Pembukaan race MotoGP Mandalika yang dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi pada Minggu (20/3/2022) hari ini mendadak viral di media sosial. Pasalnya, di momen tersebut terlihat seorang pawang hujan yang tengah mengadakan ritual mengendalikan hujan dan ditayangkan secara live.
Belakangan, diketahui bahwa Raden Roro Isti Wulandari, sosok pawang hujan perempuan tersebut, memang dipekerjakan untuk mengendalikan cuaca di ajang MotoGP Mandalika, bersama timnya.
Praktik mengendalikan cuaca atau hujan sebenarnya sangat tidak asing dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Terutama di daerah-daerah yang masih kental dengan adat dan budaya Jawa—juga di daerah pedesaan lainnya.
Bagi orang Jawa, misalnya, setiap hendak menyelenggarakan acara besar yang melibatkan banyak orang, atau acara yang dilangsungkan di luar ruangan, ritual mengendalikan hujan nyaris tidak pernah ditinggalkan. Acara konser musik, hajatan atau resepsi perkawinan, bahkan pengajian umum, adalah beberapa contoh acara yang biasa menggunakan jasa pawang hujan.
Karena itulah tidak perlu heran apabila di tiap-tiap desa, ada satu—atau lebih—orang yang dikenal sebagai seorang pawang hujan, baik yang berdasarkan keilmuan Islam maupun yang bukan.
Di satu sudut di kabupaten Trenggalek, tersebutlah seorang yang sempat masyhur sebagai pawang hujan. Ia adalah Mbah Samsudin.
Orang-orang mengenalnya dengan Mbah Sam. Usianya kini mendekati 90 tahun. Meski pendengarannya sudah agak berkurang, namun ingatannya masih kuat. Bahkan sejumlah syair yang ia pelajari semasa muda pun masih ia ingat.
Yang fenomenal dari Mbah Sam, dan sempat viral di masanya, adalah ketika ia diminta untuk mengendalikan cuaca di acara selamatan 1.000 hari almarhum Rahman Halim, presiden direktur Gudang Garam.
Rahman Halim alias Tjoa To Hing, putra pertama dari Suryo Wonowidjoyo yang merupakan pendiri Gudang Garam, wafat pada pada Juli 2018. Peringatan seribu hari kewafatannya dilangsungkan dengan acara selamatan yang mengundang sejumlah kiai dan tokoh serta ratusan jamaah.
Karena itulah, pihak keluarga Gudang Garam merasa perlu untuk mengendalikan atau merekayasa cuaca agar tidak terjadi hujan pada saat acara. Dan entah bagaimana ceritanya, Mbah Sam lah yang dimintai bantuan untuk keperluan tersebut.
“Gudang Garam kok weruh jenengé Sam néng Dunglurah ki kok yo goblok,” katanya dengan nada merendah, saat mengenang peristiwa tersebut, pada akhir Mei 2020.
Dalam kesehariannya, Mbah Sam dikenal dengan pembawaannya yang santai. Dulu ia merupakan santri dari Kiai Sholeh Umar bin Kiai Abdullah Umar. Kiai Sholeh merupakan ayahanda dari Kiai Fatkhulloh Sholeh alias Gus Loh, Ketua Tanfidziyah PCNU Trenggalek.
Selama mondok di Pesantren Attaqwa Kedunglurah, Mbah Sam merupakan salah satu santri kinasih dari Kiai Sholeh. Begitu juga sebaliknya. Mbah Sam dipercaya sebagai badal imam tiap Pakdhe Yai, begitu ia memanggil Kyai Sholeh, berhalangan.
Mbah Sam juga dikenal sebagai santri yang suka mendiskusikan berbagai persoalan keagamaan, terutama apabila menemukan suatu kemusykilan. Ia sering mengunjungi Kiai Zaenal Fanani, pengasuh Pesantren Al-Falah Kedunglurah, yang terletak sekitar 1 km dari Pesantren Attaqwa.
Sambil menenteng sejumlah kitab kuning sebagai rujukan, ia sering mengajak diskusi bahkan berdebat dengan Kiai Fanani. Tak jarang, sebagaimana diceritakannya, satu persoalan ia diskusikan selama beberapa kali pertemuan karena tidak kunjung menemukan titik temu.
Di usianya yang senja ini, Mbah Sam masih cukup sering mengunjungi pesantrennya dulu, yang kini diasuh oleh Gus Loh dan putra-putra Kiai Sholeh lainnya. Di setiap perbicangan dengannya, ia, dengan nada merendah, kerap mengaku sebagai orang bodoh dan ujub. Tak jarang pula ia menertawakan dirinya sendiri.
Satu wejangan dari gurunya yang ia ingat terus, dan sering ia nasihatkan: “Sok lèk menangi jaman akhir kudu ngekèh-ngekèhne sabar, ojo kakèhan goroh”.
(Androw Dzulfikar)