Oleh: Ustadz Wasihus Sunani Ali Asrori*
Khazanah – Suatu malam menjelang waktu Subuh (21/6/2017), penulis bersama kedua orang tua berkunjung ke rumah Syekh Mahmud Siradj di kawasan Misfalah, tidak jauh dari Masjidil Haram. Syekh Mahmud adalah putra dari Kiai Muhammad Siradj, pendiri Pesantren At-Taqwa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek. Kiai Siradj adalah putra dari Kiai Abdullah Umar. Kiai Abdullah Umar adalah salah satu simpul jejaring ulama di Kabupaten Trenggalek, yang menurunkan kiai-kiai pendiri pesantren di Kabupaten Trenggalek. Salah satu cucunya adalah KH. Muhammad Fatkhulloh Sholeh atau Gus Loh, Ketua PCNU Trenggalek sekarang.
Bagi sebagian jamaah haji asal Indonesia yang berhaji pada sebelum tahun 1980—terutama dari Jawa Timur—nama Kiai Siradj tidak asing lagi. Rumah beliau di Makkah sering menjadi tempat bertanya berbagai persoalan mengenai agama.
Pada masa revolusi kemerdekaan, beliau menjadi salah satu komandan Laskar Hizbullah—laskar Islam terbesar pada masa perang kemerdekaan—untuk kawasan eks-Karesidenan Kediri.
Kiai Siradj adalah alumni sekaligus guru di Pesantren Lirboyo, Kediri. Santri-santri pesantren ini—di bawah kepemimpinan KH. Mahrus Ali—berperan besar dalam peristiwa perebutan gudang senjata milik tentara Jepang di Kota Kediri pada awal perang kemerdekaan RI. Selain belajar di Lirboyo, beliau juga belajar kepada KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, juga ulama-ulama lainnya.
Setelah peleburan badan-badan kelaskaran ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kiai Siradj sempat bertugas pada salah satu kesatuan TNI di Kota Tulungagung. Namun beliau tidak melanjutkan karier militernya dan sejak tahun 1953 beliau bersama keluarga memilih tinggal di Makkah.
Masa awal di Makkah, Kiai Siradj sempat bertugas sebagai pegawai setempat pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Beliau pernah menjadi salah satu guru Agama Islam dan guru Bahasa Arab pada Sekolah Indonesia di Jeddah. Beliau juga mengajar di Madrasah Darul Ulum yang dikelola oleh Syekh Yasin al-Fadani di Makkah.
Pada tahun 1974, saat ayah penulis (KH. Cholil Madjid, pengasuh PP. Qomarul Hidayah, Gondang, Tugu, red) menunaikan ibadah haji, beliau berkesempatan berkunjung ke rumah Kiai Siradj. Saat itu, tamu di rumah Kiai Siradj datang silih berganti.
Kiai Siradj dikenal sebagai mursyid thariqat yang alim. Beliau mendapatkan ijazah atau baiat Thariqat Qadiriah wa Naqsyabandiah (TQN) dari KH. Tamim Romli, Rejoso, Jombang.
Kiai Siradj secara istiqomah membaca berbagai wirid. Salah satu kebiasaan wirid beliau adalah secara istiqomah mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an sepekan sekali atau tujuh hari sekali. Berarti, tiap bulan empat kali khatam. Beberapa wirid yang diamalkan Kiai Siradj selama hidupnya dikumpulkan oleh putranya, Syekh Mahmud, dalam sebuah buku kecil yang diberi nama “Hizbus Siradj”.
Akhlak Kiai Siradj
Menurut cerita ayah penulis, Kiai Siradj sangat menjunjung tinggi penghormatan, adab atau sopan santun kepada orang tua dan guru-gurunya. Sesuai dengan adagium “al adab fauqal ilmi“, adab atau kesopanan berada di atas ilmu pengetahuan. Keberkahan suatu ilmu pengetahuan, sangat tergantung seberapa baik adab atau penghormatan seseorang terhadap orang tua, guru, tetangga, teman, dan orang lain. Penghormatan dan adab yang tinggi terhadap orang tua serta guru-guru diamalkan dan dipegang teguh oleh ulama-ulama terdahulu, termasuk Kiai Siradj.
Seperti dikisahkan oleh ayah penulis, saat beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1974, terdapat 11 orang jamaah haji dari kabupaten Trenggalek. Salah satunya adalah ibu kandung dari Kiai Siradj. Setibanya di bandara Jeddah, Kiai Siradj dengan tulus dan tanpa canggung sama sekali langsung menggendong ibundanya yang sudah uzur.
Relasi dengan Ulama-Ulama Nusantara
Saat mendengar bahwa ayah penulis adalah alumni PP. Al-Falah, Ploso, Kediri, Syekh Mahmud bercerita bahwa Kiai Siradj berteman sangat akrab dengan KH. Ahmad Djazuli Usman, pendiri Pesantren Al Falah, Ploso.
“Salah satu putra Kiai Djazuli, yaitu KH. Zainuddin Djazuli, pernah bercerita bahwa Kiai Siradj pernah mengajari Kiai Zainuddin cara menggunakan senjata api,” kata Syekh Mahmud.
“Kiai Siradj juga berteman baik dengan banyak ulama asal Indonesia. Apabila KH. Maimoen Zubair hadir di rumah saya, perbincangan antara KH. Maimoen dan Kiai Siradj akan berlangsung hangat dan lama”, lanjutnya.
Kiai Siradj sangat rajin menimba ilmu dari banyak guru. Diantara guru-guru beliau antara lain KH. Abdullah Umar (ayahnya), KH. Mustakim (Tulungagung), KH. Marzuki Dahlan (Lirboyo), KH. Abdul Karim (Lirboyo), KH. Mahrus Ali (Lirboyo), KH. Hasyim Asyari (Jombang), KH. Romli Tamim (Jombang), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Sayyid Alawi al-Maliki (Makkah), dan Syekh Yasin al-Fadani (Makkah).
Pengarang Nazam Nahwu Jawan
Bagi santri di Kabupaten Trenggalek dan sekitarnya, tentu pernah belajar atau mendengar nazam atau bait-bait Nahwu berbahasa Jawa, yang dikenal dengan nama “Nahwu Jawa”.
Bait-bait pendek berbahasa Jawa ini dengan sangat komprehensif membahas materi ilmu Nahwu atau tata bahasa Arab tingkat dasar. Pelajaran ini biasanya diajarkan hampir bersamaan dengan kitab “Jurumiyah”, yang juga merupakan tata bahasa Arab tingkat dasar.
Menurut penuturan ayah penulis, Kiai Siradj merupakan pengarang bait-bait “Nahwu Jawa” tersebut. Sebagian bait yang masih penulis ingat—sewaktu penulis belajar di madrasah diniyah sekitar tahun 1987—antara lain:
“Wajib atas lanang wadon luru ngelmu # najan pahit getir koyo mangan jamu“
(Laki-laki dan perempuan wajib mencari ilmu # walaupun pahit dan getir seperti minum jamu)
“Andhisikno ngaji Nahwu ojo waleh # sebab iku dadi ibu ngelmu kabeh“
(Dahulukanlah belajar ilmu Nahwu, jangan bosan # karena Nahwu menjadi ibu dari semua ilmu agama)
“Wong kang tanpa Nahwu sasat budheg bisu # prayogane ngudi liya jo kesusu“
(Orang yang tanpa belajar ilmu Nahwu ibarat orang yang tuli bisu # sebaiknya jangan terburu-buru mencari ilmu lainnya)
“Hadits Qur’an iku angel ing maknane # nanging nahwu bakal dadi pinuntune“
(Ilmu hadits dan Al Qur’an itu sulit dipahami # akan tetapi ilmu Nahwu akan menjadi petunjuk untuk memahami keduanya).
Penulis masih terbayang betapa ramainya ruang kelas, ketika seluruh murid menghafalkan bait-bait Nahwu Jawa tersebut bersama-sama. Untuk menambah semarak, bangku (meja) dipukul pelan sebagai iringan musik.
Kiai Siradj wafat pada tahun 1402 H atau 1982. Jenazahnya dimakamkan di Jannatul Ma’la, pemakaman tua yang mulia, tempat para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad saw diistirahatkan. []
* Penulis adalah salah satu putra dari KH. Cholil Madjid, pengasuh PP. Qomarul Hidayah, Gondang, Tugu, yang saat ini bertugas di Kemenlu RI di Jakarta.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di halaqoh.net dan qomarulhidayah.or.id. dengan judul yang berbeda.
3 comments
Alhamdulillah ya Alloh,adem banget rasanya,bisa mengetahui kisah singkat kehidupan beliau.
Sangat2 menyentuh untuk menjadi bersemangat…