Oleh: Misbahus Surur*
Seorang tetangga sebelah rumah di kampung bercerita ihwal kebingungannya mengamati perkembangan berbagai kelompok Islam yang sering ia saksikan tampil di televisi dalam beberapa tahun terakhir. Ia bingung saat mengamati model keberislaman mereka, yang rasa-rasanya berbeda dengan penampakan Islam yang ia lihat sehari-hari di kampungnya. Melalui berbagai saluran televisi, ia kerap mengamati fenomena, antara lain, kesukaan orang membuat bom lalu meledakkan diri dalam kerumunan massa. Mereka membuat teror berdarah hingga membunuhi manusia, tapi anehnya seperti orang tak berdosa, lagi bangga dengan mengatasnamakan agama.
Belum berhenti, dalam satu saluran televisi lainnya, bernama Yufid tv, ada satu-dua ustadz pengisi program acara dakwah kerap sekali mengharamkan amaliah tahlilan, yasinan juga ziarah kubur. Rangkaian amaliah yang tetangga saya tersebut dan orang sekampung hampir setiap minggu lakukan. Di lain waktu, ia juga menyaksikan mengenai sekelompok orang Islam yang kerap berpakaian serba putih: bejenggot dan bercelana cingkrang berbalut jubah dan serban, sambil berkeliling dakwah ke mana-mana. Hingga mereka berdakwah ke lokasi-lokasi orang-orang Islam sendiri, yang nota bene juga sudah menjalankan ritual ibadahnya dengan benar.
Di lain kesempatan, ia menyaksikan sekelompok orang Islam lainnya, kadang juga mengenakan jubah dan serban, tapi selalu lekat dengan aktivitas menutup kafe dan warung makan, menghancurkan tempat hiburan dan warung-warung di pinggir jalan, apalagi yang berani buka siang hari di saat bulan puasa. Mereka juga sering meny-sweeping orang sambil mengacung-acungkan benda tajam maupun tumpul dan berbagai jenis benda keras lain yang digunakan untuk mengobrak-abrik tempat-tempat yang baru saja disebutkan.
Saya masih setia mendengarkannya, saat ia terus nyerocos bercerita mengenai segolongan orang Islam yang kegiatannya turun ke jalan, seperti gelombang manusia hendak berdemonstrasi, sembari membentangkan kain lebar dan besar, berwarna hitam dan putih bertuliskan kalimat berbahasa Arab disertai teriakan “khilafah adalah solusi!” Kadang mereka, sebagaimana yang masih ia saksikan di televisi tiap hari, juga menamai gerakan-gerakannya dengan simbol-simbol angka, seperti 212, 1812 dan seterusnya. Lalu di akhir cerita ia bertanya ke saya, mereka semua itu golongan yang sama atau bagaimana? Seumpama tidak sama, lalu apa perbedaannya?
“Mereka bingung ingin tahu Islam yang seperti di televisi itu sebetulnya Islam yang bagaimana, kok tidak sama dengan Islam di kampung kita?”
Tetangga saya, yang termasuk muslim taat itu—sebab ia aktif pergi ke masjid tiap azan berkumandang—barangkali satu di antara banyak orang di kampung yang kebingungan dengan perkembangan Islam kiwari, terutama paska tumbangnya Soeharto, tahun 1998, dan lahirnya reformasi. Mereka bingung ingin tahu Islam yang seperti di televisi itu sebetulnya Islam yang bagaimana, kok tidak sama dengan Islam di kampung kita?
Pada saat itu saya jawab ala kadarnya saja. “Begitulah penampakan umat Islam di kota-kota, golongannya macam-macam dan aneh-aneh. Kalau di kampung kita kan cuma ada NU dan Muhammadiyah. Nah, di kota itu lebih banyak lagi model dan ekspresi keagamaannya. Lagi pula itu belum tampil semua.”
Saya jadi berpikir, barangkali begitulah fenomena masyarakat di desa. Tetangga rumah tadi, saya anggap satu sampel saja dari banyak orang di desa yang sebetulnya ndak tahu menahu alias blank dengan perkembangan peta gerakan dan ideologi Islam di zaman ambrol ini. Kita sendiri kadang menganggap mereka (kelompok-kelompok yang diceritakan tetangga saya itu) dengan satu nama: golongan Islam radikal/ekstrem. Atau kadang secara sambil lalu kita sebut Islam kanan. Bagi kalangan awam dan orang sepuh tentu bisa dimaklumi, tapi bagi warga Nahdliyin, terutama yang muda-muda, sepertinya menjadi keharusan untuk mengetahui, agar tidak mudah terprovokasi atau bahkan tertarik mengikuti sebelum mendalaminya lebih jauh.
Tipologi Gerakan Ektremisme Islam/Islam Radikal di Indonesia
Sebetulnya gerakan Islam dikatakan fundamental, ekstrem atau radikal kategorinya adalah jika melakukan tiga hal: pertama, menolak pemerintahan yang sah; kedua, menolak paham keislaman mainstream yang hidup di suatu negara; ketiga, menolak ideologi politik nasional; dan keempat, menolak partisipasi politik mayoritas muslim dalam demokrasi (sistem sah yang digunakan di sebuah negara). Sebuah gerakan dikatakan radikal-fundamentalis (ekstrem), apabila mereka mengembangkan ancaman yang bersifat nasional dan mengganggu keamanan/”ketertiban” negara/bangsa dan stabilitas nasional.
Adakah di Indonesia gerakan seperti itu? Tentu saja banyak, dan bahkan sering show force di sekitar kita, maupun yang hanya kita lihat dan baca di televisi dan berita di media. Sebagaimana yang kita dan tetangga saya tadi sering saksikan di saluran-saluran televisi. Gerakan radikal ekstremis tersebut juga bisa diselidiki dari karakter pola pikir yang dikembangkan yang berseberangan dengan gerakan Islam moderat macam NU dan Muhammadiyah. Pola pikir ini secara ringkas bisa dirumuskan lewat tanggapan mereka terkait pola hubungan antara agama dan negara, serta bagaimana model menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Secara garis besar pemikiran gerakan Islam dalam kategori fundamental-ekstrem itu cenderung mengembangkan jenis pemikiran keagamaan yang idealistik-utopis. Sementara gerakan moderat sendiri dekat dengan model pemikiran keagamaan yang realistik-kontekstual. Selain itu, gerakan fundamental juga mengembangkan corak kehidupan beragama yang integral (seperti jargon Islam kaffah); kalau dalam dunia kesusastraannya barangkali semacam seni untuk seni. Adapun gerakan moderat menampakkan corak kehidupan beragama yang prinsipil (Islam untuk kemajuan bangsa), yakni lebih condong ke bagaimana nilai-nilai Islam dikembangkan untuk perbaikan masyarakat dan tidak terbelenggu oleh isu formalisasi (seperti jargon Indonesia bersyariah atau khilafahisme); mungkin semacam seni untuk masyarakat (manusia) kalau dalam dunia sastranya…
Tapi secara lebih spesifik, ihwal ideologi Islam radikal-fundamental ini, khususnya dalam konteks Indonesia, memang semuanya membasiskan diri pada paham salafisme. Dalam arti, beberapa karakter gerakan Islam, sebagaimana yang akan kita bahas, sumbernya adalah paham yang berkarakter salafi—bedakan dengan makna pondok salaf!. Seperti misalnya, paham skriptualis alias tekstualitas, pemurnian agama dari pengaruh budaya dan lokalitas, juga penempatan atau ikhtiar menerapkan sistem politik Islam di masa Nabi yang dijadikan sebagai role model ideal tanpa melihat atau abai terhadap konteks situasi kini (modern) dan lokal.
“Salafisme ini…secara ringkas akan kita bagi menjadi 3 gerakan besar…: salafi-jihadi, salafi-haroki, dan salafi-wahabi.”
Salafisme ini, dengan merujuk pada Syaiful Arif, secara ringkas akan kita bagi menjadi 3 gerakan besar, dan fenomena-fenomena di paragraf pembuka tulisan ini bisa kita kategorikan/masukkan sendiri ke dalam tiga tipologi yang telah kita petakan berikut (dalam Syaiful Arif, 2018: hlm. 179): pertama adalah salafi-jihadi; lalu salafi-haroki dan yang terakhir salafi-wahabi. Dan puritanisme sebetulnya adalah sikap dasar atau sikap umum dari semua varian (tiga tipologi besar) gerakan radikalisme Islam tersebut. Perbedaannya barangkali hanya pada fokus wilayah/titik tekannya saja.
Salafi-wahabi misalnya sebagai tingkatan paling bawah adalah gerakan yang lebih banyak terkonsentrasi pada paham puritanisme. Lagi pula kelompok ini tidak berpolitik segarang gerakan salafi-haroki, lagi tidak menganjurkan aksi kekerasan seekstrem gerakan salafi-jihadi. Bisa dikatakan salafi-wahabi adalah gerakan yang fokus ke purifikasi agama.
Sementara itu, salafi-haroki, selain dikenal puritan, gerakan ini juga bergairah menciptakan tatanan yang ingin mengubah masyarakat secara kaffah berbasis ideologi Islam. Tujuan salafi-haroki adalah penggantian sistem politik modern, diganti dengan tawaran sistem politik Islam. Baik dalam bentuk khilafah islamiyah (global) seperti yang diusung oleh kelompok HTI, maupun dengan daulah islamiyah (nasional) seperti yang barangkali pernah diidamkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara puncak dari puritanisme, adalah gerakan gabungan antara politik dan pendekatan militeristik, seperti yang dilakukan oleh gerakan salafi-jihadi. Mereka sering menafsirkan jihad semata-mata dengan berperang. Dalam hal ini, perang melawan negara kafir Barat dan negara-negara Muslim yang tidak menggunakan sistem pemerintahan Islami. Salafi-jihadi pandangan hidupnya puritan (sebagaimana salafi-wahabi), juga ingin mendirikan sistem politik Islam (sebagaimana gerakan salafi-haroki), selain mereka sendiri dikenal kerap menggunakan modal dan model kekerasan serta aksi biadab nan keji, yang mereka sebut sendiri dengan jihad.
Intinya, salafi-wahabi bergerak di ranah kultural. Mereka menggunakan media dakwah seperti televisi dan pesantren, untuk mempromosikan serta menganjurkan pemurnian agama melawan budaya lokal dan seterusnya. Sementara salafi-haroki bergerak di ranah politik, dengan tujuan akhir pendirian pemerintahan Islam, baik negara Islam nasional sebagaimana yang dulu pernah diperjuangkan (dalam konteks internasional) oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dengan tokoh seperti Hasan Al-Banna, maupun sistem pemerintahan Islam global sebagaimana yang tak pernah lelah diusung oleh kelompok Hizbut Tahrir (HT), dengan tokoh besar, Muhammad Taqiyyuddin An-Nabhani.
Di atas kedua gerakan tersebut, adalah salafi-jihadi yang menjadikan aksi-aksi teror mengerikan—sebagaimana yang pernah dilakukan ISIS—sebagai strategi utama. Dan rata-rata, anggotanya adalah eks anggota mujahidin yang pernah terlibat dalam berbagai perang di Timur Tengah, juga serangkaian aksi dan insiden teror seperti bom menggunakan landasan ayat-ayat agama di berbagai tempat di Indonesia.
Lalu gerakan seperti Front Pembela Islam (FPI), kira-kira bisa kita masukkan ke tipologi yang mana? Mari belajar mengidentifikasi. Panduannya sudah tersedia di atas. Selamat mencoba.
*Misbahus Surur adalah warga NU kultural Trenggalek dan mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, UIN Maliki, Malang. Peminat kajian pemikiran Islam, antropologi dan sejarah. Bukunya antara lain Trenggalek pada Suatu Pagi (2017), Sebelum Trenggalek Kini: RemahRemah Peradaban Kerajaan Agraris (2019) serta Kronik Pedalaman: Perdikan, Islam, dan Akhir Majapahit (2020)