Oleh: Ust. Afrizal El Adzim Syahputra*

Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang. Islam tidak pernah mengajarkan kepada para pemeluknya untuk menyakiti dan menzalimi orang lain. Islam mengajarkan para pemeluknya agar berbuat baik dan menebarkan kasih sayang kepada siapapun.

Sabda Nabi Saw:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang, maka sayangilah makhluk yang di bumi, maka engkau akan disayangi oleh para penduduk langit.”

Hadis ini memerintahkan kepada umat Islam untuk menyayangi siapapun secara mutlak. Mulai dari hewan, tumbuhan, manusia, sesama muslim, nonmuslim dan lain sebagainya. Karena itu, menyayangi nonmuslim adalah bagian dari sunnah Nabi Saw.

Salah satu upaya mewujudkan kasih sayang kepada para nonmuslim adalah selalu berbuat baik kepada mereka. Di antara perbuatan baik tersebut, menurut beberapa ulama, adalah dengan memberikan ucapan “selamat” saat mereka sedang berhari raya. Ucapan ini diharapkan dapat menjaga kerukunan hidup di antara kedua belah pihak.

Di antara para ulama yang sepakat mengenai hal ini adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam buku “Islam Yang Mencerahkan dan Mencerdaskan” karangan KH. Husein Muhammad, terdapat nukilan tulisan Gus Dur yang berjudul “Harlah, Natal, dan Maulid” saat berada di Yerusalem, pada 20 Desember 2003. Gus Dur mengatakan dalam tulisannya :

“Natal, dalam kitab suci al-Qur’an disebut, sebagai yauma wulida (hari kelahiran), yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: ‘Kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)/salamun yauma wulid’, yang dapat dipakaikan kepada beliau (Nabi Isa) atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat Maryam: Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku/as-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu’, jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa a.s.. Bahwa kemudian Nabi Isa dijadikan anak Tuhan oleh umat Kristen, adalah sesuatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu. Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, ialah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jadi, penulis merayakan Natal adalah sebagai penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah Swt. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama. Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalakan ia tidak turut dalam ritual kebaktian”.

Hari natal sangat berkaitan dengan kelahiran Nabi Isa a.s.. Meski masih menjadi perdebatan para ahli sejarah terkait waktu kelahiran beliau, namun sebagai umat Islam, menghormati kelahiran beliau merupakan bagian dari kebaikan. Ini sebagaimana penghormatan yang dilakukan terhadap kelahiran Nabi saw. Selain itu, penghormatan kelahiran tidak harus sesuai dengan waktu dan tanggal kelahiran. Penghormatan ini dapat dilakukan kapanpun, seperti saat walimatul ‘urs, kenduri, slametan, aqiqah, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Syekh Ahmad Thayyib (Grand Syekh al-Azhar) saat ini juga membolehkan ucapan hari raya kepada nonmuslim. Dalam channel Youtube yang berjudul “al-Imam al-Tayyib: Jawazu Tahni’ah Ghayr al-Muslimin Fi al-A’yad (bolehnya mengucapkan selamat hari raya kepada para non muslim)”, beliau menyampaikan bahwa kebolehan ucapan tersebut berdasarkan Q.S. al-Mumtahanah: 8 sebagai berikut:

‌لا ‌يَنْهاكُمُ ‌اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ، وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيارِكُمْ، أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Menurut beliau, para ulama menjadikan ayat ini sebagai hukum diperbolehkannya memberikan sedekah bagi para nonmuslim, baik yang beragama kristen, yahudi, majusi, dan lain sebagainya.

Salah satu riwayat yang berkaitan dengan sebab nuzul ayat ini adalah riwayat Asma’ Binti Abu Bakar. Suatu hari, ia didatangi oleh ibunya yang musyrik (nonmuslim). Kemudian, ia bertanya kepada Rasul Saw: Apakah saya boleh menerima ibu saya dan menyambung silaturahmi kepadanya? Rasul Saw menjawab “Ya, sambunglah silaturahmi dengannya.”

Lanjut Syekh Thayyib, jika menyambung silaturahmi kepada nonmuslim merupakan suatu yang dianjurkan berdasarkan hadis ini, apakah layak melarang umat Islam untuk mengucapkan selamat hari raya kepada para nonmuslim?

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada nonmuslim merupakan bagian dari menyambung tali silaturrahmi.

Ulama al-Azhar lain yang membolehkan ucapan hari raya kepada nonmuslim adalah Syekh Ali Jum’ah. Beliau juga mantan mufti Mesir. Di antara ucapan beliau dalam channel Youtube Dar al-Ifta’ al-Masriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), hukum mengucapkan selamat hari Natal kepada Kristen adalah boleh.

Hari Natal sangat berkaitan dengan kelahiran Nabi Isa a.s.. Sedangkan Nabi Isa a.s. adalah salah satu utusan Allah yang sangat mulia. Beliau adalah salah satu Ulul Azmi yang disebutkan oleh al-Qur’an. Karena itu, jika ada beberapa umat islam yang senang dan merayakan hari kelahiran beliau, maka mereka adalah orang-orang yang merayakan kelahiran manusia yang terhormat.

Lanjut beliau: Dalam surat al-Mumtahanah ayat 8—sebagaimana yang sudah penulis cantumkan sebelumnya—terdapat ungkapan yang maknanya “berbuat baik”. Yang termasuk cakupan dari ungkapan ini menurut kesepakatan para ulama adalah takziah, ucapan selamat, bertamu, menghormati orang lain, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dianjurkan kepada umat Islam untuk menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristen sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Isa a.s. dan untuk menginformasikan sikap umat Islam terhadap Nabi Isa kepada umat Kristen. Selain itu, ucapan ini menurut beliau merupakan bentuk kebaikan kepada umat Kristen yang merupakan bagian dari tetangga umat islam. 

Memang, mayoritas ulama fikih pada masa lalu melarang ucapan Natal kepada umat Kristen. Habib Ali al-Jufri menjelaskan dalam salah satu ceramahnya bahwa larangan ucapan selamat Natal pada zaman dahulu karena jika ada muslim yang mengucapkan natal kepada Kristen, maka diartikan bahwa ia telah meyakini akidah Kristen tersebut. Dan ini merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Selain itu, pada zaman dahulu, komunitas gereja tidak mengucapkan selamat kepada umat muslim saat mereka merayakan maulid Nabi Saw.

Sekarang, era sudah berubah. Pengucapan selamat Natal tidak lagi diartikan sebagai pengakuan terhadap apa yang diyakini oleh umat Kristen. Ucapan Natal saat ini diartikan sebagai bagian dari kebaikan. Ucapan Natal saat ini diartikan sebagai bagian dari kerukunan, kecintaan, persahabatan, persaudaraan, dan kemampuan untuk hidup berdampingan. Ini merupakan sebuah metode untuk menjernihkan cara berpikir kita dalam berinteraksi dengan turats (warisan keilmuan islam). Wallahua’lam. (*)

* Ust. Afrizal El Adzim Syahputra: dosen UIN SATU dan STIT Sunan Giri Trenggalek; pengasuh PPM Raden Paku Trenggalek.
You May Also Like

Bacaan dan Tata Cara Bilal Shalat Jumat (Panduan Singkat)

Dalam pelaksanaan shalat Jumat, bilal atau muraqqi mempunyai peran yang penting. Bilal…

Makna ar-Rahman & ar-Rahim Secara Bahasa, Istilah, dan Kalam

Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang…

Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir

Adapun soal penentuan bilangan dan lafaznya, maka sebenarnya sama saja bisa ditentukan…

Nasihat Mewujudkan Pernikahan yang Maslahah

Pernikahan itu sakral. Allah Swt menyebutnya sebagai “mitsaqan ghalidza” alias perjanjian yang…