Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Terjemah ini sebenarnya tidak tepat sebab dalam bahasa Indonesia, tidak betul-betul jelas apa perbedaan antara pengasih dan penyayang. Kita akan bahas secara ringkas makna keduanya, baik dari aspek bahasa (etimologi), istilah (terminologi), maupun teologi (kalam).
Makna ar-Rahman dan ar-Rahim dari Segi Bahasa (Etimologi)
Dari sisi bahasa, kata rahman (رحمان) atau dalam mushaf ditulis (رحمن) dan rahim (رحيم) berasal dari kata rahm (رحم). Rahm berarti rahim seorang ibu. Perasaan kasih sayang yang dimiliki seorang ibu terhadap apa yang ada dalam rahimnya dikenal sebagai rahmat (رحمة). Jadi, kata rahmat adalah kata yang mewakili perasaan seorang ibu terhadap janinnya yang ia perlakukan sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya sendiri. Bayangkan betapa indah dan agung perasaan ini.
Dari kata rahmat (رحمة) itu kemudian muncul dua versi kata yang lebih tinggi lagi dalam menggambarkan kasih sayang. Versi pertama adalah kata rahim (رحيم). Kata rahim ini menggambarkan kondisi kasih sayang yang lebih besar daripada sekedar rahmat biasa. Bila rahmat kita artikan sebagai “kasih sayang”, maka rahim bisa kita artikan “sangat mengasihi dan menyayangi”. Itu artinya, level kata kasih sayang dalam kata rahim lebih tinggi dari level yang dimiliki oleh kata rahmat. Level yang lebih tinggi ini dalam kebiasaan orang Indonesia biasa diungkapkan dengan kata “maha”. Jadi, kata ar-Rahim bisa kita terjemah sebagai Maha Mengasihi atau Maha Menyayangi.
Bila kata Rahim diartikan sebagai Maha Mengasihi atau Maha Menyayangi, lalu apa makna Rahman yang merupakan versi kedua dari kata Rahmat? Kata Rahman ini adalah kata yang menggambarkan kondisi yang lebih tinggi level kasih sayangnya daripada sekedar Rahim.
Kita tak menemukan padanan kata untuk menerjemahkan kata ini dalam bahasa Indonesia dengan makna yang akurat. Sebab ini adalah makna hiperbolik dari kata Rahim yang juga sudah bentuk hiperbolik dari kata Rahmat.
Karena sedemikian ekstrem level kasih sayang yang diwakili oleh kata Rahman ini, maka orang Arab pun nyaris tak pernah memakainya sehingga sewaktu kata ar-Rahman disebut dalam al-Qur’an, beberapa dari mereka merasa asing dengan kata ini. Bila terpaksa diterjemahkan secara akurat, kata ar-Rahman bisa kita artikan sebagai “Teramat Sangat Maha Pengasih atau Penyayang”. Agak aneh memang terjemah ini sebab memang tak ada kata tunggal yang pas, tapi setidaknya, maksud yang hendak disampaikan dapat dipahami.
Itu semua adalah bahasan secara kebahasaan. Dari sini saja bisa dibayangkan bahwa sifat Allah sebagai Ar-Rahim, apalagi ar-Rahman, adalah jaauuuuuhhh sekali di atas kasih sayang yang bisa diberikan seorang ibu terhadap janinnya.
Makna ar-Rahman dan ar-Rahim dari Segi Istilah (Terminologi)
Sekarang kita beralih pada makna istilah supaya perbedaan keduanya lebih mudah dipahami. Kata ar-Rahman menggambarkan kondisi kasih sayang Allah yang teramat sangat besar melebihi dari kata ar-Rahim. Perbandingannya dapat dimaknai sebagai berikut:
Pertama, kata Rahman berlaku sebagai ungkapan kasih sayang Allah pada orang muslim ataupun non-muslim di dunia. Tak peduli ada orang yang tak mengakui keberadaan Allah, orang yang setiap saat mengumpat dan mencaci-maki Allah, atau orang yang menyekutukan Allah dengan makhluk remeh-temeh, seluruh manusia tetaplah dikasihi Allah. Mereka semua diberi hidup, diberi rezeki, dan diberi kesempatan bahagia.
Kalau mereka berdoa pada sosok apapun yang mereka anggap sebagai Tuhan, baik itu pohon, gunung, matahari, atau apapun, atau berdoa kepada Allah tapi dengan ragu apa benar Allah itu ada, tetap saja Allah yang akan mengabulkan doa mereka semua. Sebab memang tak ada lagi Tuhan selain Dia.
Kedua, kata Rahim berlaku sebagai ungkapan kasih sayang Allah yang khusus pada muslim saja, di akhirat nanti. Di akhirat hanya terdapat dua tempat persinggahan terakhir, yakni surga atau neraka. Keindahan surga tak terbayangkan dan tak dapat dibeli dengan amal perbuatan sehebat apapun. Tapi Allah mempunyai sifat Rahim, semua yang mati dalam keadaan Islam diberi kesempatan masuk surga meskipun sebenarnya tak ada yang layak.
Tak peduli ada orang yang seumur hidupnya menjadi non-muslim, berbuat maksiat atau berdosa sebesar apapun pada Allah, apabila menit-menit terakhir hayatnya ia sempat bertaubat nasuha, maka ia akan diberi balasan surga. Demikian juga orang yang tak mendengar dakwah islam selama di dunia atau mati sewaktu kecil, mereka akan diberi bonus surga meski tak melakukan apa-apa untuk masuk surga.
Semua wujud kasih sayang yang luar biasa seperti di atas tak mungkin dilakukan manusia, bahkan seorang ibu sekalipun. Sebaik-baiknya ibu, bila puluhan tahun dihujat oleh anaknya lalu di menit-menit terakhir hidupnya si anak baru minta maaf, maka kecil sekali atau bahkan mustahil Si Ibu mau memaafkan begitu saja dan melupakan segala yang terjadi. Bahkan tak jarang kita dengar kisah ibu yang berbuat jahat pada anaknya.
Karena itu, imam al-Ghazali sempat menyatakan, alangkah beruntungnya yang menghitung amal perbuatan kita di akhirat kelak adalah Allah, bukan orang tua kita. Sebab kasih sayang orang tua tak seberapa dibanding kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya.
Karena sifat Rahman lah, orang-orang yang non-muslim tetap dikasihi Allah. Karena sifat Rahim lah, orang muslim bisa diberi bonus surga. Dan semata karena keadilan Allah lah, ada makhluk yang masuk neraka.
Makna ar-Rahman dan ar-Rahim dari Segi Teologis (Kalam)
Sekarang kita beralih pada sisi teologis (kalamiyah) dari sifat ar-Rahman dan ar-Rahim ini yang banyak orang tak tahu. Apakah keduanya merupakan sifat Dzat, yang berarti sifat yang kekal tanpa awal dan tanpa akhir; ataukah keduanya merupakan sifat Fi’liyah (tindakan Tuhan), yang berarti punya awalan dan akhiran? Singkatnya, bila keduanya dimaknai sebagai kehendak (iradah) Allah untuk memberi nikmat, maka berarti keduanya adalah sifat maknawiyah dari Dzat. Namun bila keduanya dimaknai sebagai pemberian nikmat itu sendiri, maka berarti keduanya adalah sifat fi’liyah.
Anda tak paham bagian teologis ini? Tak masalah. Sebab ini bukan bahasan yang harus dikuasai semua orang. Bagian sebelumnya lah yang penting diketahui agar kita semua tahu, betapa Allah mengasihi kita semua.
Tapi jangan berlebihan seperti orang yang sok mengatur-atur Allah dengan mewajibkannya memasukkan semua orang ke surga atas nama kasih sayang, atau orang yang memprotes Allah sebab di dunia masih ada kesengsaraan. Sikap sok ngatur Tuhan atau sok protes seperti ini adalah tanda kebodohan, sebab pelakunya tak sadar apa wewenang ciptaan dan apa wewenang Sang Pencipta.
Selain sifat ar-Rahman dan ar-Rahim yang lemah lembut, ada juga sifat Allah lainnya yang keras dan tegas. Dari pengetahuan terhadap kedua jenis sifat ini, maka lahirlah keseimbangan antara khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Dari keseimbangan inilah muncul ketundukan dan kecintaan pada Allah.
* Ust. Abdul Wahab Ahmad: pengurus MUI Jatim, peneliti Aswaja NU Center Jatim, dosen IAIN Jember); 22 Desember 2018.