Ahad Pahing, sore menjelang buka puasa wetonnya, Bambang Sumbada, tegak berdiri didepan jendela tua kamar tidurnya. Kepalanya perlahan manggut-manggut meresapi nada dari tetesan air hujan yang membentur atap kanopi. Semilir angin menerpa pohon-pohon bak pagar antara rumah tetangga gerak seirama. Sayup-sayup, Ayat Cinta mengalun lembut dari surau yang memang tidak jauh dari rumahnya.
“Ceklek, cieeettt…,” suara pintu terdorong disusul suara jejak langkah, sedikit mengganggu fokus Bambang menikmati simfoni semesta.
“Mas, sebentar lagi maghrib. Tutup jendelanya, jangan melamun,” lirih, Laila, istrinya berbisik ditelinga Bambang.
Spontan Bambang merengkuh tangan istrinya yang memeluknya dari belakang sembari menimpali istrinya.
“Iya, aku tidak melamun. Simfoni semesta tanpa aba-aba menenggelamkanku dalam rindu.”
“Aiih… Aku sudah menyiapkan menu buka puasa untukmu. Bersiaplah.”
Sekejap Laila meloloskan tangan dari genggeman suaminya. Semerbak harum aroma rambut Laila masih melekat di hidung Bambang, namun ketika Bambang menolehnya lenyap sudah indah tubuh istrinya. Hanya gawang dengan daun pintu agak lebar terbuka diantara dinding merah muda dengan sedikit bercak putih. Sengaja Bambang membuatnya begitu untuk menciptakan efek grunge.
Keduanya belum begitu lama bahkan bisa timbul fitnah apabila Tuhan tergesa mengaruniai buah hati, dua hari menginjak bulan ke-empat usia pernikahan mereka.
Di Desa Pangurepan, Bambang memboyong istrinya. Sebagai pembudidaya ikan konsumsi menjadi alasan untuk tetap tinggal di sebuah rumah sederhana peninggalan orang tua, agar tetap dekat kala tiba waktu memberi makan ikan-ikannya.
Selesai sembahyang maghrib, Bambang menyesap-nyesap kopi sambil menikmati kepulan asap putih dari celah kedua bibir yang nampak sedikit menghitam itu, duduk menyandar pada kursi kayu tua di ruang tengah antara dapur dan ruang tamu.
Laila dengan gemulai khasnya keluar dari kamar menghampiri Bambang yang hampir di tiap kesendiriannya tanpa aktifitas selalu hanyut terbawa senandung mesra dalam hatinya. Laila tidak lagi asing dengan keadaan itu. Kali ini Laila sengaja ingin sedikit mengagetkan suaminya.
“Mas, kita jadi kerumah bapak, kan!”
Lanjut Laila tertawa kecil. Diluar perkiraan ternyata Bambang tidak terkaget hanya sejenak diam. Bambang menghirup aroma tanah basah menyelinap ruangan memberi tanda hujan telah reda entah sejak kapan.
“Iya. Ambilkan jaketku. Seingatku tadi siang kujemur,”
“Ndak kamu angkat? Ya basah dong, Mas, tadi kan hujan!” terperangah Laila mendengar penuturan Bambang.
“Berarti yang lain.”
Bambang berdiri dari tempat duduknya. Seketika Laila meraih tangan Bambang lalu memeluknya. Laila meminta maaf atas keteledorannya sebagai istri.
*****
Lewat pukul sepuluh malam usai dari acara gumbrengan bayi, putra si mbaknya Laila yang sengaja diminta tetap tinggal bersama bapak dan ibu, mereka pulang berkendara motor agak ngebut karena gerimis sudah membawa kabar akan kembali turun hujan.
Sesampainya dirumah dan membuka kuncian pintu, Laila bergegas lari ke kamar mandi, sambil menahan pipis. Sedang si Bambang pelan-pelan memasukkan dan menata motor dalam rumah yang memang tanpa garasi itu.
“Aaarrrgghhhh.. Maliing.. Maliiing… Maliiiiing..!!”
Teriakan Laila tidak sekedar mengagetkan Bambang, tapi beberapa tetangga mendengar kata maling bergegas datang mengerumuni. Mereka menduga-duga, maling itu masuk rumah lewat jendela yang terlihat terbuka.
Bersamaan raungan Laila sambil mendekap kotak perhiasan kosong itu, para tetangga berlomba memberi kata bijak. Tidak sedikit pula yang menyudutkan Bambang.
“Makanya kalau mau ninggalin rumah itu dipastikan dulu, semua sudah terkunci apa belum. Jangan grusa-grusu…”
“Sing waspada!”
Tajam mata Laila menyorot ke arah Bambang, sambil masih terisak.
“Tadi sore Mas, to, yang kuminta mengunci jendela waktu Mas berdiri terpaku di sana? Hiks… hiks… Cincin emas mahar pernikahan waktu itu, beserta perhiasanku yang lain ludes, Mas!”
Hati Laila berkecamuk, mengingat siang tadi perhiasan itu sengaja ditaruhnya dalam kotak usai ia pakai dari pasar. Merasa tak enak hati, Laila mengenakan perhiasan di acara keluarga.
Bambang tanpa suara mengecek jendela. Engselnya rusak bekas congkelan. Artinya jendela sebelumnya dalam keadaan terkunci. Dinyalakannya sebatang rokok untuk mengusir panik dan geram karena tersudutkan. Bambang dengan santai berucap ditengah isak tangis istri dan gembreneng tetangga.
“Jika mencari yang salah, ya bukan salahku. Jelaslah pencuri yang salah!”
“Masss….!”
Bambang pun menenangkan istrinya. Sambil mengusap-usap punggung dan pundak Laila. Ia mengatakan bahwa hari ini ia kalah cerdik dengan si pencuri. Bisa jadi si pencuri itu sudah mengatur siasat sedari mengikuti Laila dari pasar.
“Sudah, bubar. Nol. Salah semua!”