Ibnu Taimiyah, tokoh yang oleh kaum Salafi dikesankan menolak aqidah Asy’ariyah. Sumber gambar: biografiku.com

Siapa yang tak kenal Syaikh Ibnu Taimiyah, sosok besar yang kontroversial itu. Sebagian orang ada yang menganggapnya imam terbesar, yang meski secara teori bisa salah sebagaimana manusia biasa tapi secara praktek dianggap tak pernah salah sehingga pendapatnya selalu menjadi patokan kebenaran. Sebagian lagi ada yang tak segan mengafirkannya karena berbagai alasan. Sebagian lagi menganggapnya fasiq dan bodoh tetapi tidak kafir. Barangkali benar orang yang bilang bahwa tak ada satu tokoh Islam yang polarisasi pendapat tentangnya setajam Ibnu Taimiyah.

Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia bermazhab Syafi’iyah, namun berbagai pendapat Ibnu Taimiyah tersebar luas di Indonesia berkat kegigihan propaganda kaum Salafi (orang-orang yang mengklaim mengikuti salafus sholih dan anti madzhab).

Dalam tulisan-tulisan Salafi, biasanya ditulis banyak sekali kritik Ibnu Taimiyah terhadap Asy’ariyah.

Dalam tulisan ini saya ingin menyajikan beberapa pernyataan Ibnu Taimiyah yang barangkali asing dan aneh bagi banyak orang. Pernyataan-pernyataan yang menampakkan sisi lain dari tokoh ini.

Pertama, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Imam Asy’ari dan Ibnu Kullab adalah Ahlul Itsbat.

Bila hampir semua Salafi mengatakan bahwa Asy’ariyah adalah ahlut ta’thil (orang-orang yang meniadakan sifat Allah) sehingga mereka selalu menyamakan Asy’ariyah sebagai Jahmiyah dan banyak dari mereka yang mempropagandakan bahwa Asy’ariyah mengikuti mazhab Imam Ibnu Kullab yang mereka sebut sebagai fase kedua Imam Asy’ari yang masih sesat, maka silakan baca pernyataan Ibnu Taimiyah berikut:

لَا رَيْبَ أَنَّ قَوْلَ ابْنِ كُلَّابٍ وَالْأَشْعَرِيِّ وَنَحْوِهِمَا مِنْ الْمُثْبِتَةِ لِلصِّفَاتِ لَيْسَ هُوَ قَوْلَ الْجَهْمِيَّة بَلْ وَلَا الْمُعْتَزِلَةِ بَلْ هَؤُلَاءِ لَهُمْ مُصَنَّفَاتٌ فِي الرَّدِّ عَلَى الْجَهْمِيَّة وَالْمُعْتَزِلَةِ وَبَيَانِ تَضْلِيلِ مَنْ نَفَاهَا بَلْ هُمْ تَارَةً يُكَفِّرُونَ الْجَهْمِيَّة وَالْمُعْتَزِلَةَ وَتَارَةً يُضَلِّلُونَهُمْ. لَا سِيَّمَا وَالْجَهْمُ هُوَ أَعْظَمُ النَّاسِ نَفْيًا لِلصِّفَاتِ بَلْ وَلِلْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى

“Tak diragukan bahwa pendapat Ibnu kullab dan Al-Asy’ari dan orang yang seperti keduanya dari golongan Mutsbit (orang yang menetapkan sifat bagi Allah) bukanlah pendapat Jahmiyah dan bukan juga Muktazilah, bahkan mereka ini mengarang berbagai kitab untuk menolak Jahmiyah dan Muktazilah dan menerangkan kesesatan orang yang menafikan adanya sifat Allah (mu’atthilah). Bahkan mereka kadang mengafirkan Jahmiyah dan Muktazilah dan kadang hanya menyesatkan mereka saja, apalagi Jahm adalah orang yang paling besar pengingkarannya terhadap sifat bahkan terhadap Asmaul Husna”. (Majmu’ al-Fatawa: 12/202)

Kedua, Ibnu Taimiyah tak bisa menjawab tantangan ulama Asy’ariyah untuk berdiskusi, malah memuji-muji beliau.

Bila Ibnu Taimiyah diceritakan jago berdebat dengan siapapun sebab kecerdasannya, maka silakan baca kisahnya ketika berhadapan dengan Imam Alauddin al-Baji, salah satu tokoh besar Asy’ariyah-Syafi’iyah, berikut:

وَكَانَ إِلَيْهِ مرجع المشكلات ومجالس المناظرات وَلما رَآهُ ابْن تَيْمِية عظمه وَلم يجر بَين يَدَيْهِ بِلَفْظَة فَأخذ الشَّيْخ عَلَاء الدّين يَقُول تكلم نبحث مَعَك وَابْن تَيْمِية يَقُول مثلي لا يتكلم بَين يَديك أَنا وظيفتي الاستفادة مِنْك

“Alauddin al-Baji adalah rujukan berbagai permasalahan dan ahli berdebat. Ketika Ibnu Taimiyah melihatnya, maka ia mengagungkannya dan tak berkata sepatah katapun di hadapannya. Lalu Syaikh Alauddin berkata, ‘Bicaralah! biarkan kami membahas bersamamu’. Ibnu Taimiyah menjawab, ‘Orang sepertiku tak layak berbicara di hadapanmu. Urusanku adalah mengambil faidah darimu’. (Thabaqat al-Syafi’iyah: 10/342)

Di kitab lain, disebutkan Imam Alauddin bercerita tentang kejadian itu sebagai berikut:

أَن ابْن تَيْمِية لما دخل الْقَاهِرَة حضرت فِي الْمجْلس الَّذِي عقدوه لَهُ فَلَمَّا رَآنِي قَالَ هَذَا شيخ الْبِلَاد فَقلت لَا تطرئنى مَا هُنَا إِلَّا الْحق وحاققته على أَرْبَعَة عشر موضعا فَغير مَا كَانَ كتب بِهِ خطه

“Ketika Ibnu Taimiyah memasuki Kairo, aku hadir di majlis yang dipersiapkan untuknya. Ketika ia melihatku, ia berkata, ‘Inilah Syaikh negeri ini’. Aku berkata, ‘Jangan berlebihan memujiku, di sini tak ada apapun kecuali kebenaran’. Kemudian aku mengoreksinya dalam 14 bagian lalu ia mengubah apa yang sudah ia tulis sendiri”. (al-Durar al-Kaminah: 4/121).

Ketiga, Ibnu Taimiyah membela Imam Asy’ari dan para tokoh Asy’ariyah awal.

Bila biasanya dikesankan bahwa ada permusuhan abadi antara Ibnu Taimiyah dan Asy’ariyah, dan bahwa Asy’ariyah hanya berdalil dengan akal saja tidak dengan sunnah seperti para Jahmiyah, maka silakan baca pernyataannya berikut:

ثُمَّ الْمُثْبِتُونَ لِلصِّفَاتِ مِنْهُمْ مَنْ يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْمَعْلُومَةَ بِالسَّمْعِ، كَمَا يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْمَعْلُومَةَ بِالْعَقْلِ، وَهَذَا قَوْلُ أَهْلِ السُّنَّةِ الْخَاصَّةِ – أَهْلِ الْحَدِيثِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ – وَهُوَ قَوْلُ أَئِمَّةِ الْفُقَهَاءِ وَقَوْلُ أَئِمَّةِ الْكَلَامِ مِنْ أَهْلِ الْإِثْبَاتِ، كَأَبِي مُحَمَّدِ بْنِ كُلَّابٍ وَأَبِي الْعَبَّاسِ الْقَلَانِسِيِّ وَأَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَأَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُجَاهِدٍ وَأَبِي الْحَسَنِ الطَّبَرِيِّ وَالْقَاضِي أَبِي بَكْرِ بْنِ الْبَاقِلَّانِيِّ، وَلَمْ يَخْتَلِفْ فِي ذَلِكَ قَوْلُ الْأَشْعَرِيِّ وَقُدَمَاءِ أَئِمَّةِ أَصْحَابِهِ.

“Kemudian para Mutsbitun (orang yang menetapkan sifat) bagi Allah, di antara mereka ada yang menetapkan sifat yang diketahui dengan nukilan dari Nabi seperti halnya menetapkan sifat yang diketahui dari rasio. Inilah pendapat Ahlussunnah yang khusus —yakni ahli hadits dan mereka yang sepakat dengannya. Itu juga pendapat para Imam ahli fikih dan para Imam ahli kalam dari kalangan ahlul itsbat seperti Ibnu Kullab, Abul Abbas al-Qalanisi, Abu Hasan al-Asy’ari, Abu Abdillah ibnu Mujahid, Abul Hasan at-Thabary dan Abu Bakar al-Baqillani. Pendapat al-Asy’ari dan para Imam Asy’ariyah yang awal-awal tak berbeda soal itu” (Minhaju as Sunnah an Nabawiyyah: 2/222).

Keempat, Ibnu Taimiyah mengaku bahwa dirinya adalah Asy’ariyah.

Mungkin ini mengagetkan, tapi silakan dibaca pengakuannya dalam pernyataan taubatnya yang dibacakan di depan para ulama saat itu dan dikutip dalam banyak kitab tarikh yang diantaranya sebagai berikut:

وَوَقع الْبَحْث مَعَ بعض الْفُقَهَاء فَكتب عَلَيْهِ محْضر بِأَنَّهُ قَالَ أَنا أشعري ثمَّ وجد خطه بِمَا نَصه الَّذِي اعْتقد أَن الْقُرْآن معنى قَائِم بِذَات الله وَهُوَ صفة من صِفَات ذَاته الْقَدِيمَة وَهُوَ غير مَخْلُوق وَلَيْسَ بِحرف وَلَا صَوت وَأَن قَوْله {الرَّحْمَن على الْعَرْش اسْتَوَى} لَيْسَ على ظَاهره وَلَا أعلم كنه المُرَاد بِهِ بل لَا يُعلمهُ إِلَّا الله وَالْقَوْل فِي النُّزُول كالقول فِي الاسْتوَاء وَكتبه أَحْمد بن تَيْمِية ثمَّ أشهدوا عَلَيْهِ أَنه تَابَ مِمَّا يُنَافِي ذَلِك مُخْتَارًا

“Terjadi pembahasan bersama beberapa ahli fikih, maka seorang petugas menulis padanya [yang isinya] bahwa Ibnu Taimiyah berkata ‘Aku adalah seorang Asy’ariyah’. Kemudian ditemukan tulisan tangannya yang berisi, ‘Saya meyakini bahwa al-Qur’an adalah makna yang menetap dalam Dzat Allah. Kalamullah itu adalah salah satu dari sifat-sifat Dzat yang tak berawal. Kalamullah bukanlah makhluk dan tidak berupa huruf atau suara. Dan firman Allah ‘ar-Rahman Istawa atas Arasy‘ bukanlah atas makna lahiriyahnya dan saya tak mengetahui hakikat yang dikehendaki darinya bahkan tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Pendapat tentang nuzul (turunnya Allah) sama seperti pendapat soal istiwa’. Ahmad Ibnu Taimiyah menulis pengakuan ini lalu bersaksilah bahwa dia bertaubat dari apa yang menafikan pengakuan ini secara sukarela”. (al-Duror al-Kaminah: 1/172)

Pengakuan taubat Ibnu Taimiyah tercatat terjadi beberapa kali. Ada taubat soal akidah, ada juga taubat soal pendapat fikhiyahnya yang kontroversial. Semuanya bisa dilacak di kitab-kitab tarikh dan profil ulama.

Kelima, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mazhab Asy’ariyah dan mazhab Imam Ahmad adalah sama.

Kalau biasanya mereka yang anti Asy’ariyah suka membenturkan pernyataan Imam Ahmad dengan para tokoh Asy’ariyah, maka silakan dibaca pernyataan Ibnu Taimiyah berikut:

فَإِنَّ الْأَشْعَرِيَّ مَا كَانَ يَنْتَسِبُ إلَّا إلَى مَذْهَبِ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَإِمَامُهُمْ عَنْهُ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ … وَ الْأَشْعَرِيَّةُ فِيمَا يُثْبِتُونَهُ مِنْ السُّنَّةِ فَرْعٌ عَلَى الْحَنْبَلِيَّةِ كَمَا أَنَّ مُتَكَلِّمَةَ الْحَنْبَلِيَّةِ – فِيمَا يَحْتَجُّونَ بِهِ مِنْ الْقِيَاسِ الْعَقْلِيِّ – فَرْعٌ عَلَيْهِمْ

“Maka sesungguhnya al Asy’ari tidaklah berafiliasi kecuali pada mazhab ahli hadits dan imam mereka adalah Ahmad bin Hanbal. … Asy’ariyah dalam hal sunnah yang mereka tetapkan adalah cabang dari Hanbaliyah seperti halnya para ahli kalam Hanbaliyah dalam hal argumen rasional adalah cabang dari Asy’ariyah”. (Majmu’ al-Fatawa: 6/53)

Itulah sisi lain dari Ibnu Taimiyah yang jarang di-ekspose. Semua kutipan saya diatas ada dalam kitab yang tercetak dan bisa dicek validitasnya. Kalau ada yang kaget, itu wajar saja sebab tokoh satu ini memang penuh kejutan. Bahkan, masih banyak pernyataannya yang lebih mengagetkan dari fakta di atas.

Kalau ada yang mau menyanggah atau mentakwil semua pernyataan Ibnu Taimiyah diatas sehingga hasilnya seolah Ibnu Taimiyah selalu menyerang Asy’ariyah, silakan saja. Tetapi usaha seperti ini tak akan banyak gunanya sebab Asy’ariyah yang merupakan mazhab mayoritas ulama, tak akan redup pengaruhnya hanya karena tidak didukung Ibnu Taimiyah seorang. Yang ada hanyalah Ibnu Taimiyah malah kelihatan tidak konsisten atau suka ber-taqiyyah. (Abdul Wahab Ahmad/Dzul)

1 comment
  1. Berarti kita hidup ini hanya mencari pengaruh saja ya? Siapa yang berpengaruh maka merekalah yang akan masuk surga. Wallahu A’laam

Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Bacaan dan Tata Cara Bilal Shalat Jumat (Panduan Singkat)

Dalam pelaksanaan shalat Jumat, bilal atau muraqqi mempunyai peran yang penting. Bilal…

Makna ar-Rahman & ar-Rahim Secara Bahasa, Istilah, dan Kalam

Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang…

Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir

Adapun soal penentuan bilangan dan lafaznya, maka sebenarnya sama saja bisa ditentukan…

Nasihat Mewujudkan Pernikahan yang Maslahah

Pernikahan itu sakral. Allah Swt menyebutnya sebagai “mitsaqan ghalidza” alias perjanjian yang…