lbm pcnu trenggalek

Seiring masih tingginya angka kasus Covid-19, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menerapkan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat, mulai tanggal 3 Juli hingga 20 Juli 2021 kemarin. Kebijakan tersebut kemudian diperpanjang, dan yang terbaru, akan berakhir hingga 2 Agustus 2021 mendatang.

Kebijakan PPKM tersebut memunculkan beragam reaksi dari masyarakat. Ada yang patuh, ada yang cuek atau tidak tahu-menahu, dan ada pula yang menghujat. Lantas bagaimana sikap kita seharusnya? Sikap kita seharusnya yaitu sikap yang dibenarkan syariat agama Islam. Bagaimana itu? Mari kita kaji.

“Sikap kita seharusnya yaitu sikap yang dibenarkan syariat agama Islam.”

Menaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban. Hal itu banyak disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. Dalil di dalam al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 59:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. an-Nisa’/4: 59)

Dalam ayat ini, Allah Swt menempatkan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga, setelah ketaatan kepada Allah Swt dan rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafal perintah “taatilah”. Hal itu dikarenakan ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tâbi’) dari ketaatan kepada Allah Swt dan rasul-Nya.

Jadi, apabila seorang pemimpin memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Swt, maka tidak ada lagi kewajiban untuk mendengar dan taat kepada mereka. Namun, selama perintah tersebut bukan merupakan perintah untuk maksiat, meskipun datang dari pemimpin yang zalim, rakyat tetap berkewajiban untuk menaati.

Dalil-dalil ketaatan kepada pemimpin meskipun mereka zalim, antara lain terdapat dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Artinya: “Abu Hunaidah (wail) bin Hudjur r.a. berkata: Salamah binti Yazid al-Ju’fi bertanya kepada Rasulullah saw: ‘Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah Anda memerintahkan pada kami?’ Pada mulanya, beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya untuk yang kedua kalinya atau ketiga kalinya. Maka Rasulullah saw menarik al-Asy’ats bin Qais dan bersabda: ‘Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/ kewajiban atas mereka sendiri. dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri.” (H.R. Muslim)

Dalam hadis lain, yaitu yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah, Rasulullah saw bersabda:

 وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Artinya: “Sepeninggalku nanti ada pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikannya dan pemimpin yang fajir akan memimpin kalian dengan kefajirannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka. Jika mereka berbuat buruk, maka bagimu (untuk tetap berbuat baik) dan atas mereka (keburukan mereka).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain juga disebutkan:

 يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

Artinya: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (H.R. Muslim)

Padahal sudah maklum kita ketahui, bahwa menyiksa atau memukul punggung seseorang dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at—tanpa ragu lagi—termasuk maksiat. Meskipun demikian, seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan taat kepadamu sampai engkau menaati Rabb-mu”.

Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabb-nya. Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan menaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala, oleh karena itu kita wajib taat kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.

Rasulullah saw bersabda:

 لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Artinya: “Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf (bukan maksiat).” (H.R. Bukhari, No. 7257)

Rasulullah saw, dalam hadis lain, juga bersabda:

 عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Artinya: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari, No. 7144)

Menghindari Fitnah dan Pertumpahan Darah

Kita harus memperhatikan kewajiban untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Karena, bila kita tidak menaati mereka, maka akan terjadi kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin. Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya dunia ini.

Rasulullah saw bersabda:

 لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Artinya: “Hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim.” (H.R. Tirmidzi)

Sekarang ini, banyak kita saksikan orang-orang yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban. Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan menaati mereka.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada amar makruf nahi mungkar. Hal itu tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaidah yang telah ditetapkan oleh syariat yang mulia.

Sahabat Amr bin Ash berkata kepada putranya, Abdullah:

 عن عمرو بن العاص رضي الله عنه أنه قال لابنه عبد الله: يا بني! سلطان عادل خير من مطر وابل، وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم، وسلطان غشوم ظلوم خير من فتنة تدوم

Artinya: “Wahai anakku, pemimpin yang adil itu lebih baik dibandingkan dengan hujan yang deras. Macan yang buas lebih baik daripada pemimpin yang zalim, sedangkan pemimpin yang sangat zalim itu masih lebih baik dibandingkan dengan fitnah yang permanen (dikarenakan tidak ada pemimpin sama sekali).”

Syekh Ali Jumah, mantan mufti Mesir, menukil maqalah Imam Malik r.a.:

 حاكم ظلوم غشوم ولا فتنة تدوم

Artinya: “(Tetaplah menaati) pemimpin yang zalim dan jangan sampai terjadi fitnah yang berkepanjangan tanpa akhir.”

Lalu beliau berkomentar:

 فوجدنا من يخرج علينا هذه الأيام ويقول أخطأ مالك بل الفتنة أفضل من الحاكم الظالم . نقول لهذا الشخص أنك من الخوارج .لأنه يريد الفساد فى الأرض . 

Artinya: “Pada masa ini, kita mendapati seseorang yang menyempal dari kita seraya berkata: ‘Pemimpin sudah berbuat kesalahan bahkan fitnah (kekacauan dengan tidak mengakui adanya pemimpin yang sah untuk ditaati) itu lebih baik dibandingkan dengan pemerintah yang zalim.’ Komentar kami (Syekh Ali Jumah) untuk orang ini: ‘Anda termasuk golongan Khawarij karena yang dikehendaki adalah kerusakan di muka bumi.”

Amar Makruf Nahi Mungkar kepada Pemimpin

Melakukan amar makruf nahi mungkar kepada pemimpin, misalnya dengan cara mengkritik pemimpin atau pemerintah, dibolehkan oleh syariat. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut:

                           وقال صلى الله عليه وسلم: أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر

Artinya: “Nabi saw bersabda: ‘Sebaik-baik jihad adalah ucapan yang haq di sisi pemimpin yang zalim’.” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Namun demikian, amar makruf nahi mungkar tersebut harus dilakukan dengan lemah lembut, dan yang bersangkutan harus memiliki ilmu yang cukup, agar bisa bertindak dengan benar.

Imam Sufyan as-Tsauri berkata:

  لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فيه ثلاث خصال: رفيق بما يأمر، رفيق بما ينهى، عدل بما يأمر، عدل بما ينهى، عالم بما يأمر، عالم بما ينهى

Artinya: “Seseorang tidak boleh melakukan amar makruf nahi mungkarkecuali ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut ketika menyeru dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, dan alim dalah hal yang yang diseru dan dicegahnya.” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ul Ulum wal Hikam)

Dikisahkan, ada seseorang yang hendak beramar makruf nahi mungkar. Ia kemudian meminta pendapat kepada seorang ulama agar diizinkan dengan cara yang keras, mengingat pelakunya itu sudah dianggap keterlaluan.

Namun sang ulama menjawab bahwa dirinya tidak lebih baik dari Nabi Musa a.s. sedangkan orang yang akan ia nasihati tidak lebih jahat dari Firaun. Allah Swt, di dalam al-Qur’an, tetap memerintahkan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Firaun.

Hal itu disebutkan dalam surat Taha ayat 43–44:

  اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ، فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Q.S. Taha: 43–44)

Kita sebagai rakyat harus tetap mematuhi pemimpin meskipun ia merupakan pemimpin yang zalim, selama perintah tersebut bukan perintah untuk melakukan maksiat. Namun demikian, kita juga tidak boleh membenarkan kebohongan atau pun mendukung kezaliman mereka.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw keluar mendekati Ka’ab bin Ujrah r.a. lalu beliau bersabda:

 إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

Artinya: “Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barang siapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan barang siapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta itu), tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (H.R. Ahmad dan an-Nasai)

Larangan Memberontak dan Menyibukkan Diri Mencelanya

Imam Abu Ja’far at-Thahawi al-Hanafi, dalam al-Aqidah at-Thahawiyah, menjelaskan di antara prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah sebagai berikut:

 ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

Artinya: “Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah Swt). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.”

Imam al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fathul Bari (13/7) juga menukil ijma’ ulama yang diriwayatkan oleh Ibnu Batthal, bahwa para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak.

Al-Habib Abdullah bin Alawy al-Haddad dalam kitabnya, Adda’wah at-Tammah menjelaskan tentang sikap yang harus dilaksanakan kepada pemimpin, sebagai berikut:

  ومهما كان الولي مصلحا حسن الرعاية جميل السيرة كان على الرعية أن يعينوه بالدعاء له و الثناء عليه بالخير. ومهما كان مفسدا مخلطا كان عليهم ان يدعوا له بالصلاح والتوفيق و الاستقامة وألا يشغلوا ألسنتهم بذمه والدعاء عليه فإن ذلك يزيد في فساده واعوجاجه ويعود وبال ذلك عليهم. 

Artinya: “Jika seorang pemimpin membawa kemaslahatan untuk rakyat, bersungguh-sungguh dalam memberi perhatian kepada mereka, dan mempunyai kinerja yang bagus maka rakyat harus membantunya dengan berdoa untuknya serta memujinya atas kinerjanya yang bagus. Dan jika ia membawa kerusakan, mencampur aduk antara kebenaran dan kebatilan, maka kewajiban kita—sebagai rakyat—adalah mendoakan, semoga Allah segera memperbaiki keadaan pemimpin kita itu, memberi ia petunjuk kepada jalan yang benar, dan memberinya sifat istikamah dalam hal-hal yang diridai Allah Swt—dalam kepemimpinannya. Dan janganlah kita sibuk mencela dan berdoa buruk atas dirinya, karena itu semua malah akan menambah kerusakan serta kezalimannya, dan kita sendiri yang akan merasakan dampak-dampak buruknya.”

Kesimpulan

Dari dalil-dalil yang dikemukakan di atas, baik dari al-Qur’an, hadis, atsar sahabat, maupun qaul ulama, jelaslah bahwa menaati pemerintah hukumnya wajib. Kebijakan pemerintah dari hukum sunah—menurut agama—saja menjadi wajib diikuti,  apalagi yang hukumnya wajib menurut syariat, maka lebih wajib lagi untuk kita patuhi. Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan PPKM yang diterapkan saat ini.

“Kebijakan pemerintah dari hukum sunah—menurut agama—saja menjadi wajib diikuti,  apalagi yang hukumnya wajib menurut syariat, maka lebih wajib lagi untuk kita patuhi.”

PPKM merupakan upaya pemerintah guna menyelamatkan jiwa dan raga rakyatnya dari bahaya virus Corona (Covid-19). Sedangkan menurut syariat agama, menjaga keselamatan jiwa dan raga adalah wajib. Dengan demikian, ketika hal itu menjadi sebuah kebijakan, maka akan lebih wajib dipatuhi dan dilaksanakan.

Menjaga jiwa, menurut agama, merupakan prioritas dibandingkan dengan yang lain. Hal ini dibuktikan dengan diperbolehkannya sesuatu yang haram pada saat situasi darurat, di antaranya pada saat nyawa terancam. Sebagaimana dalam kaidah fikih dikatakan:الضرورة تبيح المحظورات  (darurat itu memperbolehkan sesuatu yang diharamkan). Wallahu a’lam bis-shawab. (*)

* Kiai Anwar Fanani, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Trenggalek

Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Bacaan dan Tata Cara Bilal Shalat Jumat (Panduan Singkat)

Dalam pelaksanaan shalat Jumat, bilal atau muraqqi mempunyai peran yang penting. Bilal…

Makna ar-Rahman & ar-Rahim Secara Bahasa, Istilah, dan Kalam

Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang…

Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir

Adapun soal penentuan bilangan dan lafaznya, maka sebenarnya sama saja bisa ditentukan…

Nasihat Mewujudkan Pernikahan yang Maslahah

Pernikahan itu sakral. Allah Swt menyebutnya sebagai “mitsaqan ghalidza” alias perjanjian yang…