Di Trenggalek, terdapat sebuah acara adat penyembelihan kerbau setiap bulan Dzulqo’dah. Menurut sejarah, kerbau tersebut dijadikan pengganti gajah putih yang dihilangkan Minak Sopal sebagai bentuk pertanggungjawaban pada Mbok Rondo Krandon, dan kepala kerbau tersebut dibuang di sungai, lalu diperebutkan oleh para remaja untuk dikonsumsi. Konon, bila warga sekitar tidak melakukan upacara tersebut, kota Trenggalek akan terkena musibah banjir, wabah penyakit, atau musibah lainnya.
Apakah budaya tersebut bertentangan dengan syara’? Bagaimana hukum melarung (melemparkan ke sungai untuk diperebutkan) kepala kerbau seperti diatas? Bagaimana hukum mempercayai mitos tersebut? Bagaimana hukum mengambil daging kerbau tersebut?
Jawab:
Budaya semacam itu tidak bertentangan dengan syara’, selama tidak punya keyakinan bahwa adat budaya tersebut bila ditinggalkan pasti akan menimbulkan bencana/ musibah. Bahkan kebiasaan semacam itu perlu dianjurkan, mengingat di dalamnya ada unsur mensyukuri nikmat dan bershodaqoh, sepanjang ritual yang dimaksud diniati untuk taqorrub ilallah, bukan niatan yang lain.
Melempar kepala kerbau ke dalam sungai seperti diatas boleh jika diniati bershodaqoh (untuk diambil lagi) dan tidak disertai i’tiqod yang salah. Begitu juga dengan mengambil kepala kerbau tersebut, karena pemilik kerbau sudah merelakan. Namun, mempercayai mitos diatas tidak boleh.
Referensi:
- I’anatut Tholibin, Juz II, h. 349
- Bughyatul Mustarsyidin, h. 255-256
- Mughnil Muhtaj, Juz III/h. 300
- Busyrol Karim, h. 703
- Bulghatut Thullab, h. 90.
Selengkapnya bisa diunduh di tautan di bawah:
Hukum melempar kepala kerbau di sungai Bagong dalam Tradisi Bersih Dam Bagong.
(Zein)
1 comment
Websitenya Sangat Bermanfaat dan setujuu brooo , KOMEN PERTAMAAXXX Jangan Lupa dan Jangan Lupa Buat Berkunjung Ke Website Kita yah ekspedisi surabaya makassar