KH. Muhammad Fatchulloh Sholeh adalah Ketua Tanfidziyah PCNU kabupaten Trenggalek. Di periode 2021–2026 ini, beliau menjabat untuk yang kedua kalinya, setelah terpilih kembali melalui Konfercab XV di Pesantren Al-Anwar Ngadirenggo pada Mei 2021 kemarin.
KH. Fatchulloh Sholeh lahir di kabupaten Trenggalek pada tanggal 18 Februari 1973. Gus Loh, panggilan akrab beliau, adalah putra bungsu KH. Muhammad Sholeh bin KH. Abdullah Umar. Kiai Abdullah Umar adalah pendiri pesantren Attaqwa Kedunglurah sekaligus mursyid tarekat Naqsabandiyah-Kholidiyah. Kakek Gus Loh ini merupakan santri dari Syaikhana Kholil Bangkalan, seangkatan dengan Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan Kiai Abdul Karim Lirboyo.
Gus Loh kecil dididik oleh keluarga besarnya dalam lingkungan pesantren salaf dan tarekat. Adapun pendidikan umumnya dijalani di SDN 2 Kedunglurah dan SMPN 1 Pogalan. Baru setelah itu, beliau berkelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya guna menimba ilmu agama. Di antaranya: Pesantren Lirboyo selama 2 tahun kemudian PPHM Ngunut selama 6 tahun.
Selain itu, beliau juga pernah nyantri di Pesantren Fathul Ulum (PFU) Kwagean Pare, PP. Sirojul Ulum Papar (KH. Abdullah Anshori),dan Pesantren Roudlatul Kholidiyah Senepo Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah. Di pesantren terakhir, Gus Loh menghabiskan 1 tahun lebih untuk memperdalam tarekat Naqsabandiyah-Kholidiyah. Di sela-sela mondoknya tersebut, Gus Loh juga berhasil menyelesaikan pendidikan umumnya hingga sarjana.
Khidmahnya di Nahdlatul Ulama dimulai ketika beliau ditunjuk untuk memimpin GP Ansor Ranting Kedunglurah pada tahun 1999/2000. Kemudian aktif di Departemen Dakwah PC GP Ansor Trenggalek, hingga menjadi Ketua Pimpinan Cabang, dan Wakil Ketua PW GP Ansor Jatim. Pada waktu Gus Dur membentuk PKB, bersama tokoh-tokoh pemuda lainnya, termasuk Gus Baha’ PKK, Gus Loh aktif di Garda Bangsa.
Gus Loh juga aktif di PC Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) sebagai sekretaris. Pada waktu itu, Ketua RMI dijabat oleh Kiai Dalilan, di periode Ketua PCNU Trenggalek H. Husni.
Pada tahun 2005, Gus Loh menikah dengan Ning Laila Rohmatin dar PP. Al-Hidayah dan Lembaga Pendidikan Sunnatun Nur, Senori, Tuban. Dari pernikahannya dengan Ning Ela, beliau dikaruniai tiga anak, yaitu Khodijah Alfatich Rahma Ilahi (Icha), Muh. Laroibavieh Anugerah Ilahi (Bavie), dan Adiba Basmalah Rahma Ilahi (Adiba).
Di samping khidmahnya di organisasi Nahdlatul Ulama, beliau juga mendirikan dan mengasuh PP. Bumi Hidayah Attaqwa, Kedunglurah, Pogalan. Melalui pesantren yang didirikan dengan sistem salaf murni tersebut, ada 150-an santri mukim yang beliau asuh, laki-laki maupun perempuan.
Baca juga: Keramat Bu Nyai Mar, Selamatkan Pengurus NU dari Upaya Pembunuhan Kiai Siradj, Jejaring Ulama Nusantara di Makkah dari Trenggalek
Di antara karakter yang melekat pada kiai kharismatik ini adalah jiwa pengayom. Seperti dituturkan Gus Badar, salah seorang kemenakannya, Gus Loh juga figur yang berhati-hati dalam menyikapi masalah apapun. Sehingga apapun permasalahan yang disampaikan kepada beliau dapat diselesaikan dengan baik tanpa mengecewakan masing-masing pihak.
“Gus Loh itu sosok yang bisa mendamaikan. Itu tidak hanya di NU, tapi juga di lingkaran keluarga sendiri dan di lingkungan masyarakat,” ungkap Gus Badar.
Karakter lain yang menonjol dari Gus Loh adalah jiwa sosialnya yang tinggi. Beliau suka membantu orang lain secara diam-diam, hingga orang yang dibantu tidak tahu siapa yang telah membantunya.
“Saya tahu betul cerita-cerita seperti itu, dan sering,” tambah Gus Badar.
Dituturkan Gus Badar, kepribadian dan karakter yang dimiliki Gus Loh tersebut mirip dengan Kiai Siradj, pamanda Gus Loh yang hijrah dan menjadi syekh di Mekah serta gurunya ulama-ulama Nusantara.
Dengan kepribadian dan kharisma yang dimilikinya, Gus Loh—sejak muda—memiliki banyak relasi dengan kiai-kiai muda (gus, gawagis) di Jawa Timur dan wilayah-wilayah lainnya. Hal itu ditunjang dengan kegemarannya berpetualang dan silaturahmi ke berbagai pesantren. Maka tidak heran apabila beliau, bersama sejumlah kiai muda lainnya, menginspirasi terbentuknya Asparagus (Aspirasi Para Lora dan Gus). Beliau juga yang mengenalkan istilah “Habib Jawa” yang populer di kalangan gawagis.
Di periode kedua menahkodai PCNU Trenggalek ini, bersama Rois Syuriah KH. Mastur Ali, beliau bercita-cita untuk mewujudkan jam’iyah dan jamaah NU yang kuat, profesional, dan mandiri guna memperkokoh Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(androw dzulfikar)