Salah satu kenikmatan dan kebahagiaan orang yang berpuasa adalah apabila telah datang waktu berbuka. Ia benar-benar merasa bahagia karena mampu melaksanakan puasa dengan menahan lapar dan dahaga mulai dari shubuh sampai terbenamnya matahari. Kebahagiaan ini kemudian ia lampiaskan dengan menyantap berbagai hidangan dan minuman.
Kebahagiaan ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul ﷺ: “Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan: kebahagiaan saat ia berbuka dan kebahagiaan saat ia bertemu dengan Tuhan-Nya”.
Namun, ada juga yang berbuka dengan cara melakukan hubungan intim dengan istri atau suaminya. Lantas, bagaimana hukum berbuka dengan cara demikian menurut pandangan Islam?
- Baca juga: Hukum Menukar Uang dengan Nilai Tidak Sama
Pada dasarnya, berbuka dengan cara berhubungan intim merupakan perilaku yang tidak dilarang oleh agama. Menurut sebagian ulama, boleh buka puasa dengan langsung melakukan hubungan intim jika tidak menemukan kurma, air atau makanan dan minuman ketika masuk waktu maghrib.
Hal ini berdasarkan pendapat Imam al-Bajuri dalam kitab Hasiyah al-Bajuri:
و يسن ان يفطر على تمر و الا فماء فان لم يكن لم يجد الا الجماع افطر عليه
“Dan disunnahkan berbuka dengan kurma, bila tidak ada, maka dengan air. Dan bila tidak ada kecuali hanya ada jima’ (berhubungan intim), maka berbukalah denganya.”
Berdasarkan hal ini, Imam al-Bajuri menjadikan hubungan intim sebagai alternatif terakhir dalam berbuka puasa. Jika masih ada alternatif lain seperti menyantap makanan dan minuman untuk berbuka, maka berhubungan intim bukan termasuk bagian dari sunnah-sunnah puasa.
Sedangkan Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain menyatakan bahwa menurut pendapat yang muktamad, seseorang yang berbuka puasa dengan cara berhubungan intim tidak mendapatkan kesunahan dalam hal menyegerakan berbuka puasa. Sebab menyegerakan buka puasa dengan cara berhubungan intim dapat melemahkan stamina.
Berikut ibarah dari kitab tersebut:
وَالْمُعْتَمد عدم حُصُول سنة التَّعْجِيل بِالْجِمَاعِ لما فِيهِ من إضعاف الْقُوَّة
“Berdasarkan qaul (pendapat) yang muktamad, berhubungan intin bukan merupakan bagian dari kesunahan dalam mempercepat berbuka puasa, karena yang demikian dapat melemahkan stamina.”
Ibnu Umar, salah satu sahabat Rasul saw., pernah berbuka dengan melakukan hubungan intim bersama istrinya. Hal ini berdasarkan riwayat al-Tabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir:
رُبَّمَا أَفْطَرَ ابْنُ عُمَرَ عَلَى الْجِمَاعِ
“Ibnu Umar sering berbuka puasa dengan berhubungan intim (jimak).”
Menurut Badr al-Dain al-‘Aini dalam kitab Umadah al-Qari, apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar menjelaskan dua kemungkinan tentang perilaku Ibnu Umar ini. Pertama, Ibnu Umar dalam keadaan ingin bercumbu dengan istrinya (beberapa informasi mengatakan bahwa Ibnu Umar memiliki libido yang tinggi). Kedua, ada kemungkinan Ibnu Umar menyantap makanan atau hidangan terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan berhubungan intim.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, berbuka dengan cara berhubungan intim merupakan perilaku yang diberbolehkan dalam Islam. Namun yang menjadi catatan di sini adalah sebelum melakukan hubungan intim, seseorang harus benar-benar mengetahui masuknya waktu maghrib yang menjadi acuan untuk berbuka puasa.
Jika ia melakukan hubungan intim pada saat berpuasa, maka puasanya batal dan ia mendapatkan kafarat (hukuman), yaitu: Pertama, ia harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sahaya itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Kedua, jika tidak mampu, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud.
Puasa tidak harus menjadikan seseorang terlepas sepenuhnya dari unsur-unsur jasmaniahnya. Berhubungan intim adalah salah satu kebutuhan suami dan istri. Allah Swt mengetahui bahwa sesungguhnya para suami istri itu tidak dapat menahan nafsu secara terus menerus di bulan Ramadhan. Maka, Allah memperbolehkan bagi mereka melakukan hubungan intim setelah datang waktu berbuka puasa sampai sebelum terbit fajar. Wallahu A’lam.
Artikel oleh Ust. Afrizal El Adzim Syahputra, pengasuh PPM Raden Paku Trenggalek, dan aktif di LTN NU dan GP Ansor Trenggalek.
Referensi:
- Ibrahim Al-Bajuri, Hasiyah al-Bajuri ‘Ala Ibn Qasim
- Badr al-Din al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih Bukhari
- Imam Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain Fi Irsyad al-Mubtadi’in
- Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir