Oleh: Zein Ave*
Saya tidak tahu apakah burung juga meludah sembarangan. Layaknya anak manusia yang kurang ajar, seenaknya meludah saat berkendara tanpa berpikir, ada orang lain di belakangnya yang tidak bisa menghindar. Nampaknya lebih buruk. Benda lumer yang jatuh tepat di pundak Jalil itu kotoran burung.
Terlihat satu rombongan kuntul melintas di atas rumah kontrakan kami, ke selatan. Jalil tak menghiraukan itu, atau memang dia tak menyadarinya. Tetap saja diciuminya smartphone dalam genggamannya. Sorot matanya entah kemana. Mungkin terlalu asyik memperhatikan mawar yang ia taruh di sudut tempat jemuran itu.
Di sebelah dapur. Terdapat ruang kecil, kurang dari dua meter persegi dan sengaja dibiarkan tanpa atap. Kami pergunakan untuk menjemur baju. Tidak jarang juga kami bertiga bercengkrama sembari menikmati kopi di sana ketika bakda Asyar. Kini kurang lebih sudah tiga minggu kami kehilangan momen itu.
Saya bekerja di suatu clothing, yang mana bulan ini target produksi memaksaku lebih telat untuk kembali ke kontrakan. Sedang mas Ikhsan, mungkin mendapat ijazah baru dari kiainya. Wiridnya menjadi begitu lama. Tidurnya juga larut sekali. Belum juga Subuh, dia sudah bangun untuk mendirikan shalat malam. Si Jalil, mahasiswa PTAIS tingkat akhir. Setidaknya juga tak selonggar ini. Tapi entahlah.
“Mas Ikhsan, sepertinya si Jalil sedang tidak baik-baik saja,” bisikku pada mas Ikhsan ketika ia keluar dari kamar yang biasa kami gunakan untuk berjamaah.
Dilihatnya sekilas. Dengan tenang dia menimpali, “Stres dengan tugas akhirnya, mungkin.”
“Dia itu kan termasuk pinter. Masak iya stres sebegitunya karena tugas kuliah?”
“Kita maghrib dulu. Usai tadarus nanti jika ia masih dalam keadaan yang sama seperti itu, kita ajak bicara,” tutur mas Ikhsan dengan khas gaya bijaknya selepas sedikit meneriaki Jalil. Mengajaknya untuk berjamaah.
Sedari beberapa waktu yang lalu aku memerhatikan sahabatku itu. Ku akui, sempat aku menaruh rasa kekaguman pada dirinya. Secara usia memang lebih muda dariku. Tapi kepintarannya dalam mempelajari sesuatu, bahkan kecerdasannya dalam memecahkan suatu permasalahan dari kami. Entah ada apa dengannya belakangan ini. Beberapa kali juga aku mendapatinya kembali kekontran sudah larut malam. Aroma yang keluar dari tubuhnya aneh. Bukan parfum, bukan juga asap wewangian dupa. Itu alkohol!
*****
- Baca juga: Dia Bukan Teroris
Setelah mas Ikhsan berulang kali menarik ulur pembicaran, Jalil membuka mulutnya dan menumpahkan keresahan yang terus bergejolak dalam hati dan pikirannya. Sekejap kamipun paham titik persoalaanya. Sahabatku telah jatuh cinta. Belum jelas, semua ini tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan atau kegagalan dalam suatu hubungan percintaan.
“Ya Allahu ya Rabbi,” pekik Jalil.
Diapun terus meracau. Disandarkannya keras punggungnya pada tembok di belakangnya. Bergetar, disilangkan kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri. Kepalanya mendongak ke atas. Dari matanya yang terpejam, merembas air mata. Dia menangis.
Dalam racaunya, dipertanyakannya pada Tuhan akan keberpihakan nasib baik dirinya. Tentang pertolongan untuk mendapat kasih dan cinta gadis itu. Tak luput tentang petunjuk ke mana kakinya harus melangkah untuk menjumpai gadisnya itu. Tentang ke mana harus mempertajam matanya untuk melihat wajah kekasihnya. Zaskia, itu yang tak terlewat dari bibirnya.
Kini dia menegakkan badannya. Tetiba erat menggenggam tangan mas Ikhsan. Menariknya kedalam pelukannya. Matanya tetap terpejam. Serak suaranya memaksa sampai ke telinga Ikhsan, “Mas, seberapa menderita Zulaikha, dan bagaimana bisa akhirnya dipersatukan dengan Yusuf?”
“Kenapa mesti Zulaikha? Nabi Ya’kub juga merasa teramat sangat kehilangan dengan kepergian Yusuf. Beliau kehilangan penglihatan sebab air mata darah yang mengalir dari matanya. Nama Yusuf selalu dibibirnya,” halus nan bijak mas Ikhsan menyahut. Sembari memeluk tubuh Jalil yang tertunduk. Tubuh yang terlihat kian kurus dan mengering. Ia usap-usap kepalanya.
Seketika Jalil meloloskan diri dari pelukan mas Ikhsan. Merangkak sedikit menjauh. Mungkin Jalil ingin kami menerka atau turut melukis kecantikan dalam imaji tentang gadisnya itu.
Katanya, malam akan menjadi terang karena cerah wajah ayunya. Pagi bisa menjadi pekat oleh rambut hitam gadisnya itu. Alisnya yang tumbuh dan cukup lebat berisyarat dengan naturalnya. Kedua bola mata yang berbinar menarik pandangan siapapun yang di depannya. Sensual bibirnya merekah bak pincut kawanan nafsu. Tak tertinggal ranum buah dada dan ramping pinggangnya bak rantai yang menghalangi tiap pria untuk tak bisa jauh darinya.
“Kekasihku telah pergi. Menghilang dari pandanganku segala keindahan itu. Jadi apa bedanya, Mas?”
Matanya kini terbuka. Tajam membidik ke arahku.
“Mas Reyhan, kau tahu betapa menderitanya Qais? Bagaimana akhir ceritanya, Mas?”
Saya sadar, saya tak sebijak sahabatku satunya itu dalam menyikapi masalah. Tapi untuk menjawab pertanyaan ini semoga tidak salah dan membuat Jalil semakin putus asa. Kuceritakan singkat tentang Qais dan Laila. Keduanya saling mencintai dan juga saling merindu ketika dipisahkan. Qais telah majnun, gila terpisah dari Laila.
Sama seperti bibirmu, Lil. Tak terlewat dan senantiasa menyebut nama kekasihnya, Laila. Pun dengan Laila yang telah dipersunting lelaki lain, namun masih merindui kekasihnya, Qais. Tiada hari-hari tanpa bayang kekasihnya. Hingga Laila jatuh sakit dan mati. Si Qais tambah majnun. Tangisnya tak kunjung berhenti sambil memanggil nama Laila. Di atas pusarannya, tidur pun si majnun memeluk pusaran kekasihnya itu. Tapi gadismu itu bukan Laila.
“Mas Rey tahu mawar di pojokan itu? Aku merawat setiap harinya penuh cinta. Tak kubiarkan dia kekurangan air atau kelebihan air. Aku tak perduli seberapa tajam durinya merobek kulitku. Ketika tiba saatnya nanti, kupetik sang mawar untuk Zaskia, gadis pujaan yang selalu kusebut namanya dalam setiap doaku. Sebulan gadisku hilang tanpa kabar. Mawar indah itu pun telah layu. Apa bedanya, Mas? Ratusan bahkan ribuan karakter pesan Whatsapps ungkapan kerinduan padanya tak terbalas. Ganda centang pun tak kudapat. Jika Tuhan memberiku isyarat berpuasa menahan dahaga untuk kembali dapat menjumpai kekasihku, aku akan puasa. Seberapa pun lamanya.”
“Benar-benar sudah gila, kamu. Janganlah engkau jadikan Zaskiamu itu berhala dalam hati. Masih banyak perempuan diluar sana,” sahut mas Ikhsan, sambil berlalu meninggalkan kami.
“Bari Abdul Jalil, aku pernah bercerita padamu tentang karya Faridud-Din Attar, Sang Sufi penebar wangi. Lupakah engkau, petuah Hud-hud kepada Bul-bul? Kau telah silau oleh bentuk lahiriah. Berhentilah mabuk dengan sesuatu yang menyesatkan ini. Jangan biarkan dia menguasai dirimu. Sama halnya mawarmu itu. Meskipun mawar itu jelita, namun keindahannya akan segera lenyap. Siapa yang mencari kesempurnaan diri janganlah menjadi budak cinta yang cepat berlalu. Durinya tak terasa ketika masih disajikannya senyuman indah yang merekah. Tapi ketika ia mengering, durinya tak turut rapuh kering. Tajam.”
Aku pun turut berlalu meninggalkannya sendiri ketika dia semakin meracau tak terhenti.
Besok tanggal merah. Mas Ikhsan, pegawai perpajakan itu akan pulang kampung. Menengok anak, dan yang jelas, istrinya. Pun dengan saya. Pacar saya di desa sangat ingin bertemu. Ingin jalan-jalan denganku katanya.
Kami ada sahabat di kelurahan sebelah. Semenjak menikah jarang-jarang datang ke kontrakan. Terlebih kini istrinya telah hamil tua. Lama dia tidak main ke kontrakan. Malam ini kami berdua berencana ke rumah kang Jibran, sahabat kami itu. Menyatakan kabarnya dan calon anaknya, sekalian berpamitan.
*****
“Assalamualaikum, Kang Jibran…” ucapku ketika kami sampai di depan pintu rumahnya. Kebetulan atau entah dia ini diam-diam adalah seorang yang waskita. Dia duduk di ruang tamu seakan mengerti akan kedatangan tamu.
“Waalaikumsalam. Masuklah…” tanpa tergopoh maupun kaget kang Jibran mempersilahkan kami.
Selepas kami berbasa-basi dan menuturkan maksud serta tujuan kedatangan kami kembali ngobrol kesana dan kemari. Tentang anak dan istri mereka serta tak luput dengan rencana pernikahanku yang sama sekali belum tergambarkan di benak saya. Tak luput, Kang Jibran menanyakan kabar tentang Jalil.
Kamipun menceritakan sesuatu yang menimpa dirinya. Si perantau dari seberang yang semula pandai dan rajin beribadah itu telah salah melangkah. Dia silau dengan binar mata seorang gadis. Terpeleset dan terjerembab dalam rekah bibir sensual. Lehernya terikat pekat hitam rambut Sang Gadis, tiada bisa ke mana. Bermain-main dengan keelokan mawar yang berduri hingga tertusuk di beberapa bagian, termasuk akidahnya.
Mas Ikhsan terkesan menahan geli dengan penuturannya sendiri.
Mendengar cerita dari kami, kang Jibran nampak sedikit tersenyum sekejap kemudian meratap pedih. Katanya, jangan langsung menertawakan perihal cinta. Terlebih hati yang telah tertusuk duri mawar. Ia melanjutkan tuturnya mengenai membantu sahabat yang sedang dalam kesusahan. Entah itu lelaki atau perempuan.
“Bisa jadi ketika seorang mengalami kesusahan, dari seribu sahabat hanya ada satu yang berguna,” berat suara kang Jibran mengatakan tentang ini. Ia menyesalkan keputusan kami meninggalkan Jalil sendiri dalam keadaan seperti itu. “Sahabat bukan dimulut saja. Dalam kesusahan kalian akan tahu, pada siapa kalian akan menggantungkan diri. Sebab dalam ceria, akan kalian dapati ribuan sahabat.”
Tenggorokanku seketika menjadi asat. Asap tembakau yang saya kepulkan tak lagi terasa. Kami sempat menertawakan keadaan Jalil yang lehernya bak terikat rambut gadisnya. Padahal kepulanganku karena memenuhi permintaan siapa? Bagaimana jika duri mawar yang menusuk hati sahabatku itu beracun. Tentu akan memangkas hidupnya. Bunuh diri.
Aku mengurungkan niat kepulanganku besok. Mungkin aku tidak dapat membuat mawarnya itu bersemi kembali. Aku juga tidak akan mengerti bagaimana mengobati luka tusukan duri di hati sahabatku itu. Setidaknya jika memang durinya beracun, aku ada di sana untuk menahan penyebaran infeksi ke akidahnya. (*)
*Zein Ave: pemuda GP Ansor Trenggalek; pecinta sastra sufistik