Salah satu bentuk ibadah yang dilaksanakan pada momen Idul Adha adalah penyembelihan hewan kurban. Proses penyembelihan ini dapat dilakukan sampai akhir hari tasyrik (tanggal 13 Dzulhijah). Daging-daging hewan yang sudah disembelih kemudian dibagikan kepada orang yang tidak mampu. Namun, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat: apakah boleh berkurban untuk orang-orang yang sudah meninggal?

Menurut mayoritas ulama fikih yang bermazhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki serta sebagian dari ulama mazhab Syafi’i, berkurban untuk mayit diperbolehkan secara mutlak. Pahala kurban tersebut dapat sampai kepada mayit dengan izin Allah Swt.

Hanya saja, menurut ulama mazhab Maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah Swt sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji.

Akan tetapi ulama mazhab Hanbali justru berpendapat bahwa kurban untuk orang yang sudah meninggal lebih utama dari pada kurban untuk orang yang masih hidup. Sebab orang yang sudah meninggal sangat membutuhkan kiriman pahala.

Pendapat mereka ini berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِكبش لِيُضَحِّيَ بِهِ، فأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

Artinya:“Rasul saw dibawakan seekor domba (kibas) yang akan dijadikan kurban. Kemudian Rasul saw membaringkan domba itu, lalu menyembelihnya. Pada saat akan menyembelih, beliau berdoa: ‘Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, terimalah kurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.”

Sebagaimana diketahui, sebagian umat Rasul saw ada yang sudah meninggal dunia. Rasul Saw telah menjadikan pahala kurban itu untuk seluruh umatnya (baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup). Dengan demikian, berdasarkan hadis ini, berkurban untuk mayit diperbolehkan.

Sedangkan menurut Abu al-Hasan al-Abbadi, berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

Pendapat beliau dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:

وَأَمَّا التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

Artinya: “Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedangkan sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma para ulama.

Pendapat Abu al-Hasan al-Abbadi ini kemudian didukung oleh Imam al-Rafi’i. Beliau juga menyatakan bahwa kurban untuk orang yang sudah meninggal merupakan bagian dari sedekah. Beliau memperkuat pendapatnya ini dengan riwayat Abu al-Abbas al-Siraj (salah satu guru Imam Bukhari), bahwasanya beliau mengkhatamkan al-Qur’an untuk Rasul saw yang sudah meninggal dunia sebanyak lebih dari sepuluh ribu khataman. Kemudian, beliau menyembelih kurban untuk Rasul saw sesuai dengan jumlah khataman itu.

Selain itu, Imam Nawawi juga menukil pendapat dari Imam al-’Abbadi dan beberapa ulama lain yang membolehkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal. Pendapat mereka ini didasarkan pada riwayat dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib bahwasanya beliau berkurban dua domba (kibas) untuk Rasul saw dan dua domba (kibas) untuknya. Beliau berkata: “Sesungguhnya Rasul saw memerintahku untuk berkurban untuknya selamanya, maka aku pun berkurban untuknya selamanya.”

Sedangkan Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh beliau dalam kitab Minhaj al-Thalibin :

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

Artinya: “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seizinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.”

” … jika ada pendapat yang membolehkan, maka tidak masalah mengambil pendapat yang memperbolehkan tersebut.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban untuk orang yang meninggal dunia. Ada yang membolehkan, ada pula yang melarangnya. Namun, jika ada pendapat yang membolehkan, maka tidak masalah mengambil pendapat yang memperbolehkan tersebut. Tidak perlu mengambil pendapat yang susah. Ambil yang mudah saja. Gitu aja kok repot. Wallahu A’lam. (*)

Oleh: Ust. Afrizal el-Adzim Syahputra (Pengasuh PPM Raden Paku Trenggalek dan Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Tulungagung.

*

Referensi:

  • Abu Zakaria Al Nawawi, al Majmu’ Syarh al-Muhadzzab
  • Fatawa Da>r al-Ifta’ al-Misriyyah
  • Abu Zakaria Al Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muttaqin
  • Mustafa bin Sa’d al-Hanbali, Mathalib Ulin Nuha Fi Sharh Ghayah al-Muntaha

Baca juga:

Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Bacaan dan Tata Cara Bilal Shalat Jumat (Panduan Singkat)

Dalam pelaksanaan shalat Jumat, bilal atau muraqqi mempunyai peran yang penting. Bilal…

Dalil Penentuan Jumlah Bilangan Bacaan Wirid atau Dzikir

Adapun soal penentuan bilangan dan lafaznya, maka sebenarnya sama saja bisa ditentukan…

Poin-Poin Kajian Buya Arrazy Hasyim PW Rijalul Ansor Jatim

Pengurus Wilayah (PW) Majelis Dzikir dan Shalawat (MDS) Rijalul Ansor Jatim kembali…

Makna ar-Rahman & ar-Rahim Secara Bahasa, Istilah, dan Kalam

Kaum muslimin Indonesia pada umumnya mengetahui makna ar-Rahman dan ar-Rahim sebagai Yang…