Dakwah adalah sebuah upaya mensyiarkan agama agar tetap lestari di muka bumi. Maka seorang pendakwah atau dai harus mempunyai strategi agar dakwahnya efektif sehingga dapat diterima, dipahami, dan dijalankan oleh samiin dengan penuh kesadaran.

Dalam al-Qur’anil Karim surat an-Nahl ayat 125, Allah Ta’ala berfirman:

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Seorang pendakwah harus tahu betul karakteristik wilayah atau daerah yang akan menjadi tempat dakwahnya, terutama pada wilayah atau daerah pedesaan. Dari ayat di atas, setidaknya dapat diambil kesimpulan, bahwa kesuksesan dalam berdakwah harus memahami betul metode dakwah yang efektif. Yakni, dari segi pendakwahnya, materinya, dan kondisi pendengarnya.

Baca juga: Masjid Darus Tsanawi, Penyangga Dakwah Islam di Pesisir Selatan Trenggalek

Strategi Dakwah Di Pedesaan

Ada tiga strategi yang dapat kita ambil sebagai bahan dakwah:

Pertama, strategi hikmah dan bil-hal. Masyarakat desa pada umumnya tidak semata melihat dalil-dalil secara kontekstual saja (mâ qâla), tetapi lebih cenderung melihat pendakwahnya (man qâla). Artinya, yang lebih diutamakan bagi pendakwahnya adalah ruhul da’i-nya. Pendakwah harus sesering mungkin mengadakan pendekatan, misal lewat bersilaturahim dan berdiskusi atau berdialog, agar mudah memberi kepahaman sesuai tingkatan kepandaian dan pendidikannya.

Pendakwah, selain harus dengan perkataan yang tegas (bukan keras) dan benar, harus pula bisa menjadi teladan bagi mereka. Dalam hal ini metode bilhal adalah kebutuhan pendakwah yang paling mendasar. Masyarakat pedesaan akan memandang dan meneladani haliyah pendakwah. Perilaku pendakwah menjadi kunci kesuksesan dalam berdakwah.

Kedua, strategi mauidzah. Dakwah adalah mengajak, bukan mengejek; memberi nasehat, bukan melaknat; menyayangi, bukan menghakimi; dan merangkul, bukan memukul. Ajakan bisa diterima apabila dengan bahasa yang sopan, lembut, santun, dan menyejukkan. Sehingga membuat orang yang mendengarkan merasa senang dan terbimbing. Maka akan tumbuh lah kesadaran dalam beragama dan menjalankan syariat agama tidak terpaksa.

Dalam hal ini, disela-sela dakwahnya, pendakwah bisa menghadirkan kisah-kisah teladan dan analogi yang bisa mengetuk pikiran dan jiwa pendengarnya. Bisa juga—sesuai pengalaman—menghadirkan tembang-tembang macapat atau tembang-tembang suluk karya Wali Songo.

Dan strategi ketiga, debat atau diskusi. Yang diperlukan dalam berdakwah kepada masyarakat desa adalah argumen dan dalil-dalil yang mendasar. Istilah Jawa: ora ndakik-ndakik (tidak berbelit-belit). Dalam menjawab hukum-hukum agama pun, mereka perlu contoh-contoh dan argumen logis yang mudah diterima dan dipahami.

Oleh karena itu, pendakwah seyogyanya terus menambah wawasan, di antaranya wawasan tentang kondisi masyarakat pedesaan sebagai sasaran dakwah. Berikut ini kondisi masyarakat pedesaan yang perlu diketahui, antara lain:

  1. Corak kehidupan sosialnya bersifat gemain schaft atau مُنَظَمَةٌ  (paguyuban), yang memiliki sintimen komunitas yang kuat.
  2. Interaksi sosial antar warga lebih terjaga, seperti gotong royong dan solidaritas. Dalam bahasa Jawa ada istilah “mangan ora mangan penting kumpul” (makan tidak makan, yang penting bersama).
  3. Memiliki keterikatan yang kuat terhadap tanah kelahirannya dan tradisi-tradisi warisan leluhur, bahkan menjadi aturan moral dan mengikat.
  4. Menjaga, loyal, dan menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku dalam tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang baik dan membawa manfaat (al-muhafadzah ‘ala qadimis shalih), namun terbuka dan menerima tradisi baru selama membawa manfaat dan kebaikan (al akhdzu ‘ala jadidil ashlah).
  5. Masyarakat pedesaan menggunakan pesantren, masjid, mushalla dan madrasah sebagai tempat pembelajaran dan pendidikan atau tarbiyah yang utama. Istikamah melestarikan tradisi-tradisi ulama salaf, seperti tahlilan, yasinan, ziarah makam, manakiban, shalawatan, dan lain-lain.

Interaksi masyarakat pedesaan yang tidak bisa lepas dari tradisi, budaya, dan kearifan lokalnya ini menuntut kearifan terhadap seorang pendakwah.

Semoga bermanfaat.

Artikel oleh Kiai Ali Asmungi, Ketua LDNU Trenggalek; disampaikan dalam acara NGIDE Lembaga Dakwah PBNU, 30 Mei 2023.
You May Also Like

Dewi Yukha Nida, Qari Internasional dari Trenggalek

Ning Nida, demikian ia biasa dipanggil. Sapaan “Ning” kepadanya tidaklah berlebihan. Bukan…

Mengenal Lebih Dekat Ketua PCNU Trenggalek KH. Fatchulloh Sholeh (Gus Loh)

KH. Muhammad Fatchulloh Sholeh adalah Ketua Tanfidziyah PCNU kabupaten Trenggalek. Di periode…

Sejarah Tradisi Kupatan di Durenan Trenggalek: Dari Wali Songo hingga Mbah Mesir

Tradisi kupatan merupakan akulturasi budaya yang dilakukan oleh salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga. Tradisi kupatan yang sebelumnya adalah simbol yang dikenal

Sosok Mbah Anwar, Cikal Bakal Pondok Al-Anwar Ngadirenggo

Sebelum berdiri madrasah pada 1992, Kiai Ghufron mengajar para santrinya di langgar atau musala kecil yang sudah terlebih dahulu berdiri.