Dalam Kajian Spesial Awal Tahun yang digelar di masjid Nurul Hayat Surabaya Rabu (5/1) kemarin, Buya Arrazy Hasyim menjelaskan tentang awal mula terjadinya ikhtilaf atau khilafiyah dalam Islam. Dijelaskan Buya, khilafiyah sudah terjadi sejak Nabi Muhammad saw masih hidup.
Kajian bertema “Khilafiyah: Mengapa Terjadi dan Bagaimana Menyikapi” ini dimoderatori oleh figur yang juga alim di bidangnya, yaitu Ustadz Ma’ruf Khozin. Beliau merupakan Direktur Aswaja Center NU Jatim dan pengurus MUI Pusat.
“Jangankan setelah kewafatan Nabi saw, semasa hidup beliau saja sudah terjadi khilafiyah,” ungkap pendiri Ribath al-Nouraniyah Ciputat Tangerang Selatan tersebut.
Buya Arrazy lantas menguraikan contoh-contoh khilafiyah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Berikut rangkuman kajiannya.
Ikhtilaf yang Terjadi di Era Nabi saw
Suatu ketika, Nabi saw mengutus diplomat untuk menemui Bani Quraizah, suku Yahudi di Madinah yang paling maju saat itu. Nabi saw berpesan, “Jangan kamu shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah!”
Di tengah perjalanan, sebelum rombongan sampai di wilayah Bani Quraizhah, ternyata matahari hampir terbenam. Padahal mereka belum melaksanakan shalat ‘Ashar. Saat itulah muncul khilafiyah atau perbedaan pendapat di antara rombongan.
Pihak pertama dari para sahabat memahami perintah Nabi saw agar rombongan bergegas ke Bani Quraidzah sehingga bisa melaksanakan shalat Asar di sana. Oleh karena itu apabila tidak memungkinkan, rombongan bisa salat ‘Ashar di mana saja di tengah perjalanan. Sedangkan pihak yang kedua berpendapat bahwa apa yang dikatakan Nabi saw tidak boleh diubah. Tidak boleh dipahami lain, atau keluar dari perkataan Nabi saw. Kelompok yang berpemahaman terakhir ini dikenal dengan tekstualis atau lafdziyyun.
Kisah ini tercantum dalam kitab hadis Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Nasa’i bahkan mengumpulkan riwayat lebih banyak lagi. Maka berdasarkan kisah atau riwayat hadis ini, ikhtilaf atau perbedaan pendapat adalah hal yang ‘masyru’ (sesuai dengan syariat) sejak zaman Nabi saw. Ikhtilaf itu merupakan sunnatullah, sudah disyariatkan, dan kenyataannya memang begitu. Sekali lagi, terjadinya ikhtilaf bukan terjadi setelah kewafatan Nabi saw, melainkan sudah sejak era beliau hidup.
Baca juga: Poin-Poin Kajian Buya Arrazy Hasyim PW Rijalul Ansor Jatim
Ikhtilaf di Zaman Nabi Tapi Muncul di Era Sahabat
Maksudnya, sumber khilafiyah berasal dari Nabi saw, tetapi terjadinya ikhtilaf terjadi setelah Nabi saw wafat.
Nabi Muhammad saw tidak minum kecuali dengan duduk. Tetapi suatu ketika, sayyidina Ali kwh minum air zam-zam sambil berdiri. Kemudian Ali kwh berkata bahwa beliau pernah melihat Nabi saw minum air zam-zam sambil berdiri. Oleh karena itu, menurut orang Madinah, minum dengan berdiri diperbolehkan. Dan orang Madinah biasa minum dengan berdiri, namun dimakruhkan untuk makan sambil berjalan. Fakta ini didapat Buya Arrazy ketika beliau pergi ke sana dan menanyakan hal tersebut ke salah seorang koleganya yang asli Madinah.
Contoh lain, dalam hadis Abu Dawud, sahabat Abdullah bin Umar r.a. pernah mengintip Rasulullah saw dari atap, dan menyaksikan Nabi saw buang air kecil sambil berdiri. Padahal dalam hadis lain, sayyidah Asiyah r.a. mengatakan bahwa orang yang mengatakan Nabi saw buang air kecil sambil berdiri maka dia dusta.
Apakah dua kesaksian tersebut bertentangan? Tidak. Ha ini karena Aisyah tidak pernah melihat Nabi saw buang air kecil dengan berdiri. Perlu diketahui, Nabi Muhammad saw adalah orang Arab pertama yang membuat toilet di dalam kamar. Karena itu harus dipahami bahwa perilaku Nabi saw saat di dalam rumah (dakhilul bait)—yang mana hanya istri-istri Nabi saw yang mengetahui—bisa jadi berbeda dengan perilaku di luar rumah (kharijul bait).
Ketika berada di dalam rumah, Nabi saw selalu buang air kecil dengan jongkok. Sementara ketika di luar rumah, Nabi saw lebih fleksibel. Dengan demikian, toilet berdiri seperti di bandara diperbolehkan, meski hal ini bukan pembenaran. Namun meski toilet di bandara hukumnya diperbolehkan, ada satu sunnah yang hilang, yaitu mencari tempat sepi yang sekiranya tidak dilihat orang saat buang air kecil.
Ada lagi contoh lain. Perbedaan ini masih antara sahabat Abdullah bin Umar r.a. dengan Sayyidah Aisyah r.a.. Abdullah mengatakan bahwa batal salat seseorang apabila di depannya ada anjing, himar, dan perempuan yang melewati. Namun Aisyah tidak terima dan memprotes Abdullah. Sayyidah Aisyah menganggap Abdullah bin Umar menyamakan perempuan dengan anjing dan himar. Maka di hadis lain, dalam Sahih Bukhari dan Muslim, Sayyidah Aisyah mengatakan, “Rasulullah salat, aku di depannya, dan aku sedang haid.”
Berarti tambahan lafal ‘wan-nisa’ (dan perempuan) yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar mengandung dua kemungkinan. Pertama, perkataan tersebut bukan hadis, dalam arti merupakan tambahan redaksi dari Abdullah bin Umar. Dan kemungkinan kedua, hadis riwayat Abdullah bin Umar tersebut mansukh (dihapus). Tetapi hampir tidak mungkin hadis dimansukh. Sehingga yang paling mungkin, redaksi ‘wan-nisa’ tersebut bukan hadis, melainkan merupakan tambahan dari Abullah bin Umar.
Baca juga: Memahami Peta Radikalisme Islam: Sebuah Panduan Singkat
Ikhtilaf di Era Sahabat (Setelah Kewafatan Nabi saw)
Contoh yang terkenal tentang khilafiyah di era sahabat adalah perbedaan pendapat antara Sahabat Abu Bakar r.a. dengan Umar r.a. untuk membukukan al-Qur’an.
Suatu ketika, Umar r.a. mendatangi Khalifah Abu Bakar r.a. guna menyampaikan kekhawatirannya atas keputusan Sang Khalifah yang mengirimkan para hafidzul Qur’an ke medan perang. Umar khawatir, apabila para huffadz tersebut gugur maka al-Qur’an bisa hilang. Oleh karena itu beliau meminta Khalifah untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an ke dalam satu mushaf.
Abu Bakar menjawab, “Apakah kamu akan melakukan sesuatu yang Rasulullah saw tidak pernah lakukan?”
Abu Bakar menganggap, mengumpulkan al-Qur’an merupakan ‘apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah’. Dengan perkataan tersebut, Abu Bakar, awalnya, menganggap bahwa definisi bid’ah adalah ‘apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah’.
Meski demikian, Abu Bakar masih bersedia untuk diajak dialog. Umar, yang mengajaknya dialog, memberikan argumentasi kuat tentang pentingnya pembukuan al-Qur’an. Abu Bakar pun menerima argumentasi Umar. Lantas beliau berkata, “Allah melapangkan dadaku.”
Meski Abu Bakar termasuk orang yang ketat terhadap bid’ah, namun beliau tidak saklek dengan pemahamannya. Beliau mau berdialog, dan akhirnya menerima argumentasi demi maslahah yang lebih besar. Argumentasi atau apa yang dibicarakan Umar, oleh orang sekarang, diistilahkan dengan mashalihul mursalah.
Bagi Umar, suatu perkara bisa dikatakan bid’ah apabila tidak ada maslahatnya. Pendapat ini sebenarnya diambil oleh Ibnu Qayyim—salah satu ulama rujukan utama kelompok salafi-wahabi. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “kullu maslahatin dinun”. Artinya, setiap maslahat adalah agama. Tetapi faktanya, perkataan itu sebatas teori saja. Sebab dalam praktiknya, banyak perkara yang dibid’ahkan oleh Ibnu Qayyim—padahal ada manfaatnya.
Sebenarnya, andaikata Ibnu Qayyim berumur panjang, bisa jadi ia insaf dari pemahaman tersebut (red). Ibnu Qayyim pernah lama berpolemik dengan kaum sufi, kemudian ia insaf dan justru menjadi seorang sufi. Kemudian ia berpolemik dengan kalangan Syafi’iyah. Namun sebelum polemik selesai, Ibnu Qayyim keburu meninggal.
Walhasil, orang yang berbeda pemahaman, tapi kalau mau berdialog maka akan muncul tafahum atau saling memahami. Selevel Abu Bakar saja masih perlu untuk diajak dialog, apalagi yang levelnya jauh di bawah Abu Bakar r.a..
Orang yang sudah khatam membaca hadis, ia biasa melihat khilafiyah. Sebab, perbedaan pendapat tidak hanya terjadi di kalangan para ulama, tetapi sudah terjadi sejak Nabi saw masih hidup.
Seusai Buya Arrazy menyampaikan topik yang pertama, Ustadz Ma’ruf Khozin yang menjadi moderator mengomentari dengan sebuah ungkapan dari Imam Syafi’i dalam kitab Hilyatul Auliya’:
اذا رأيت رجلا من أصحاب الحديث, فكأني رأيت رجلا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Ketika aku melihat seorang ahli hadis, seakan-akan aku melihat salah seorang sahabat Nabi saw.”
Demikian rangkuman topik pertama dari kajian yang disampaikan Buya Dr. Arrazy Hasyim, MA bersama KH. Ma’ruf Khozin. Rangkuman ini merupakan transkrip yang diedit agar lebih mudah dibaca, insyallah dengan tanpa mengubah substansi materi. [Bersambung]
(Androw Dzulfikar)