*Baiq Hayun Nurwulan

Menciptakan tata kehidupan yang maslahat, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan tujuan syariat yang membberikan perlindungan terhadap agama atau keyakinannya, jiwanya, pendapatnya, keturunannya, dan harta bendanya adalah impian semua umat. Impian tersebut dalam pandangan Nahdlatul Ulama disebut Mabadi Khaira Ummah.

Mabadi khaira ummah bukan sekedar romantisme sejarah. Ia didorong oleh adanya kesadaran bahwa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan, NU harus didukung oleh umat atau gerakan nahdliyin yang memiliki sifat-sifat terpuji dan mental juang tinggi yang senantiasa mengembang tugas amar ma’ruf dan nahi munkar dalam menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah.

Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari umat Islam maupun hidup bernegara, maka sebagai warga NU dituntut ikut serta aktif dalam menciptakan kerukunan antar umat seagama, antar umat beragama, dan menghindarkan dari segala bentuk macam kekerasan fisik seperti radikalisme yang saat ini sering kali terjadi, kekerasan paham atau pemaksaan paham terhadap golongan tertentu, maupun kekerasan budaya. Kekerasan budaya sendiri yang pernah terjadi di Indonesia yaitu kekerasan yang terjadi berupa konflik antar suku atau pun antar etnis seperti  konflik Aceh dan konflik yang lain, sehingga mengakibatkan kerugian terhadap suku itu sendiri.

Budaya sendiri merupakan kebiasaan adat istiadat yang bukan merupakan gerakan spontan atau bahkan sekedar rutinitas, namun sebuah gerakan yang sadar memiliki konsep tahapan strategi maupun taktik. Sedangkan kekerasan budaya merupakan sebuah teror atau ancaman yang menakutkan yang dapat mempengaruhi pemikiran dan dapat mempengaruhi per seseorang menjadi menyimpan dan merusak tatanan kehidupan sosial.

Saat ini, banyak muslim yang mulai lupa jika di dalam Islam mengajarkan perdamaian. Kenyataannya, banyak negara muslim di dunia yang mengalami konflik dan perang saudara. Akibat dari konflik tersebut, banyak negara muslim yang kehilangan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya untuk membangun negeri mereka sendiri namun malah untuk menyelesaikan konflik. Hal tersebut berakibat kepada kesejahteraan umat yang seharusnya untuk memajukan peradaban kebudayaan dan meningkatkan teknologi, namun justru negara muslim mengalami keterbelakangan.

Mengambil Spirit Antiradikalisme dari Piagam Madinah

Bulan Maret 2022 kemarin, Sunardi, seorang dokter tewas meregang nyawa setelah dihadiahi timah panas oleh Densus 88. Keputusan Densus 88 itu diambil karena target operasi berusaha melukai petugas. Berurusan dengan Densus 88 pastilah target operasi tersebut tidak jauh dari kasus terorisme. 

Berkaitan dengan terorisme, masih terngiang di ingatan kita bahwa kedamaian kita terusik kembali lewat peristiwa terorisme yang terjadi di Makassar. Tepatnya tahun 2021, di Gereja Katedral Suara Hati Yesus Yang Maha Kudus. Peristiwa itu kembali menyadarkan kita semua bahwa tindakan terorisme masih terus saja terjadi meskipun kelompok-kelompok radikal sudah bertumbangan.

Kedua kejadian tersebut menjadi pengingat bahwa UU Terorisme yang digadang-gadang mampu mencegah aksi teror sebelum terjadi, toh, jebol juga.

Di tengah kabar duka itu, komentar yang disesalkan bersumber dari salah satu pemegang otoritas keagamaan negeri kita: “Terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama.” Kalimat itu terus berulang sepanjang terjadinya kasus terorisme di Indonesia.

Dalam pandangan saya, pengakuan agama para pelaku teror bisa menjadi dasar untuk membenahi interpretasi agama yang kerap disalahgunakan. Sehingga akan konsisten apabila selanjutnya pelaku yang ditangkap hidup-hidup kemudian mendapatkan pembelaan dari tim pengacara yang berafiliasi dengan agama tertentu. Sedangkan pelaku yang telah meninggal dunia, jenazahnya dirawat ala agama tertentu pula.

Hal ini menarik bagi saya untuk menelisik kembali khazanah Islam di masa awal. Apabila kita menengok sejarah Islam klasik, kita akan menemukan sebuah teks bahwasanya Nabi Muhammad saw tidak ragu-ragu memerangi para pelaku teroris, meskipun pelaku tersebut adalah seorang mukmin sejati.

Teks tersebut bisa kita baca di Piagam Madinah. Sebuah dekrit kesepakatan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw antara Muhajirin dari Mekah dengan para penduduk asli Yatsrib atau Madinah. Sebagai teks perjanjian, tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa yang formal, rigid, jelas, dan panjang. Siapa sih di antara kita yang mau mengernyitkan dahi membaca perjanjian sepanjang itu?

Panjang, karena piagam ini memang terdiri dari 60-an pasal. Piagam ini dinilai otentik karena diriwayatkan oleh banyak cendekiawan muslim awal.  Kita bisa menemukannya di periwayatan Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, Bidayah wa Nihayah milik Ibnu Katsir, serta Imam Tabrani. Jadi, piagam Madinah sudah banyak diketahui oleh para ulama serta menjadi dasar hukum sejak awal kehadiran Nabi Muhammad saw di Madinah, mendahului ayat-ayat hukum dalam Alquran.

Tidak main-main, pihak-pihak yang mencoba memerangi atau berkhianat kepada Piagam Madinah ini akan benar-benar diperangi. Di antaranya yang paling masyhur ialah Bani Quraizah, Bani Qainuqa’, dan Bani Nadhir. Ketiga bani ini telah nyata-nyata memusuhi kesepakatan bersama yang dipimpin Nabi Muhammad. 

Ketiga bani atau suku tersebut ialah bani-bani yang berafiliasi dengan agama Yahudi. Selain suku-suku tersebut, masih banyak suku Yahudi lain yang hidupnya dijamin aman di bawah payung hukum piagam ini. Dan, mereka disebutkan dengan jelas di dalamnya.

Lalu bagaimana apabila pelanggaran itu dilakukan oleh orang mukmin itu sendiri?

Dalam piagam Madinah pasal 13 (penomoran ini didapat ketika frasa: “Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu” terletak di pasal 1) disebutkan dengan begitu gamblang:

“Kaum mukmin yang bertakwa harus menentang orang mukmin sendiri yang berbuat pemberontakan (bughat) yang menuntut secara zalim atau secara jahat atau membuat permusuhan atau membuat kerusakan. Semua bersama-sama wajib menentangnya meskipun pelakunya adalah anak sendiri.”

Di masa itu, tentu, kita belum menemukan kosakata terorisme, atau dalam bahasa Arab disebut sebagai irhab. Pun, tidak ada kosakata itu, baik di dalam Alquran maupun hadis Nabi. Meski kata terorisme baru diakui pada abad ke-19, namun definisinya mencakup apa yang disebut dalam piagam tersebut, yaitu berbuat permusuhan dan perusakan. Jadi, tidak perlu diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad saw sangat sepakat untuk memerangi segala bentuk teror seperti yang tertera dalam piagam tersebut.

Kedua, dalam pasal tersebut menunjukkan (sekali lagi) dengan amat lugas bahwa kaum beriman (mukmin) atau pengikut Nabi Muhammad saw yang telah bersyahadat tidak menutup kemungkinan akan berbuat kejahatan. Tanpa tedheng aling-aling, Nabi Muhammad saw dan pengikutnya serta para penduduk Madinah siap berperang melawan tindakan kejahatan, meskipun pelakunya adalah mukmin itu sendiri atau bahkan anak kandung mereka.

Kaum mukmin yang kemudian menjadi “korban” pasal 13 ini ialah mereka yang melakukan spionase, sebagaimana diabadikan dalam awal surat Al-Baqarah. Ini bisa menjadi masukan bagi para pemegang otoritas keagamaan Indonesia untuk tidak malu lagi mengungkap identitas keagamaan teroris. Tidak mengapa. Dengan mengakui itu semua, toh, kita bisa menerima, tentu kemudian melakukan evaluasi. Mau bagaimana lagi?

*Esai oleh: Ustadzah Baiq Hayun Nurwulan; pengajar di SDN 4 Nglebeng Panggul dan pengurus PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN NU) Trenggalek
You May Also Like

Nuansa Wahabi Dibalik Gerakan Padri

Oleh : Ust. Afrizal el-Adzim Syahputra, Lc., MA Kemunculan gerakan Salafi-Wahabi di…

10 Watak Wasathiyyah Nahdlatul Ulama

Oleh : Habib Wakidatul Ihtiar*   Nahdlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah diniyyah-ijtima’iyah…

Siti dan Sayyidati: Adaptasi Islam dengan Budaya Lokal

Oleh: Misbahus Surur*    ESAI — Beberapa hari lalu secara tak sengaja saya…

Idulfitri: Merayakan Makna dan “Diri” yang Sejati

Oleh: Ustadz Surya Qalandar¹   “Al-Hubûṭ” dan Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’an, digambarkan…