Seringkali kita mendengar dari para guru, atau dari tokoh tertentu, tentang suatu bacaan yang apabila dibaca dengan kaifiyah tertentu, maka berkhasiat begini dan begitu. Saya pun beberapa hari lalu membagikan sebuah ijazah sebuah shalawat Syajaratun Nuqud, yang saya dengar langsung dari Habib Assegaf, Parung, Bogor, yang memakai redaksi tertentu, jumlah tertentu, waktu tertentu, dan disebutkan punya khasiat tertentu berupa lapangnya rezeki. Silakan dibaca ijazah tersebut di lapak saya di FB ini sebab itu mujarab. Mujarab artinya sudah teruji berkali-kali.
Habib Assegaf sendiri yang mengijazahi wirid ini, sewaktu saya sowan ke kediamannya sekitar tahun 2008. Beliau mempunyai 12.000 santri yang setiap harinya beliau beri makan gratis tanpa sepeserpun ada iuran SPP, uang gedung, atau iuran apapun dari santrinya. Menjelang wafatnya, saya dengar, santri yang beliau tanggung sudah mencapai 16 ribuan. Ketika orang hebat dan sepertinya punya tanda kewalian ini memberi ijazah demikian, saya pun percaya dan tak merasa perlu bertanya apa dalilnya. Sekitar tahun 2015, saya juga pernah mendapat ijazah ini, persis sama, dari seorang kiai Surabaya yang juga kaya raya, yang konon mendapatkannya dari seorang tokoh hebat dari Indonesia juga. Saya menduga tokoh yang dimaksud adalah Habib Assegaf ini. Maka makin mantaplah saya. Entah kalau Anda yang mendapat ijazah dari saya ini percaya apa tidak. Sebab saya tidak kaya seperti itu, ha ha…
- Baca juga (lanjutan): Ibnu Taimiyah pun Mengajarkan Ijazah Amalan Wirid Tertentu
Beberapa orang mempermasalahkan amalan semacam ini sebab dianggap tidak ada hadisnya, atau tidak ada tuntunannya dari Rasulullah, sehingga mereka berasumsi bahwa hal seperti ini adalah bagian dari bidah yang sesat itu. Padahal, sebenarnya fenomena semacam ini bukan hal baru.
Silakan simak kisah panjang riwayat Imam Bukhari berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ [ص: ٩٣] مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ»، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Dari Abu Sa’id ra berkata; Ada rombongan beberapa orang dari sahabat Nabi saw yang bepergian dalam suatu perjalanan. Hingga ketika mereka sampai di salah satu perkampungan Arab penduduk setempat, mereka meminta agar bersedia menerima mereka sebagai tamu penduduk tersebut, namun penduduk menolak. Kemudian kepala suku kampung tersebut terkena sengatan binatang lalu diusahakan segala sesuatu untuk menyembuhkannya namun belum berhasil. Lalu di antara mereka ada yang berkata: ‘Coba kalian temui rombongan itu, semoga ada di antara mereka yang memiliki sesuatu’. Lalu mereka mendatangi rambongan dan berkata: ‘Wahai rombongan, sesunguhnya kepala suku kami telah digigit binatang dan kami telah mengusahakan pengobatannya namun belum berhasil, apakah ada di antara kalian yang dapat menyembuhkannya?’ Maka berkata seorang dari rombongan: “Ya, demi Allah aku akan mengobati namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi tamu kalian namun kalian tidak berkenan maka aku tidak akan menjadi orang yang mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat dengan imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca Alhamdulillah rabbil ‘alamiin (Q.S. al-Fatihah) seakan penyakit lepas dari ikatan tali, padahal dia pergi tidak membawa obat apapun. Dia berkata: Maka mereka membayar upah yang telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata: ‘Bagilah kambing-kambing itu!’ Maka orang yang mengobati berkata: ‘Jangan kalian bagikan hingga kita temui Nabi saw lalu kita ceritakan kejadian tersebut kepada beliau saw dan kita tunggu apa yang akan beliau perintahkan kepada kita’. Akhirnya rombongan menghadap Rasulullah saw lalu mereka menceritakan peristiwa tersebut. Beliau berkata: ‘Kamu tahu dari mana kalau al-Fatihah itu bisa sebagai ruqyah (obat)?’ Kemudian beliau melanjutkan: ‘Kalian telah melakukan perbuatan yang benar, maka bagilah upah kambing-kambing tersebut dan masukkanlah aku dalam sebagai orang yang menerima upah tersebut’. Maka Rasulullah saw tertawa.”
Simak pertanyaan Rasulullah kepada sahabat itu: “Kamu tahu dari mana kalau al-Fatihah bisa sebagai ruqyah?”. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah belum pernah mengajari fungsi al-Fatihah sebagai ruqyah tetapi sahabat tadi berinisiatif sendiri atau dalam kata lain menentukan khasiat sendiri tanpa ada tuntunan wahyu atau hadis.
Hal ini diperjelas dengan riwayat lain dari Imam Daraquthni sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar berikut:
وللدَّارَقُطْنِيِّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَيْءٌ أُلْقِيَ فِي رُوعِي وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مُتَقَدِّمٌ بِمَشْرُوعِيَّةِ الرُّقَى بِالْفَاتِحَةِ ( فتح الباري لابن حجر ۴/۴۵۷ )
Artinya: “Daraquthni dari sisi ini mempunya riwayat ‘Maka aku berkata: Wahai Rasul, itu adalah sesuatu yang disampaikan ke dalam hatiku’. Hal ini jelas sekali bahwa sahabat itu tidak punya pengetahuan sebelumnya tentang disyariatkannya ruqyah dengan Fatihah”.
Penjelasan dari redaksi tambahan Imam Daraquthni ini menunjukkan bahwa sahabat itu mendapat semacam ilham dalam hatinya bahwa al-Fatihah bisa digunakan sebagai ruqyah. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa khasiat suatu ayat atau bacaan dzikir yang disepakati sebagai kebaikan bisa diketahui dengan jalan ilham. Rasul sama sekali tidak berkata “Kamu melakukan bid’ah” atau bertanya “Mana dalilnya bahwa al-Fatihah bisa sebagai ruqyah?”, melainkan menyetujui itu dan bahkan meminta bagian dari upah ruqyah itu sebagai tanda dukungan beliau atas inisiatif cerdas sahabat tersebut.
Jadi soal penentuan khasiat tanpa tuntunan ayat atau hadis itu diperbolehkan berdasarkan hadis sahih di atas. Kita tak bisa berkata bahwa ini khusus surat al-Fatihah saja dan khusus khasiat sebagai ruqyah saja sebab yang begini namanya تخصيص بغير مخصص, mengkhususkan cakupan suatu hadis tanpa adanya dalil hadis lain yang menyatakan kekhususan itu. Pengkhususan semacam ini sama saja dengan menambah syariat sendiri. (Bab. 1)
- Baca juga (lanjutan): Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir
* Ust. Abdul Wahab Ahmad (pengurus MUI Jatim, peneliti Aswaja NU Center Jatim, dosen IAIN Jember); disadur dari status Facebook tanggal 27 Mei 2018