“Dadi mahasiswa ojo MKD: Mahasiswa Karepe Dhewe; ojo dadi MTA, Mahasiswa Tatanane Angel… Dadi pemuda ojo PKD: Pemuda Karepe Dhewe; Ojo dadi PTA: Pemuda Tatanane Angel… Dadi santri ojo SKD: Santri Tatanane Angel; Ojo dadi STA, Santri Tatanane Angel.”
Penulis yakin, mahasiswa STIT Sunan Giri Trenggalek, kader muda NU, santri, hingga masyarakat Trenggalek, akrab dengan singkatan yang sarat wejangan tersebut. Penulis juga sulit untuk tidak yakin bahwa mereka akrab pula dengan sosok pencipta singkatan yang disampaikan dengan nada kelakar namun penuh makna tersebut. Sosok yang, lewat singkatan serupa, juga biasa menertawakan dirinya sendiri: menjuluki dirinya sendiri dengan sebutan KKD (Kiai Karepe Dhewe), KTA (Kiai Tatanane Angel), Sarkam (Sarjana Kampungan), Sarbit (Sarjana Karbitan), dan sebutan-sebutan semacamnya. Sungguh sosok—kiai—yang egaliter!
Beliau lah KH. Kholil Majid, pengasuh Pondok Pesantren Qomarul Hidayah, Gondang, Tugu, Trenggalek. Orang-orang akrab memanggil Kiai Mubin atau Mbah Mubin—yang menjadi nama kecil beliau: Mubin Asrori. Adapun nama Kholil Majid adalah pemberian dari Syekh Siradj, ulama Mekah asli Kedunglurah Trenggalek, saat beliau berhaji.
Kiai Mubin adalah pribadi yang penuh keteladanan. Baik sebagai figur kiai, sebagai santri, maupun seorang aktivis dan pejuang dalam dakwah Islam. Di antara karakter beliau yang menonjol adalah istikamah dan totalitasnya dalam berkhidmah di bidang pendidikan.
Keuletan, ketelatenan, serta kesabaran beliau benar-benar layak untuk dijadikan panutan. Di tangan beliau lah, pesantren Qomarul Hidayah berkembang dengan pesat, hingga memiliki ribuan santri dari berbagai daerah. Berkat keuletan dan ketelatenan beliau pula, pesantren tersebut memiliki sejumlah unit serta lembaga pendidikan umum, mulai dari PAUD, MTs, hingga MA dan SMK. Bahkan, beliau pula yang menginisiasi berdirinya STIT Sunan Giri Trenggalek.
Namun demikian, berkali-kali juga Kiai Mubin, dengan rendah hati, mengungkapkan bahwa apa yang beliau lakukan hanya meneruskan perjuangan yang sudah dirintis oleh kakaknya, Kiai Qomari. Nama Sang Kakak pun beliau abadikan sebagai nama pesantren: Qomarul Hidayah.
Keberhasilan dalam mengembangkan pesantren Qomarul Hidayah hingga memiliki sejumlah lembaga sekolah jauh dari kata mudah, dan perlu perjuangan yang tidak mengenal lelah. Kiai Mubin, bersama para santri, misalnya, biasa mencari atau membuat sendiri material seperti batu bata, pasir, batu, dan kayu, guna membangun gedung madrasah dan asrama. Material bekas bangunan instansi yang direnovasi pun, dengan telaten beliau manfaatkan. Tujuannya hanya satu: agar santri memiliki fasilitas yang layak dalam belajar ilmu agama.
Dalam mencari santri pun demikian. Beliau tidak segan untuk mencari santri secara door to door dari satu rumah ke rumah lainnya, dan dari masjid/musala satu ke masjid lainnya. Berkat sikap beliau yang supel dan low profile, masyarakat pun terbuka menerima dakwah beliau. Hingga di setiap pembangunan gedung pesantren, selalu ada peran warga yang bergotong-royong membantu.
Karakter ulet, telaten, dan sabar yang dimiliki Kiai Mubin, bisa dikatakan, hasil dari tempaan selama mondok di Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri (1957–1963). Selama enam tahun menjadi santri Ploso, beliau hidup dalam keprihatinan. Beliau, misalnya, tak segan menawarkan jasa cuci baju kepada santri-santri lainnya hanya untuk meminta sabun cuci. Beliau juga sering menawarkan diri sebagai juru masak, hanya agar mendapat kuah sayur untuk makan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di dalam pondok, Kiai Mubin berjualan aneka kebutuhan santri seperti makanan, kopi, jajan, dan rokok. Bahkan, karena tidak memiliki uang sepeser pun, beliau pernah berjalan kaki saat pulang ke rumah yang berjarak lebih dari 60 km. Keterbatasan ekonomi selama mondok, sama sekali tidak tidak mengurangi semangat Kiai Mubin dalam menimba ilmu di pesantren.
Di kalangan keluarga dan santri, Kiai Mubin juga dikenal istikamah dalam mengaji al-Qur’an dan salat berjamaah. Tidak pernah sekali pun beliau meninggalkan salat jamaah, baik saat di rumah, bekerja, maupun saat bepergian. Apabila terpaksa ketinggalan jamaah, tidak segan beliau mencari santri, atau siapapun, yang belum salat, agar bisa salat berjamaah.
Masih banyak teladan yang patut kita contoh dari kiai pengagum Gus Dur tersebut; kiai yang bersahaja, ringan tangan, dan egaliter. Kiai Mubin adalah putra ketujuh dari Abdul Majid bin Muhammad Asrori bin Nur Qoiman. Mbah Muhammad Asrori, yang bernama asli Mbah Murdiyah, adalah santri dari Syaikhana Kholil Bangkalan.
Adapun Nur Qoiman, kakek buyut Kiai Mubin, adalah putra seorang Lurah di Purworejo, dan juga menjadi prajurit dari Pangeran Diponegoro. Maka tidak berlebihan apabila Kiai Mubin mewarisi spirit perjuangan kakek buyut beliau dalam mengembangkan dakwah Islam, melalui pendidikan pesantren.
Kiai Mubin tutup usia pada Hari Rabu, 17 Sya’ban 1442, bertepatan tanggal 31 Maret 2021. Di organisasi Nahdlatul Ulama, khidmah terakhir beliau tercatat sebagai Mustasyar PCNU Trenggalek. Di era Orde Baru—ketika NU dan tokoh-tokohnya digencet habis-habisan oleh penguasa saat itu—Kiai Mubin getol menjadi orator dan juru kampanye untuk Partai NU dan PPP. Di masa-masa itu pula, karena keaktifannya di NU, beliau juga pernah dipenjara selama tiga bulan tanpa alasan yang jelas.
Kisah-kisah beliau, kesabarannya dalam mencari ilmu, dan keuletannya dalam berjuang mengembangkan pesantren dan Nahdlatul Ulama, terekam dengan baik dalam buku berjudul “KH. Kholil Majid (Mbah Mubin): Kiai Kampung Visioner dari Trenggalek”.
Buku yang ditulis oleh Kholid Amrullah bersama Sunani Ali Asrori (putra Kiai Mubin) ini diterbitkan pada Juni 2021, di momen 100 hari kewafatan Kiai Mubin. Buku ini merupakan hasil wawancara dengan Kiai Mubin sendiri saat beliau masih hidup, kemudian dengan keluarga, santri senior, dan teman seperjuangan beliau. Meski terdapat beberapa kisah yang mengulang-ulang—karena ditulis dengan model semacam antologi wawancara—dan terdapat kekeliruan pencantuman tahun (hal. 8: kekalahan Pangeran Diponegoro seharusnya tahun 1830, bukan 1835), namun hal itu tidak mengurangi substansi dari pesan-pesan yang ingin disampaikan.
Buku ini, menurut hemat penulis, penting bahkan wajib untuk dimiliki dan dibaca, terutama oleh generasi penerus dan kalangan santri, sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam berjuang mengembangkan dakwah pendidikan, juga dalam berkhidmah di Nahdlatul Ulama. Untuk Kiai Mubin dan para pendahulu beliau, al-Fatihah! (*)
Bagi pembaca yang ingin memiliki buku tersebut, bisa mengontak ke nomor WA 085234431594.
*Androw Dzulfikar: penikmat kesejarahan kabupaten Trenggalek; Wakil Ketua PC GP Ansor Trenggalek; Sekretaris LTN NU Trenggalek.