Banser melantunkan syair Syubbanul Wathon saat sa’i.

Oleh: Ust. Zahro Wardi, Komisi Fatwa MUI Kabupaten Trenggalek

 

Medsos Garis Ilmiah beberapa minggu ini terus menerus gegeran tentang kasus sekelompok orang yang begitu semangat menyanyikan syair Yalal Wathon saat sa’i. Secara fikih, lewat dalil-dalil sharih dan pertimbangan para kritikus, saya kira, permasalahanya sudah klir. Sayangnya kedua pihak yang berseberangan tetap saling ejek dan saling sindir di setiap tulisan maupun kesempatan.

Sebenarnya kalau mau jujur —dan tidak egois— rumusan yang sudah jelas dan gamblang itu bisa mengantarkan keduanya untuk “bersalaman”.

Pihak yang kontra terhadap pelantunan Yalal Wathon di mas’a seharusnya sudah bisa menerima bahwa: pertama, Yalal Wathon bukan sekedar nyanyian biasa, melainkan terdapat puji-pujian dan pitutur bagus di dalamnya, serta penanaman rasa nasionalisme.

Kedua, tidak ada satu dalil pun yang melarang, atau menjadi sebab batalnya sa’i, seseorang yang sedang melaksanakan sa’i sambil —di saat bersamaan— melantunkan sya’ir.

Dan ketiga, para sahabat Nabi pernah, bahkan sering, melakukan hal yang sama saat ritual haji.

Di sisi lain, pihak yang pro seharusnya juga bisa menerima bahwa: pertama, syair Yalal Wathon, di luar negeri, belum banyak dikenal. Apalagi makna yang terkandung dalam bait-bait syairnya. Sehingga pelantunan bareng dan bersemangat saat sa’i, akan menjadi perhatian jama’ah lain, dan tentu mengganggu.

Kedua, masih terdapat bacaan yang lebih afdhal untuk dilantunkan sewaktu sa’i.

Dan ketiga, tidak semua perbuatan baik (bahkan sunnah sekalipun) menjadi baik pula dilakukan bila berdampak kurang baik bagi orang lain. Dalam hal ini, banyak analogi dalam fikih kita, misalnya menarik salah seorang makmum ke shaf belakang untuk menemani kita dalam satu shaf saat shalat sedang berlangsung —karena shaf depannya sudah penuh— hukumnya sunnah. Namun jika berada di daerah awam, sebaiknya tidak dilakukan. Karena bisa-bisa, kita malah dihajar atau dilaknat sebagai setan pengganggu.

Contoh lainnya, menjilati tangan setelah makan hukumnya sunnah. Akan tetapi jangan sekali-kali dilakukan di daerah yang awam fikih saat ada jamuan umum, terlebih di depan para pejabat. Bisa-bisa, kita akan dipelototi, layaknya seekor anjing yang kurang makan. Intinya, kesunnahan yang kita lakukan tidak sumbut bila dibandingkan dengan dampak negatifnya.

Nah, kembali ke masalah syair Yalal Wathon yang disenandungkan saat sa’i. Tidak perlu mengadakan survei sekalipun, gontok-gontokan, bahkan menjurus ke saling serang antar ormas, adalah bukti nyata bahwa tindakan tersebut berdampak tidak baik. Apalagi adanya gorengan dari pihak-pihak tertentu menjadikan kejadian tersebut juga berpengaruh terhadap hubungan diplomatik Indonesia–Arab Saudi.

Tapi nampaknya, kemurahan dari Yang Maha Murah Allah Swt. diberikan kepada kita semua. Bukankah dengan sedikit “pengorbanan” itu, lagu Yalal Wathon saat ini dikenal di seluruh dunia? Dan bukankah masyarakat dunia akan menggali informasi mengenai lagu itu: tentang isinya, penciptanya, dan kelompok yang menyanyikannya kemarin

Setelah nanti semuanya tahu, jangan heran apabila kelak Raja Arab Saudi menganjurkan pelaku-pelaku sa’i untuk menyanyikan lagu Yalal Wathon, tentunya dengan mengubah sedikit liriknya, “Indonesia biladi”, dengan nama negara masing-masing.

Dengan menanamkan hubbul wathan dan jiwa nasionalisme terhadap bangsanya masing-masing, semoga permasalahan terorisme bisa teratasi hingga 75%. Sebab pangkal terorisme adalah keberhasilan “para dalang” dalam mencuci otak dan memperalat kaum muslimin yang awam untuk berjuang meraih angan-angan palsu berupa 75 bidadari secara instan, dan terbentuknya khilafah seluruh dunia —karena semangat hubbul wathan-nya disirnakan begitu saja.

Mari kita bersama-sama bernyanyi. Tiga… dua… satu…

Yalal wathon, yalal wathon, yalal wathon.
Hubbul wathon minal iman…

 

(Dzul)

Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Nuansa Wahabi Dibalik Gerakan Padri

Oleh : Ust. Afrizal el-Adzim Syahputra, Lc., MA Kemunculan gerakan Salafi-Wahabi di…

10 Watak Wasathiyyah Nahdlatul Ulama

Oleh : Habib Wakidatul Ihtiar*   Nahdlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah diniyyah-ijtima’iyah…

Siti dan Sayyidati: Adaptasi Islam dengan Budaya Lokal

Oleh: Misbahus Surur*    ESAI — Beberapa hari lalu secara tak sengaja saya…

Idulfitri: Merayakan Makna dan “Diri” yang Sejati

Oleh: Ustadz Surya Qalandar¹   “Al-Hubûṭ” dan Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’an, digambarkan…