Dengan penuh hati-hati, Abu Bakar r.a. memasuki ruang gelap Gua Tsur. Ia meraba-raba dinding dan lantai gua, mencari lubang dan celah-celah dalam gua itu untuk memastikan tidak ada hewan berbisa yang mengganggu Nabi ﷺ.

“Demi Allah, engkau jangan masuk dulu sebelum aku masuk,” pinta Abu Bakar.

Benar. Tangannya menyentuh bebatuan yang berlubang. Ia merobek kain baju miliknya. Ia tutupi lubang demi lubang dengan kain yang masih tersisa. Ia cari lagi. Ia menemukan dua lubang lagi, tetapi tak lagi ada kain yang  tersisa. Akhirnya, kedua kaki beliau dengan cekatan menyumbat lubang itu. Setelah dirasa aman, Abu Bakar mempersilahkan Nabi memasuki gua Tsur.

Ia bukan mengkhawatirkan dirinya tersengat ular atau kalajengking. Ia hanya khawatir hewan-hewan itu menyentuh tubuh Rasulullah ﷺ. Ia tidak ingin kekasihnya merasakan rasa sakit sedikit pun karena hewan atau apa pun yang mengganggu, atau terganggu dengan hewan-hewan gua yang penuh bisa.

Setelah Abu Bakar mempersilakan Nabi Muhammad ﷺ masuk, ia pun menyiapkan dirinya untuk dibuat sebagai hamparan Nabi. Nabi ﷺ kemudian tidur di pangkuan Abu Bakar. Abu Bakar dengan tawaduknya mempersilahkan tubuh Nabi di pangkuannya.

Tetiba, ada hewan berbisa menggigit Abu Bakar dari salah satu lubang itu. Abu Bakar meringis kesakitan. Sakitnya sungguh menyengat. Abu Bakar menahan rasa itu tanpa ada suara teriakan. Khawatir Nabi terjaga. Ia tahan dengan sekuat tenaga. Hanya meringis tak bersuara.

Namun, air mata itu pun jatuh tanpa permisi, karena menahan perih gigitan hewan berbisa itu.

“Ada apa denganmu, Ya Abu Bakar?” Nabi terbangun karena tetesan air mata itu mengenai pipi Sang Kekasih.

Abu Bakar diam.

Rasulullah saw bertanya pada Abu Bakar, sebab air mata yang menetes. Abu Bakar menjawab, air mata yang jatuh bukan karena sedih. Bagaimana bisa bersedih bersama kekasih Allah, bersama orang yang paling mulia di muka bumi. Bagaimana bisa bersedih, bisa berdua dengan cahaya alam semesta. Abu Bakar menangis bukan pula karena takut kejaran para pemuda yang haus darah untuk membunuhnya.

“Rasulullah, kakiku digigit ular,” sambil menahan sakit, Abu Bakar menjawab sangka Nabi.

“Mengapa tidak memberitahuku dari tadi, Wahai Abu Bakar?” Rasulullah penuh tanya.

Ternyata, Abu Bakar tidak tega memberitahu pada Rasulullah yang sedang tertidur di pangkuannya, takut terbangun, takut mengganggu Nabi.

“Ya Allah, jadikanlah Abu Bakar sederajat denganku pada hari kiamat nanti,” doa Rasulullah pada Abu Bakar.

Kemudian Nabi memeriksa kaki Abu Bakar yang tersengat ular berbisa. Dan mengusapnya dengan air liur beberapa kali lalu Nabi membaca, “Bismillahirrahmanirrahim“.

Setelah itu, Abu Bakar merasa sakitnya mulai menghilang.

Sebelum Nabi terjaga, Abu Bakar khawatir ketika para pemuda yang ingin membunuh Nabi itu menemukan Gua Tsur. Ia bermandikan keringat bukan karena takut dirinya tertangkap. Ia hanya takut terjadi apa-apa dengan kekasihnya.

“Jangan bersedih, Allah bersama kita,” kata Rasulullah pada Abu Bakar.

“Kalau pemuda itu menjenguk ke bawah, pasti mereka melihat kita, Ya Rasul.”

Tapi Nabi tetap tenang.

Di luar sana, mata pemuda-pemuda itu terus awas menyambar setiap nafas, setiap gerak, dan bayangan. Tapi, mereka tidak menemukan apa pun. Mereka hanya melihat laba-laba yang asyik menganyam gua. Mereka pun pergi ‘dengan dongkol.

……..

Ketika beliau ditanya tentang seseorang yang paling dicintai, Nabi saw menjawab: Abu Bakar.

“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih,” (HR. Bukhari dan Muslim).

كانتْ لأبي بكر مكانةٌ عالية عندَ سيِّدنا رسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم حيث أثْنَى عليه كثيرًا؛ فعَن أبي الأحوص، عن عبدالله، قال: قال رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلَّم: «ألاَ إني أبرأُ إلى كلِّ خليل مِن خُلَّته، ولو كنتُ مُتَّخِذًا خليلاً، لاتخذتُ أبا بكر خليلاً، إنَّ صاحبَكم خليلُ الله»، قال وكيع: يعني نفسه” (سنن ابن ماجه)

Abu Bakar sangat mencintai Nabi. Nabi juga demikian. Cinta atas nama Tuhan, akan berakhir pada sebuah kebahagiaan. Setiap jiwa yang hanya diliputi cinta jasadi, ia akan berakhir pada jasad. Tapi bila mencintai dengan ruhi, ia terus merasa kebahagiaan tanpa henti. Sebagaimana ruh akan merasa sakinah bila ia menemukan hakikat diri.

Shallallahu alaihi wasallam.

* Artikel oleh Ust. Halimy Zuhdi; 5 Oktober 2022 / 9 Rabiul Awal 1444 H

You May Also Like

Dewi Yukha Nida, Qari Internasional dari Trenggalek

Ning Nida, demikian ia biasa dipanggil. Sapaan “Ning” kepadanya tidaklah berlebihan. Bukan…

Sejarah Tradisi Kupatan di Durenan Trenggalek: Dari Wali Songo hingga Mbah Mesir

Tradisi kupatan merupakan akulturasi budaya yang dilakukan oleh salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga. Tradisi kupatan yang sebelumnya adalah simbol yang dikenal

Mengenal Lebih Dekat Ketua PCNU Trenggalek KH. Fatchulloh Sholeh (Gus Loh)

KH. Muhammad Fatchulloh Sholeh adalah Ketua Tanfidziyah PCNU kabupaten Trenggalek. Di periode…

Sosok Mbah Anwar, Cikal Bakal Pondok Al-Anwar Ngadirenggo

Sebelum berdiri madrasah pada 1992, Kiai Ghufron mengajar para santrinya di langgar atau musala kecil yang sudah terlebih dahulu berdiri.