Opini – Langgar, atau yang kita sebut di sini sebagai mushala, merupakan tempat ibadah yang tidak jauh fungsinya dengan masjid. Dari bentuk ukuran fisik, mushala lebih kecil. Tentu saja ukuran tersebut lebih sempit untuk dapat menampung banyak jamaah.

anak bermain di langgar surau mushola

Kembali pada kegunaan mushala. Mushala sebenarnya dapat digunakan sebagai tempat ibadah yang dapat dipersamakan dengan masjid: sebagai sarana shalat, tempat belajar mengaji, dan baca tulis al-Qur’an. Asalkan pengelolaan dan prasarananya memadai.

Oleh karena itu, mushala atau langgar memiliki nilai tempat yang sama sebagai tempat ibadah oleh umat Islam, serta untuk memakmurkannya dengan pengembangan syiar dan pendidikan agama.

Mengutip al-Quran dalam at-Taubah ayat 18: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. at-Taubah: 18)

Pada waktu lampau, mushala merupakan tempat berkumpulnya anak-anak. Mereka menghabiskan waktu Maghrib hingga Isya di mushala: shalat jamaah, membaca dan belajar al-Qur’an, atau kegiatan lain yang berhubungan dengan upaya pendekatan diri kepada Allah Swt dan kecintaan terhadap Nabi Muhammad saw. Mereka akan merasa bahagia karena mushala dirasakan sebagai rumah kedua bagi mereka.

Sepulang dari sekolah formal, tempat janjian berikutnya bagi anak-anak adalah mushala. Mereka akan menganggap dunianya melekat dengan mushala, sebagai tempat yang nyaman dan aman. Nyaman karena dapat berkumpul dengan teman-teman. Sedangkan aman sebab mushala bebas dari kegiatan sosial yang menyimpang, sehingga orang tua akan lebih percaya dan yakin jika anaknya ke mushala, karena ada ruang belajar yang edukatif dari sisi materi agama dan pembelajaran akhlak.

Banyak kegiatan lain yang bersifat sosial dan kemanusiaan yang diajarkan di mushala. Berbagi dan memberikan pembelajaran gotong royong sesama santri dengan praktik-praktik sederhana, misalnya mengepel lantai, penjadwalan piket kebersihan, jadwal adzan dan iqomah, serta menjenguk atau mendoakan teman yang menerima musibah. Kedisiplinan dan kepekaan rasa sosial dapat diperoleh dari kegiatan yang dilaksanakan di mushala.

 

Baca juga:

Salahkah Sarjana Menjadi Ibu Rumah Tangga?

Lebaran Ketupat, Sebuah Pertarungan Wacana Sakral-Profan

 

Mushala Kini Tak Seramai Dulu

Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, hal itu berbalik seratus delapan puluh derajat. Kini, banyak mushala yang tidak seramai seperti dahulu. Meski ada yang digunakan sebagai Taman Pedidikan al-Qur’an (TPA), namun kecenderungannya, anak-anak akan segera pergi begitu kegiatan belajar usai.

Mereka lebih memilih bahagia dengan gawainya daripada bersosialisasi di mushala bersama teman-temannya. Meskipun mereka dapat bertemu, tetapi lebih suka bertemu secara virtual melalui kegiatan main bareng (mabar) game online, permainan sosial, dan pertemanan secara online lainnya. Belum lagi dengan konten-konten online lain yang lebih menarik dan tidak membosankan karena saking banyaknya menu pilihan yang tersedia secara terbuka dan bebas di berbagai alamat website.

Hal itulah yang meminggirkan peran mushala sebagai sarana pendidikan agama Islam kepada anak-anak. Karena mushala dianggap tempat yang tidak menarik serta membosankan. Mereka berpikiran jika tugas mengajinya selesai, selesailah kewajiban mereka untuk mengembangkan diri melalui kegiatan-kegiatan di mushala. Sehingga mushala sebagai tempat yang nyaman tidak lagi mereka dapatkan. Bagi mereka, aplikasi di gawai lebih memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan, karena semua hiburan yang diinginkan tersedia di sana.

Kenyataan tersebut menjadikan peran mushala sebagai syiar pendidikan agama berkurang. Bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali kecuali sebagai tempat shalat di beberapa waktu. Ironisnya, jamaah yang ada banyak yang tidak memenuhi satu shof, bahkan tidak diwarnai oleh anak-anak.

Maka patut disayangkan jika mushala menjadi ditakuti oleh anak-anak gara-gara mereka dianggap mengganggu kekusyukan shalat. Anak-anak dimarahi atau mendapatkan perundungan dari orang-orang yang tidak mengetahui pendekatan kepada anak dengan benar. Sehingga anak-anak enggan untuk ikut belajar memakmurkan mushala. Dampak jangka panjangnya, mushala menjadi sepi. Bahkan di beberapa tempat, penulis menjumpai mushala dijadikan tempat rumput dan hasil pertanian.

 

Perlunya Inovasi dan Pembaharuan di Mushala

Sudah saatnya mushala dikelola dengan mengikuti perkembangan teknologi dan informasi. Mushala sudah semestinya dikelola secara lebih modern sebagaimana pesantren yang sudah berubah pengelolaan dan materi pembelajarannya.

Mushala tidak bisa disepelekan lagi sebagai dasar generasi penerus nahdliyin untuk mengawali belajar agama Islam lebih jauh. Jika membutuhkan generasi unggul dan mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman, tentu mushala sebagai sarana terdekat dengan kehidupan anak-anak perlu mendapatkan perhatian lebih. Baik manajeman maupun semacam kurikulum yang digunakan.

Perhatian perlu dimulai dari tingkatan teratas. Syukur jika pengurus atau pemilik mushala adaptif terhadap tuntutan masa. Sehingga mushala yang dikelola pribadi dapat berkembang, baik sebagai sarana ibadah maupun sarana pendidikan: tidak lagi sebagai mushala yang eksklusif yang dikuasai oleh pemilik yang tidak bisa menerima pembaharuan dengan mengedepankan pola pikir dan pengelolaan yang masih kuno. Karena hal itu hanya akan menjadikan mushala semakin ditinggalkan oleh anak-anak yang pengaruh modernisasinya lebih cepat dibandingkan dengan orang tua.

Kita berharap mushala kembali bergema sebagaimana dahulu, pada saat teknologi belum memasuki dan menghantui negeri ini. Sebab, dampak mudarat dari teknologi tersebut akan jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya jika wadahnya, seperti mushala, sebatas digunakan sebagai sarana ibadah saja dan tidak dikelola sesuai dengan tantangannya.

Sekali lagi, persoalan tersebut memerlukan perhatian dari lembaga dan institusi terkait. Di samping tentunya keterbukaan, kreatifitas, dan inovasi dari pemilik atau pengelola untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan sarana kecil tersebut.

Mushala lebih dekat dengan jamaah akar rumput yang notabene dekat dengan anak-anak. Anak-anak yang masih bisa dipola, diasuh dengan nilai-nilai agama secara lebih mudah. Masa depannya diharapkan menjadi tumpuan syiar agama Islam yang rahmatan lil almin, serta menjadi generasi yang selalu memakmurkan masjid atau mushala. (*)


* Opini dari Kabul Trikuncahyo, S.Pd., M.M.Pd., alumni santri Langgar Koni Krajan, Depok, Panggul; penulis lepas di media cetak dan online; telah menerbitkan 3 buku yaitu Puisi  Rambut Pirang di Gendongan (2017), Mutiara dari Wall Facebook (2019), dan Opini Pendidikan : Saatnya Berpendapat (2019).

1 comment
Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Nuansa Wahabi Dibalik Gerakan Padri

Oleh : Ust. Afrizal el-Adzim Syahputra, Lc., MA Kemunculan gerakan Salafi-Wahabi di…

10 Watak Wasathiyyah Nahdlatul Ulama

Oleh : Habib Wakidatul Ihtiar*   Nahdlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah diniyyah-ijtima’iyah…

Siti dan Sayyidati: Adaptasi Islam dengan Budaya Lokal

Oleh: Misbahus Surur*    ESAI — Beberapa hari lalu secara tak sengaja saya…

Idulfitri: Merayakan Makna dan “Diri” yang Sejati

Oleh: Ustadz Surya Qalandar¹   “Al-Hubûṭ” dan Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’an, digambarkan…