Puluhan aktivis mahasiswa mendatangi kantor DPRD Kabupaten Trenggalek, Selasa (13/9/2022). Mereka memprotes kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM.
Sebelum berorasi hingga aksi teatrikal di depan Gedung Dewan, massa yang terdiri dari PMII, BEM, dan Aliansi Mahasiswa Trenggalek melakukan long march dari halaman Agropark.
Dalam aksinya, mereka menyodorkan sejumlah tuntutan kepada Ketua dan Pimpinan DPRD Trenggalek untuk diteruskan ke DPR RI.
Meski sempat terjadi argumentasi, akhirnya Ketua dan Pimpinan DPRD Trengalek mau menandatangi tuntutan aksi dan berjanji untuk meneruskannya ke DPR RI.
Berikut ini naskah tuntutan aksi yang ditandatangani Ketua dan Pimpinan DPRD Trengalek dan diteruskan ke DPR RI.
Baca juga: Tolak Kenaikan Harga BBM, Puluhan Aktivis PMII Geruduk Gedung DPRD Trenggalek
Tuntutan Aksi PMII, BEM, dan Aliansi Mahasiswa Trenggalek
Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan BBM pada Sabtu, (03/09/2022). Dengan kenaikan sebagai berikut: Pertalite dari harga Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter; Solar dari harga Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800/liter; dan Pertamax dari harga Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter. Pemerintah mengambil keputusan tersebut karena penyaluran kompensasi dan subsidi energi berupa gas, bahan bakar minyak (BBM), dan listrik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 tidak tepat sasaran. Pemerintah menilai, bahwa 70% alokasi subsidi tersebut dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
Selain itu, pemerintah dalam mengambil kebijakan tersebut disinyalir berdasarkan kenaikan akumulasi subsidi dari Rp 145,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun untuk 2022, dengan rincian sebagai berikut: subsidi BBM dan LPG dari Rp 77,5 triliun ke Rp 149,4 triliun; subsidi listrik dari Rp 56,5 triliun ke Rp 59,6 triliun; kompensasi BBM dari Rp 18,5 triliun ke Rp 252,5 triliun; kompensasi BBM dari Rp 18,5 triliun ke Rp 252,5 triliun; dan kompensasi listrik dari Rp 0 ke Rp 41 triliun. Sehingga, pemerintah lebih memilih mengambil kebijakan untuk merelokasikan kompensasi dan subsidi energi menjadi bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat. Yaitu bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan subsidi upah (BSU) dengan total keseluruhan Rp 24,17 triliun dengan rincian: Rp 12,4 triliun untuk 20,65 juta keluarga kurang mampu sebesar Rp 150 ribu/bulan; Rp 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum 3,5 juta/bulan yang diberikan sebesar Rp 600 ribu; dan Rp 2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum, ojek online (ojol), dan nelayan.
Padahal, jika meninjau ulang penyaluran bansos Covid-19 di Kabupaten Trenggalek kemarin banyak yang tidak tepat sasaran. Ketidaktepatan tersebut dikarenakan data penerima bansos yang berada di pemerintah pusat dan di pemerintah desa tidak sama. Dimana, data yang dipakai untuk menyalurkan bansos menggunakan data dari pemerintah pusat.
Namun, pemerintah pusat masih memiliki data lama dan belum termutakhirkan. Berdasarkan informasi dan data yang kami himpun dari berbagai sumber informasi, banyak warga yang mengeluhkan bahwa warga yang seharusnya mendapatkan bansos tidak mendapatkan dan warga yang seharusnya tidak mendapatkan bansos justru mendapatkan. Selain itu, ada warga yang mengatakan, bahwa beberapa warga yang mendapatkan bansos tersebut masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan pamong desa atau Pemerintah Desa.
Menurut Dinas Sosial, ketidaktepatan penyaluran bansos tersebut karena ada permasalahan saat pendataan warga. Ada tiga instansi yang berkaitan dengan permasalahan pendataan warga penerima bansos tersebut, yakni Dinsos PPPA, Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), dan pemerintah desa di Trenggalek. Saat Dinsos PPPA melakukan validasi dan verifikasi data dengan mendatangi langsung warga yang melapor lewat aplikasi Lapor Covid-19, Dinsos banyak menemukan kesalahan pada penulisan Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik warga.
Jika relokasi sebagian anggaran kompensasi dan subsidi energi disalurkan menjadi bansos. Akan membuat masyarakat ketergantungan dengan bansos. Selain itu, bansos hanya bersifat sementara dan tidak bisa membantu masyarakat dalam memutar roda perekonomian.
Selain ketidaktepatan dalam penyaluran bansos, kenaikan harga BBM ditengah kondisi masyarakat yang tengah bangkit dari keterpurukan masa pandemi covid-19 akan menghambat perekonomian masyarakat. Dimana, BBM banyak digunakan masyarakat sebagai bahan bakar alat produksi dan transportasi.
Kendati akumulasi perhitungan kenaikan BBM oleh pemerintah berdasarkan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) berada pada rata-rata di angka US$ 97 dalam kata lain masih tinggi ditengah harga minyak dunia beberapa waktu lalu melandai, tentu tidak rasional dan tidak dibenarkan apabila menaikan harga BBM. Hal itu justru membuat masyarakat menjadi korban.
Terutama masyarakat kelas menengah bawah akan terdampak dengan kenaikan BBM. Karena kenaikan BBM akan memantik kenaikan harga bahan pokok. Karena distribusi bahan pokok pasti menggunakan kendaraan dan kendaraan pasti memerlukan BBM. Alhasil, jika BBM naik maka biaya transport akan ikut naik dan mempengaruhi harga bahan pokok. Jika harga bahan pokok naik berpotensi besar menurunkan daya beli masyarakat dan bisa berdampak pada perputaran roda perekonomian.
Kemudian, nelayan dan petani akan ikut terdampak dengan kenaikan harga BBM. Terutama nelayan, yang mesin kapalnya mengandalkan mesin yang berbahan bakar solar dan bensin. Alhasil biaya untuk melaut akan semakin meningkat. Seperti yang dilaporkan oleh DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Trenggalek, saat ini nelayan diambang keraguan untuk melaut karena biaya yang makin mahal. Dari biaya yang biasanya 1,5 juta rupiah menjadi 2,5 juta rupiah setiap kali melaut. Padahal, Dinas Perikanan (Diskan) Trenggalek telah memberikan surat rekomendasi BBM bersubsidi secara selektif, nelayan belum bisa mendapatkan BBM sesuai kuotanya.
Berdasar data Diskan Trenggalek, telah terbit surat rekom BBM bersubsidi tiap bulan. Jumlah surat rekom per Januari – September mencapai 4.962 rekom. Diantaranya BBM jenis Solar ada 2.214 rekom (kapal dengan berbagai alat tangkap); Pertalite 2.748 rekom. Diskan menyebutkan, bahwa penyebab nelayan belum bisa mendapatkan BBM subsidi sesuai kuotanya dikarenakan Stasiun Pengisian Bahan bakar Nelayan (SPBN) memiliki kuota terbatas. Selain itu, jumlah kuota BBM bersubsidi terbatas tidak seperti BBM jenis lainnya.
Alhasil, kebijakan subsidi BBM kepada nelayan melalui surat rekomendasi yang diterbitkan Diskan Trenggalek belum bisa dipraktikkan sebagaimana mestinya. Ditambah lagi, jika nelayan membeli BBM dari Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) harus mengantri panjang dan berebutan dengan kendaraan lain yang hendak mengisi BBM. Selain itu, kelangkaan BBM bersubsidi di SPBU sering terjadi. Sehingga, nelayan akan semakin sulit.
Selain nelayan, petani juga terdampak dengan kenaikan harga BBM. Karena, pada saat musim kemarau petani menggunakan mesin pompa air untuk dapat mengairi sawahnya. Alhasil akan meningkatkan harga produksi. Belum lagi petani akan kesulitan saat menjual hasil panen karena harga sering dimainkan oleh tengkulak selain ketidak teraturan pemerintah dalam mengatur pertanian. Selain itu, penyaluran pupuk bersubsidi di petani tidak merata. Sehingga petani harus membeli pupuk dengan harga yang lebih tinggi karena tidak bersubsidi. Alhasil, beban yang dirasakan petani akan semakin bertambah.
Di Kecamatan Pule Kabupaten Trenggalek, banyak petani yang menanam porang karena sering digaung-gaungkan oleh pemerintah. Alhasil, ada sebagian petani yang tidak memiliki modal kemudian melakukan pinjaman ke bank dengan jaminan tanah lahan mereka. Dan ketika harga porang anjlok, petani terancam kesulitan dalam membayar kredit ke bank. Alhasil, lahan mereka terancam disita bank jika tidak mampu melunasi kredit. Ini merupakan sebuah permasalahan di petani. Pemerintah daerah seharusnya memperhatikan nasib petani porang yang terlantung-lantung. Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap nasib petani porang, karena pemerintah yang menggaung-gaungkan porang.
Relokasi sebagian anggaran kompensasi dan subsidi BBM ke bansos bukanlah sebuah solusi yang solutif, mengingat bansos sendiri masih banyak permasalahan seperti penyaluran yang kurang tepat sasaran dan data warga yang berhak menerima belum terverifikasi dan valid. Artinya bansos tidak menjamin adanya kesejahteraan bagi masyarakat kelas bawah. Justru akan membuat kegaduhan baru ditengah-tengah masyarakat dan memperlambat gerak perekonomian di masyarakat.
Jika yang terjadi adalah penyaluran subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, maka, pemerintah seharusnya mengambil langkah taktis untuk memberantas penyalahgunaan penerima manfaat BBM bersubsidi, bukannya malah menaikkan harga BBM dengan mengorbankan masyarakat. Menaikkan harga BBM sama halnya memperlambat pemulihan ekonomi efek dari pandemi Covid-19. Maka dari itu, kami, PMII Cabang Trenggalek dan Aliansi Mahasiswa Trenggalek mengambil sikap dan memberikan tuntutan sebagai berikut:
- Tolak kenaikan BBM bersubsidi karena berdampak langsung pada masyarakat ekonomi menengah ke bawah sehingga menambah kesengsaraan khususnya warga Trenggalek.
- Pemerintah harus mengatur penyaluran BBM bersubsidi yang efektif dan mudah sehingga tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak.
- Mendorong DPRD Kabupaten Trenggalek untuk membentuk Tim khusus atau panitia khusus DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap problematika dalam penyaluran BANSOS, BLT, BSU dan bentuk bantuan lain yang tidak tepat sasaran.
- Menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi bagi petani. Sehingga, petani tidak mengalami kesulitan dalam mencari pupuk.
- DPRD Trenggalek harus mengambil sikap tegas dan memihak rakyat, serta memberikan solusi jalan ekonomi pasca pandemi covid-19. Kegagalan tanaman porang yang digaungkan Pemerintah Daerah sudah menjadi cukup bukti bahwa rakyat menjadi korban. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus memperhatikan nasib petani, khususnya petani porang.
- Tambahkan fasilitas SPBN, supaya Nelayan tidak kesulitan saat mengisi BBM, karena SPBN sekarang hanya terbatas untuk solar, belum ada SPBN yang menyediakan pertalite.
(Androw Dzulfikar)