Bagaimana kita melihat Allah di akhirat nanti? (Akhir bagian I)
Sebelum menjawabnya, perlu diingat poin utama bahasan di atas dulu, yakni: aturan main dalam hukum alam di dunia jangan diberlakukan di akhirat.
Pertama, apabila biasanya di dunia kita harus menghadap ke arah objek untuk bisa melihatnya, maka di akhirat aturan ini bisa ditiadakan. Bahkan di dunia pun hal ini tak harus terjadi dalam konteks mukjizat dan karamah.
Kedua, apabila biasanya di dunia kita hanya dapat melihat sesuatu yang bisa ditabrak oleh partikel cahaya, maka di akhirat aturan ini bisa ditiadakan. Kalau mengharuskan hukum ini di akhirat, sama saja kita harus mengharuskan dzat Allah ditabrak partikel cahaya dulu agar mata kita mampu melihatnya. Ini keyakinan para Mujassimah yang sesat dan sama sekali tak ada dalilnya. Kalau ada yang memaksakan diri mengatakan ini, maka ia sudah menetapkan apa yang tak ditetapkan oleh Allah atas dirinya sehingga keluarlah dia dari barisan Ahlussunnah.
Ketiga, apabila biasanya di dunia kita hanya dapat melihat sesuatu yang berada dalam ruang tertentu dan perlu jarak tertentu, perlu tak ada pemisah antara yang dilihat dan yang melihat, maka di akhirat aturan ini juga bisa ditiadakan seperti aturan hukum fisika lainnya yang tak berlaku di akhirat.
Keempat, apabila di dunia mata kita hanya bisa melihat hal yang bersifat material, maka di akhirat aturan ini juga bisa ditiadakan dengan kehendak Allah.
Peniadaan aturan main fisika duniawi inilah yang menjadi pembeda antara Ahlussunnah dan Ahlul bid’ah. Imam al-Qurthubi sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani—dalam Fathul Bari (13/426)—menjelaskan:
وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ اشْتَرَطَ النُّفَاةُ فِي الرُّؤْيَةِ شُرُوطًا عَقْلِيَّةً كَالْبِنْيَةِ الْمَخْصُوصَةِ وَالْمُقَابَلَةِ وَاتِّصَالِ الْأَشِعَّةِ وَزَوَالِ الْمَوَانِعِ كَالْبُعْدِ وَالْحَجْبِ فِي خَبْطٍ لَهُمْ وَتَحَكُّمٍ وَأَهْلُ السُّنَّةِ لَا يَشْتَرِطُونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ سِوَى وُجُودِ الْمَرْئِيِّ وَأَنَّ الرُّؤْيَةَ إِدْرَاكٌ يَخْلُقُهُ اللَّهُ تَعَالَى لِلرَّائِي فَيَرَى الْمَرْئِيَّ
Artinya: “Al-Qurthubi berkata: ‘Para pengingkar rukyah (melihat Allah) menyaratkan beberapa syarat rasional, seperti adanya tempat yang khusus, berhadapan/ berarah, tersambungnya cahaya dan tiadanya penghalang seperti jarak yang jauh atau tabir. [Persyaratan ini] kacau dan klaim belaka. Sedangkan Ahlussunnah tak menyaratkan satu pun kecuali adanya sesuatu yang dilihat. Dan, sesungguhnya rukyah itu adalah suatu pengetahuan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia yang melihat sehingga ia bisa melihat’.”
Bila peniadaan aturan main fisika duniawi di atas tak disetujui, misalnya karena percaya terhadap klaim Ibnu Taymiyah—dalam بيان تلبيس الجهمية—yang berkata:
ان كون الرؤية مستلزمة لان يكون الله بجهة من الرائى امر ثبت بالنصوص
(Bahwa keberadaan rukyat mengharuskan keberadaan Allah di suatu arah dari yang melihat adalah sesuatu yang ditetapkan dengan nash-nash yang mutawatir),
Maka silakan siapapun yang biasanya mempercayai mentah-mentah klaim-klaim Syaikh Ibnu Taymiyah itu untuk membuktikan klaimnya dengan mendatangkan nash (al-Qur’an dan hadis) yang berisi wajibnya pemberlakuan arah ketika melihat Allah di akhirat nanti! Namun saya ragu ada yang mampu melakukannya sedangkan pembuktian dari jalur observasi juga mustahil kita lakukan sekarang.
Seorang pembela fanatik Ibnu Taymiyah dari abad kedelapan Hijriah berkata:
ومن قال: يُرى لا في جهةٍ فليراجِعْ عقلَه!! فإمَّا أن يكون مكابِرًا لعقله أو في عقله شيءٌ، وإلاّ فإذا قال: يُرى لا أمامَ الرائي ولا خلفَه ولا عن يمينه ولا عن يساره، ولا فوقه ولا تحته رَدَّ عليه كلُّ من سمعه بفطرته السليمة
Artinya: “Siapa yang berkata bahwa Allah dilihat tanpa arah, maka tinjau lagi akalnya!! Ada kalanya dia menyombongkan akalnya atau ada yang tak beres dari akalnya. Kalau tidak, maka kalau dia berkata ‘Allah dilihat tidak di depan, di belakang, di kanan, di kiri, di atas, di bawah’, maka ditolaklah atasnya semua yang ia dengar dengan fitrah sehatnya”.
Itulah argumen paling maksimal yang mampu mereka kemukakan tentang penetapan mekanisme fisika duniawi itu. Mereka mengharuskan pemberlakuan hukum fisika duniawi pada Allah yang Maha Kuasa di akhirat sana, di mana hukum-hukum fisika dunia tak berlaku lagi. Itu pun tanpa menyampaikan dalil yang layak diperhitungkan, melainkan hanya olok-olok tanpa bobot.
Bila hakikat rukyah di akhirat ini sudah dipahami bahwa sebenarnya ini semua tentang kekuasaan Allah memberikan pengetahuan tentang eksistensi-Nya kepada hamba-Nya yang melihat, maka jawaban pertanyaan di atas bisa dimulai dengan menukil sebuah hadis—Sahih Muslim (1/163)—yang berbicara mengenai hal ini, yakni:
أَنَّ نَاسًا قَالُوا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ [ص:164]، هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ؟» قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُونَهَا سَحَابٌ؟» قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: ” فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ، كَذَلِكَ يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat?’. Rasulullah berkata: ‘Apa kalian kesulitan melihat rembulan di saat purnama?’ Mereka menjawab: ‘Tidak, Rasulullah.’ Rasul berkata: ‘Apakah kalian kesulitan melihat matahari saat tak terhalang awan?’ Mereka menjawab: ‘Tidak, Rasulullah’. Rasul berkata: ‘Sesungguhnya kalian akan melihatnya. Seperti itulah Allah mengumpulkan manusia di hari kiamat.’.”
Kemudian dalam hadis lain, yakni Sahih Bukhari (9/127):
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ
Artinya: “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti halnya kalian melihat bulan ini (bulan purnama). Kalian tak perlu berdesakan melihat-Nya.“
Dan dalam hadis Sahih Bukhari lainnya (9/ 127):
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
Artinya: “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata telanjang”.
Dari ketiga hadis sahih itu kita bisa menyimpulkan tiga hal berikut:
Pertama, Allah dapat dilihat di akhirat
Kedua, manusia melihat Allah dengan mata kepala secara langsung
Ketiga, Allah terlihat jelas sekali seperti jelasnya kita saat melihat bulan purnama atau melihat matahari saat tak ada awan.
Dari konteks utuh hadis itu, kita bisa tahu bahwa penyerupaan penglihatan di atas adalah penyerupaan kejelasannya, sama sekali bukan penyerupaan antara Allah dan matahari atau rembulan. Andai penyerupaan yang dimaksud adalah penyerupaan antara Dzat Allah dengan dzat matahari atau bulan, maka tentu tak perlu tambahan “ketika purnama” atau “ketika tak ada awan”.
(Bersambung ke Bag. III)
* Ust. Abdul Wahab Ahmad (pengurus MUI Jatim, peneliti Aswaja NU Center Jatim, dosen IAIN Jember); 11 April 2018. [Bagian II]