatan resmi hingga pengkaderan untuk menumpas pemberontakan pasca kemerdekaan.
Sepeninggal KH Ishsan, kepemimpinan Pondok Tengah dilanjutkan oleh putranya yang bernama KH M Mahmud Ihsan. Kiai Mahmud dibantu adik iparnya yang bernama Kiai Nafi atau yang lebih dikenal dengan Kiai Jumadi.
Pada tanggal 12 Juli 1996 bertepatan dengan 26 Safar 1417 H, KH Mahmud Ihsan wafat. Kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama KH Masrukhin Mahmud bersama KH Toha Munawar dan Kiai Fakhrudin Nafi.
Kiai Toha merupakan putra pertama dari H Sidiq, atau kakak ipar dari KH Mahmud Ihsan. Sedangkan Kiai Fakhrudin adalah putra kedua dari Kiai Jumadi.
Tahun 2010, KH Fakhrudin wafat. Tujuh tahun berikutnya, KH Toha Munawwar menghadap ke hadirat-Nya. Pondok Tengah meninggalkan banyak catatan dan goresan kisah pada lempeng sejarah.
Pondok Tengah Kini
KH Bahauddin Nafi’i, salah seorang pengasuh Pondok Tengah saat ini, menjelaskan, model pesantren salafiyah masih tetap dipegang oleh dzurriyah. Hal tersebut merupakan amanat dari KH Mahmud Ihsan.
“Sekalipun ada era baru, era baru hanya sekedar pelengkap kesalafiyahan-nya. Tetap dipertahankan, sesuai wasiat dari Kiai Ihsan,” bebernya.
Gus Bahak, sapaan akrab KH Bahauddin Nafi’i, mengaku pernah mewawancarai alumni yang sudah berusia lanjut—sekarang sudah meninggal, yang merupakan santri dari Kiai Ihsan.
Menurut alumni tersebut, model mengaji yang berlaku di Pondok Tengah dulu hampir tidak menggunakan kitab. Ia mengistilahkannya dengan jiping, yang merupakan singkatan dari ngaji kuping, yang berarti santri hanya mendengarkan penyampaian guru tanpa membawa kitab. Sebab pada saat itu, masyarakatnya masih sangat awam.
“Setelah kemerdekaan, baru mulai ada tertib pengajian kitab kuning sampai sekarang,” imbuh Gus Bahak yang juga Syuriah MWCNU Durenan ini.
Untuk kegiatan ngaji bagi masyarakat umum adalah setiap selapan sekali, yaitu pengajian kitab Al-Hikam pada Minggu Wage. Ngaji kitab Al-Hikam ini diasuh oleh KH Bahrul Munir. Selain itu juga ada kuliah subuh yang dirintis oleh KH Toha, dan sekarang diteruskan oleh Kiai Bahrul Munir dan Kiai Bilal.
“Kegiatan pengajian di sini seperti umumnya pondok-pondok yang lain. Ada Tafsir Jalalain, Bukhari Muslim, Ihya’ Ulumuddin, pelajaran Fikih seperti umumnya Pondok Pesantren Salafiyah lainnya,” terangnya.
Gus Bahak menambahkan, santri Pondok Tengah mayoritas berasal dari Jawa Timur, kemudian Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat. Namun demikian banyak pula santri dari luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Ambon, bahkan Papua.
Pondok Tengah juga memiliki organisasi alumni, dengan tujuan supaya semua alumni bertanggung jawab dengan keberadaan pondok pesantren.
Pondok Tengah Masuk Deretan Kesebelas Pondok Tertua
Pondok Tengah yang saat ini memiliki 1150-an santri madrasah dan 425 santri mukim masuk deretan 11 besar pondok tertua versi PBNU. Nominasi ini diselenggarakan dalam rangka Satu Abad Nahdlatul Ulama.
Di antara pondok pesantren yang termasuk pesantren tertua adalah: Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, Durenan, Trenggalek (1790), Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah Siwalan Panji, Sidoarjo (1787). Pondok Pesantren Balerante, Cirebon (1779), dan Pondok Pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang (1768).
Berlanjut Pondok Pesantren Qomaruddin, Bungah, Gresik (1753), Pondok Pesantren Buntet, Cirebon (1750). Lalu, ada Pondok Pesantren Jamsaren, Solo (1750), Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan (1718).
Disusul, Pondok Pesantren Babakan, Cirebon (1715), Pondok Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk (1710), dan yang menempati posisi pertama pondok tertua ialah Pondok Pesantren Al-Kahfi Sumolangu, Kebumen (1475).
“Perasaan saya saat masuk nominasi 11 besar pondok tertua yang dirilis PBNU ini saya merasa minder dan malu. Sebab, saya pribadi merasa belum pantas untuk dinominasikan,” ungkap Gus Bahak.
Penulis: Madchan Jazuli
Editor: Androw Dzulfikar