Dalam akidah Ahlussunnah wal Jamaah dijelaskan bahwa Allah tidak bertempat. Allah di luar ruang dan waktu sehingga seluruh pertanyaan “di mana” atau “kapan” sejatinya tidak berlaku untuk Allah. Hanya saja, manusia hidup dalam ruang dan waktu sehingga pertanyaan “di mana” ini menjadi sebuah kewajaran, terutama bagi mereka yang belum mempelajari ilmu akidah secara mendalam.

Bagi orang dewasa, relatif lebih mudah menjelaskan kemahaberbedaan Allah dengan makhluk, di mana seluruh makhluk berada dalam ruang (space) sedangkan Tuhan semesta alam mustahil demikian. Allah telah ada sebelum semua ruang atau tempat tercipta, dan keberadaan-Nya tidak mengalami perubahan ketika Dia telah menciptakan ruang dan tempat bagi makhluk. Yang terikat dalam dimensi ruang dan tempat hanyalah makhluk, bukan Sang Pencipta makhluk. Dalil kesimpulan ini sangat banyak dan bersifat pasti.

Namun bagaimana bila yang bertanya adalah anak kecil? Di sinilah banyak yang merasa kesulitan memberi jawaban yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, yang perlu dilakukan adalah merujuk pada petunjuk al-Qur’an dan hadis.

Ada beberapa hadis yang redaksinya berisi pertanyaan “di mana Allah”. Dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya pada seorang budak perempuan, “Di mana Allah?” Lalu budak perempuan tersebut menjawab: “Di langit”.

Meskipun diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya, dan juga oleh perawi lain seperti Imam Abu Dawud dan Ahmad, namun sayang hadis tersebut mudltharrib karena mempunyai beragam versi yang berbeda, baik dalam sanad (rantai transmisi) mau pun matan (konten).

Dalam hasil penyelidikan Syaikh Shalahuddin al-Idlibi—pakar hadis ternama dari Suriah—dalam bukunya Bida’ al-i’tiqad fi at-Tajsim wa al-Irja’, dihasilkan kesimpulan bahwa redaksi paling valid dari pertanyaan Nabi Muhammad kepada budak perempuan tersebut bukanlah “Di mana Allah?” melainkan “Siapa Tuhanmu?”, dilanjutkan redaksi “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”. Dengan demikian, sejatinya hadis budak perempuan dengan versi “Di mana Allah” tidak dapat menjadi pedoman kita dalam hal sepenting ini karena sangat diragukan bahwa Nabi Muhammad pernah mengucapkan pertanyaan tersebut.

Beberapa ulama ahli hadis seperti Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menerima redaksi “Di mana Allah” tersebut namun dengan memberi catatan bahwa pertanyaan itu bukan pertanyaan tentang lokasi Allah melainkan tentang derajat ketinggian Allah.

Ada juga hadis lain yang menyebutkan bahwa Rasulullah ditanya “Di mana Allah?”, lalu beliau menjawab: “Di hati para hamba-Nya yang beriman”. Sayangnya, secara sanad, hadis ini lebih bermasalah dari sebelumnya. Imam al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ dan Imam as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra menyatakan bahwa sanad hadis ini belum diketahui. Dengan demikian, kita abaikan hadis ini.

Apabila kita melihat hadis secara lebih luas dan al-Qur’an secara umum dengan mempertimbangkan seluruh redaksi  yang mengesankan tentang “tempat Allah”, maka akan kita temukan jawaban yang sangat beragam, misalnya: di langit, di atasnya langit, di atas Arsy, di bumi sekaligus di langit, bersama kita di mana pun kita berada, di depan orang shalat, di antara kita dan leher hewan tunggangan kita, sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat leher, dan beragam lainnya. Semua ungkapan tersebut disebutkan dalam ayat al-Qur’an atau hadis-hadis sahih.

Dari seluruh dalil tersebut, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah menyimpulkan bahwa seluruh ungkapan yang mengesankan “tempat Allah” adalah ungkapan metaforis sehingga tidak bertentangan satu sama lain dan tidak juga menghasilkan kesimpulan bahwa Allah ada di mana-mana seperti keyakinan sesat kaum Jahmiyah, dan tidak pula menghasilkan kesimpulan bahwa Allah hanya ada di satu tempat di atas Arasy saja seperti keyakinan sesat kaum Musyabbihah.

Memberi Jawaban yang Tepat Kepada Anak Kecil yang Bertanya Di Mana Allah

Lalu bagaimana kita menjawab pertanyaan polos dari anak kecil yang akalnya belum mampu memahami realitas ini? Dalam hal ini kita dapat menggunakan panduan umum dari Allah sendiri ketika kita dihadapkan pada pertanyaan semacam ini dan pertanyaan lainnya yang senada, dan itulah yang betul-betul dapat kita gunakan. Panduan tersebut yaitu:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِی عَنِّی فَإِنِّی قَرِیبٌ

Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat”. [Q.S. al-Baqarah: 186]

Ayat tersebut merupakan jawaban standar bagi banyak pertanyaan tentang Allah. Imam ar-Razi menjelaskan:

«لَا يَبْعُدُ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ كَانَ فِي بَعْضِ أُولَئِكَ الْحَاضِرِينَ مَنْ كَانَ قَائِلًا بِالتَّشْبِيهِ، فَقَدْ كَانَ فِي مُشْرِكِي الْعَرَبِ وَفِي الْيَهُودِ وَغَيْرِهِمْ مَنْ هَذِهِ طَرِيقَتُهُ، فَإِذَا سَأَلُوهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَقَالُوا: أَيْنَ رَبُّنَا؟ صَحَّ أَنْ يَكُونَ الْجَوَابُ: فَإِنِّي قَرِيبٌ، وَكَذَلِكَ إِنْ سَأَلُوهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَقَالُوا: هَلْ يَسْمَعُ رَبُّنَا دُعَاءَنَا؟ صَحَّ أَنْ يَقُولَ فِي جَوَابِهِ: فَإِنِّي قَرِيبٌ فَإِنَّ الْقَرِيبَ مِنَ الْمُتَكَلِّمِ يَسْمَعُ كَلَامَهُ، وَإِنْ سَأَلُوهُ كَيْفَ نَدْعُوهُ بِرَفْعِ الصَّوْتِ أَوْ بِإِخْفَائِهِ؟ صَحَّ أَنْ يجب أن بِقَوْلِهِ: فَإِنِّي قَرِيبٌ، وَإِنْ سَأَلُوهُ هَلْ يُعْطِينَا مَطْلُوبَنَا بِالدُّعَاءِ؟ صَلَحَ هَذَا الْجَوَابُ أَيْضًا، وَإِنْ سَأَلُوهُ إِنَّا إِذَا أَذْنَبْنَا ثُمَّ تُبْنَا فَهَلْ يَقْبَلُ اللَّهُ تَوْبَتَنَا؟ صَلَحَ أَنْ يُجِيبَ بِقَوْلِهِ: فَإِنِّي قَرِيبٌ أَيْ فَأَنَا الْقَرِيبُ بِالنَّظَرِ لَهُمْ وَالتَّجَاوُزِ عَنْهُمْ وَقَبُولِ التَّوْبَةِ مِنْهُمْ، فَثَبَتَ أَنَّ هَذَا الْجَوَابَ مُطَابِقٌ لِلسُّؤَالِ عَلَى جَمِيعِ التَّقْدِيرَاتِ (تفسير الرازي = مفاتيح الغيب أو التفسير الكبير (5/ 262))

Artinya: “Terbuka kemungkinan untuk dikatakan bahwa dalam sebagian penanya yang hadir tersebut ada orang yang beraliran tasybih. Ada dalam kalangan orang musyrik Arab, Yahudi dan lainnya  yang berpendapat demikian. Ketika mereka bertanya kepada Nabi Muhammad Alaihi as-Shalatu Wassalam, di mana Tuhan kami? Maka bisa dijawab: ‘Sesungguhnya Aku dekat’.”

Demikian juga ketika mereka bertanya kepada Nabi, “Apakah Tuhan kami mendengarkan doa kami?”, maka bisa dijawab: “Sesungguhnya Aku dekat” karena orang yang dekat dengan pembicara akan mendengarkan ucapannya.

Ketika mereka bertanya kepada nabi bagaimana cara kami berdoa kepada Allah, apakah dengan suara keras atau pelan?, maka bisa dijawab: “Sesungguhnya Aku dekat”.

Ketika mereka bertanya kepada nabi, apakah Allah memberikan apa yang kami minta melalui doa? maka jawaban ini ini juga bisa digunakan. Ketika mereka bertanya kepada nabi, apakah ketika kami berdosa Allah menerima taubat kami?, jawabannya juga bisa dengan “Sesungguhnya Aku dekat”, dalam arti: “Aku mengawasi mereka dan mengampuni mereka serta menerima taubat dari mereka. Maka jawaban ini valid dan cocok untuk semua ragam pertanyaan”. (ar-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib)

Jadi, ketika anak kecil bertanya dengan polos, di mana Allah? Maka jawaban terbaik sesuai petunjuk ayat di atas adalah: “Allah itu dekat, Nak”. Setelah jawaban ini bisa diberikan tambahan penjelasan semisal berikut: “Allah mendengar doa-doa kita dan melihat apa pun yang kita lakukan sehingga kita harus tekun beribadah kepada-Nya, berbuat baik pada orang lain dan jangan berbuat jahat”.

“Jadi, ketika anak kecil bertanya dengan polos, di mana Allah? Maka jawaban terbaik sesuai petunjuk ayat di atas adalah: “Allah itu dekat, Nak”. Setelah jawaban ini bisa diberikan tambahan penjelasan…”

Tambahan semacam ini diperlukan agar si anak tidak memikirkan tentang Dzat Allah lagi, tetapi fokus pada amal baik yang semestinya dia lakukan. Ketika si anak bertanya, “Allah dekat tapi tidak terlihat ya?”, maka bisa kita iyakan pertanyaan itu dengan aman sebab memang Allah tidak dapat dilihat di dunia ini (Q.S. al-An’am: 103).

Efek jawaban ini akan membuat si anak selalu mengingat Allah dan ia tidak akan berpikir bahwa Allah secara fisik ada di mana-mana (bertempat di semua tempat) tetapi di saat yang sama Allah itu satu, sebab pemikiran sesat semacam ini terlalu rumit bagi nalarnya yang sederhana. Nalarnya akan mengabaikan kerumitan ini dan hanya fokus pada kesimpulan sederhana bahwa Allah itu ada dan selalu mengawasinya.

Ketika si anak sudah semakin besar, maka wajib bagi orang tuanya untuk menjelaskan penjelasan akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang tepat dan komprehensif bahwa Allah wujud tanpa bertempat. Wallahua’lam.

* Ust. Abdul Wahab Ahmad (pengurus MUI Jatim, peneliti Aswaja NU Center Jatim, dosen IAIN Jember); disadur dari status Facebook tanggal 11 September 2021.
You May Also Like

Bacaan dan Tata Cara Bilal Shalat Jumat (Panduan Singkat)

Dalam pelaksanaan shalat Jumat, bilal atau muraqqi mempunyai peran yang penting. Bilal…

Makna ar-Rahman & ar-Rahim Secara Bahasa, Istilah, dan Kalam

Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang…

Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir

Adapun soal penentuan bilangan dan lafaznya, maka sebenarnya sama saja bisa ditentukan…

Nasihat Mewujudkan Pernikahan yang Maslahah

Pernikahan itu sakral. Allah Swt menyebutnya sebagai “mitsaqan ghalidza” alias perjanjian yang…