ibnu abdil barr tempat allah

Ahlussunnah wal Jama’ah (baca: Asy’ariyah dan Maturidiyah) sepakat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. Semua kitab Asy’ariyah, mulai dari yang tipis hingga yang tebal, tak ada satu pun yang menafikan kemungkinan Allah dapat dilihat nanti di akhirat. Isu ini adalah salah satu isu sentral yang menjadi kritik Asy’ariyah atas Muktazilah yang menolak kemungkinan Allah bisa dilihat nanti di akhirat. Sebab menurut mereka—Muktazilah—kalau Allah bisa dilihat, berarti Allah adalah jisim yang pasti punya massa dan volume.

Berlawanan 180 derajat dengan Muktazilah, para Mujassimah justru meyakini bahwa Allah itu bisa dilihat, sebab dalam keyakinan mereka Allah memang jisim yang punya punya massa, volume, ruang dan arah. Ahlussunnah wal Jama’ah berada di antara kedua kelompok ekstrem itu.

Sekarang, akidah Muktazilah sudah musnah. Jadi isu ini tak lagi menjadi hot topic untuk dibahas. Di antara semua aliran dalam Islam, Muktazilah yang beraliran Jahmiyah itulah yang punya kemampuan rasio yang layak diperhitungkan. Sekarang, yang tersisa hanyalah mereka yang terpengaruh Mujassimah saja meskipun tak mau disebut Mujassimah. Ajaran Mujassimah ini sebenarnya sudah musnah juga hingga beberapa pondasinya dibangun ulang di abad ketujuh oleh seorang ulama yang nyleneh. Berulang kali teman-teman meminta saya membahas topik ini namun baru sekarang saya sempat. Bagi saya, topik ini butuh penjelasan panjang meski tetap saja tak menarik. Sebab hanya untuk melawan orang yang biasanya alergi dengan rasio, tetapi tiba-tiba berlagak rasional dalam bab ini.

Sebelum membahas lebih lanjut, seperti biasa mari kita membahas hal lain dulu untuk mempermudah. Kita bahas soal bagaimana kita melihat barang-barang di sekitar kita setiap harinya.

Pertama, normalnya, kita melihat benda-benda atau jisim di sekitar kita dengan cara mengarahkan mata kita ke arah benda itu. Tak cukup mengarahkan mata saja, kita mutlak perlu partikel cahaya yang menabrak benda itu lalu memantulkan bayangannya ke mata kita, sehingga mata kita bisa menangkap bentuk benda-benda itu. Jadi, syarat untuk melihat benda adalah: (a) ada bendanya yang menempati ruang tertentu yang bisa kita arahkan mata kita ke ruang itu, (b) ada bola mata yang sehat, dan (c) ada partikel cahaya yang bisa menabrak benda itu lalu memantulkannya kembali ke mata kita atau memang bendanya itu sendiri yang mengeluarkan cahaya. Tanpa salah satu dari tiga hal ini, maka tak mungkin terwujud sebuah penglihatan terhadap benda.

Kedua, hukum fisika yang berlaku di dunia ini memastikan bahwa sesuatu yang tak dapat ditabrak oleh partikel cahaya, maka tak mungkin kita lihat dengan mata. Perasaan cinta misalnya, tak mungkin kita lihat dengan mata.

Ketiga, hukum fisika yang berlaku di dunia ini juga memastikan bahwa apabila partikel cahaya yang menabrak benda tak dapat sampai ke bola mata kita, baik dikarenakan adanya penghalang berupa benda lain maupun jarak yang terlalu jauh atau arah yang tak tepat, maka tak mungkin kita melihat benda itu.

Itulah aturan main yang diciptakan Allah agar mata kita bisa melihat benda-benda di sekitar. Aturan main untuk makhluk ini biasa disebut dengan hukum alam atau hukum fisika. Nah, sekarang apakah aturan main ini mutlak harus Allah patuhi setiap saat?

Ternyata tidak. Sama sekali tidak. Sebab Allah berkuasa membuat aturan main untuk makhluk sekehendaknya. Dari riwayat yang sahih, kita tahu bahwa Nabi Muhammad saw ternyata bisa melihat sesuatu yang ada di belakangnya—sebagai mukjizat. Kita juga dapati Sayyidina Umar r.a. mampu melihat pasukan kaum muslimin yang sedang berperang di perbatasan Persia bahkan memberikan instruksi kepada mereka meskipun saat itu beliau sedang berdiri di mimbarnya di Madinah—sebagai karamah. Ini jelas di luar aturan main standar itu. Semua bab mukjizat dan karamah berada di luar hukum fisika duniawi tersebut.

Setelah kita mengerti aturan main untuk makhluk di dunia di atas, sekarang kita beralih ke aturan main untuk makhluk di akhirat. Sama kah hukum fisika dunia ini dengan akhirat? Meskipun kita belum pernah ke sana, ternyata bocoran gaib—berupa ayat dan hadis sahih—dengan gamblang menyatakan bahwa aturan mainnya mutlak berbeda.

Di sana, di akhirat, tubuh kita sudah kekal tak bisa mati; kulit kita yang terbakar api neraka akan kembali utuh untuk menikmati pembakaran selanjutnya; sel-sel tubuh tak lagi menua; dan banyak lagi perubahan lain dalam tubuh kita. Alam di surga sana juga berbeda mutlak dengan alam yang kita kenal sekarang. Semua buah akan tumbuh dengan sekejap begitu kita mau. Semuanya seolah didesain untuk memanjakan semua kehendak kita. Semua penungguan, takut gagal, usaha keras dan aturan teknis yang merepotkan ketika di dunia sudah tak ada lagi. Jadi, aturan main atau hukum fisika dunia tak lagi bisa pakai di sana, kecuali bagian yang Allah kehendaki.

Sekarang kita beralih pada topik utama: bagaimana kita melihat Allah di akhirat nanti?

(Bersambung ke Bagian II)

* Ust. Abdul Wahab Ahmad (pengurus MUI Jatim, peneliti Aswaja NU Center Jatim, dosen IAIN Jember); 11 April 2018.
You May Also Like

Bacaan dan Tata Cara Bilal Shalat Jumat (Panduan Singkat)

Dalam pelaksanaan shalat Jumat, bilal atau muraqqi mempunyai peran yang penting. Bilal…

Makna ar-Rahman & ar-Rahim Secara Bahasa, Istilah, dan Kalam

Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang…

Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir

Adapun soal penentuan bilangan dan lafaznya, maka sebenarnya sama saja bisa ditentukan…

Nasihat Mewujudkan Pernikahan yang Maslahah

Pernikahan itu sakral. Allah Swt menyebutnya sebagai “mitsaqan ghalidza” alias perjanjian yang…