Oleh : Uswatun Khasanah
(santriwati PP. Darussalam, Sumberingin, Karangan)
“Diam!!”. Perintah itu mengiang di kepalaku. Mengeraskan tulang rusukku. Melunakkan bahuku. Aku tidak mengenali siapa dia. Parasnya tinggi semampai. Matanya berbinar ganas. Seluruh tubuhnya bersembunyi dibalik pakaian serba hitam bak seorang ninja yang kejam. Kejamnya hanya pada mereka yang berkawal jas dan berdasi. Yang membawa koper-koper besar dan diselundupkan. Suaranya…… Tunggu! Aku tidak salah dengar kan? Sepertinya, dia seorang wanita.
“Apa maumu???” sergahku sambil terus menerus keheranan memandangi sekitarku. Iya, tempat ini gelap sekali. Bahkan, sepertinya aku telah terjun ke lorong waktu yang tidak aku ketahui ini kapan dan dimana. Intinya, ini gelap. Nampaknya, rembulan sedang tidak bersahabat.
“Sudah kubilang diam!!!!” ketusnya lalu menarik tanganku. Mengajakku keluar dari tempat gelap itu. Tapi tetap sama, di luar juga gelap.
“Kau seorang dokter kan?” tanyanya menyelidik. Gila! Dia tau profesiku. Bahkan dia tau siapa aku.
“Dokter Baihaqi!!! Saya sedang bertanya pada anda…!!” bentaknya, ia mengeluarkan pistol lalu diatungkannya padaku. Aku yang tidak tau apa-apa langsung terkejut luar biasa.
“I…i….iya..” jawabku gagu. Aish, menambah malu saja.
“Bagus, ikut saya!” ucapnya kemudian memasukkan kembali pistolnya. Aku sedikit menghembus nafas lega. Terimakasih Tuhan!
Melihatku lega, sepertinya ia tidak terima. Ia langsung menatap tajam wajah konyolku dengan wajahnya yang masih berbalut cadar. Aku kembali kikuk. Ninja jenis apa ini gusti?? Aku pun langsung mengikutinya. Berjalan menunduk layaknya seorang babu di belakangnya. Tiba-tiba…
“Dor! Dor! Dor! Dor!”. Empat kali senapan gila itu diluncurkan, sudah delapan orang dengan kostum layaknya drama action bergeluntungan. Nampak jelas, kedelapan orang itu memiliki niat yang lebih jahat. Masih dengan jas mereka yang berlumuran darah, koper-koper besar dan senjata api yang tergenggam, gadis itu mengobrak-abrik semua yang dibawa mereka. Kemudian, ia membuka salah satu koper itu. Isinya…
“Sudah kuduga, kalian adalah tikus-tikus berdasi yang mencoba melenyapkan seekor anak serigala. Kalian hanya bunuh diri!” gumam gadis itu dengan tangannya yang mencoba merapikan lembaran nominal.
“Pegang ini! Semua ini adalah milik rakyat!!” ucapnya sambil melempar koper-koper besar itu padaku. Aku tak bisa menolak. Dengan wajah pringisan, kubawa koper-koper itu dengan susah payah. Ternyata, harta ini berat juga!
“Dimana ini? Mengapa disini makin gelap saja?” tanyaku saat perjalanan sudah hampir menguras peluh. Entah sampai mana aku akan mengikutinya. Dia hanya diam. Mungkin sudah lelah menjawab pertanyaanku.
“Kau mau membunuhku ya??” tanyaku sedikit membentak. Dia pun berhenti. Aku gemetar.
“Apa kau lelah?”. Aku heran mendengarnya. Tanpa terjawab, ia langsung memberhentikan perjalanan dan memutuskan untuk beristirahat di tempat super serem itu. Ya, nampaknya ini hutan belantara. Dia menyahut koper yang sedari tadi kubawa. Lalu menaruhnya begitu saja. Sigap, ia menarik senapan kerennya. Sontak aku terkejut.
“Eh..!!!”. “Tenanglah, aku tidak akan membunuh seekor kelinci sepertimu..” ungkapnya santai. Aku yang tak sabaran langsung naik pitam. Kusahut pistol yang dipegangnya. Namun, ia berhasil mengelak. Ia lemparkan pistol itu keatas sampai berputar-putar menyaingi tingginya pohon rotan di belakang kami. Dan mendarat begitu sempurna di tangannya. Sekejap..
“Dor!”. Gadis itu membunuh lagi. Tapi, aku tidak tau apa ataupun siapa yang di bunuhnya. Ia melihatku.
“Kau lapar kan?” Pertanyaan itu pas sekali dengan bunyi perutku.
“Cepat ambil!” perintahnya sambil menunjuk kearah tembakan tadi. Aku yang tak bisa melawan, langsung menuju tempat itu. Dan…..luar biasa!! Aku menemukan seekor kijang gendut yang terkena luka tembak. Baiklah, kuakui dia adalah seorang penembak yang hebat.
Aku membawa hewan itu padanya. Belum apa-apa, baru juga ditinggal sebentar untuk mengambil buruan, eh eh ternyata, dia sudah menyiapkan kobaran api untuk memanggang. Pantas. Dari jarak kejauhan, nampak kepulan asap dan cahaya buram.
“Dari mana kau berasal?” Aku terhenyak mendengar pertanyaannya.
“Bukankah kau tau namaku dan apa pekerjaanku? Mengapa kau tanyakan aku darimana?”
“Baiklah…., kau cukup memaksa. Aku memang tau. Kau dari kota kecil yang berpindah ke kota besar bahkan negara lain hanya untuk mengobati sedarah raja kan?”
Aku mengamati tebakan mautnya.
“Apa maksudmu?”
“Hahaha, makanya jawab saja pertanyaanku!” ucapnya berseling tawa. Ia membolak-balikkan daging kijang yang hampir matang itu.
“Aku orang Trenggalek, sekarang aku tinggal di Perancis. Kau tau? Aku adalah dokter yang hebat!” ucapku sedikit menyombongkan diri. Tapi…..sebentar, kalimatku cukup mirip dengan apa yang baru saja dia katakan. Aku menepuk lirih mulutku. Gila! Siapa sebenarnya orang ini? Kenapa di bisa tau semuanya..?
“Kau peramal ya??” tanyaku dengan nada tinggi. Dia hanya tertawa geli.
“Sudah diam! Makan saja ini!!” ucapnya sambil menjejal mulutku dengan daging kijang tanpa bumbu itu. Enak juga, ada manis-manisnya dan pahit-pahitnya. Agak gosong soalnya.
Perut sudah terisi, beban nambah lagi. Iyalah! Beban kenyang. Kami pun melanjutkan perjalanan. Hingga tibalah di sebuah tempat yang nampak tidak asing bagiku. Sebuah goa. Ini seperti Goa Brongkah! Iya!! Mirip sekali. Atau mungkin aku hanya sedikit rindu pada Bendungan? Tempat lahir yang dingin, dan seperti negeri diatas awannya Trenggalek.
“Hey…! Sebenarnya ini dimana? Kenapa malam tidak segera berhenti? Kapan paginya?” ungkapku sambil menaruh koper itu. Ya, aku sedikit berteriak. Karena dia sudah ada di dalam goa itu. Tentu saja, suasananya masih sama. Gelap.
“Masuklah! Atau kau akan dimakan harimau!” ungkapnya. Aduh, perempuan ini memang benar-benar aneh! Dia membuat bulu kudukku merinding. Kan nggak lucu kalau dokter yang parakteknya sampai negeri orang, tewas dimakan harimau. Bisa berabe kalau jadi breaking news. Aku pun masuk.
Di dalam, aku tidak nampak pemandangan goa. Tapi, ini seperti rumah sederhana. Rapi, unik, dan menarik. Aku melihat sebuah meja kecil yang penuh lembaran-lembaran kulit tipis. Ah, aku seperti kembali ke zaman purba saja. Aduh, aku jadi berfikir bagaimana aku bisa sampai sini dan bagaimana aku akan kembali?
Aku menemukan sesuatu! Ya. Nama gadis gila itu! Nhuzara Hayra. Oke, mungkin aku bisa memanggilnya Zara.
“Jangan bertindak seenaknya di rumah orang! Sembarangan..” ucapnya sambil menyahut lembaran yang kupegang.
“Kau juga seenaknya padaku! Darimana saja kau?” ucapku sedikit menahan marah. Ia pun menyimpan lembaran itu, lalu duduk di dekatku. Aku bergeser sedikit.
“Aku baru saja melaksanakan ibadahku.”
Aku terkekeh mendengarnya.
“Hahahaha… Apa?? Ibadah? Hahahaha!! Kau itu pembunuh, bagaimana mungkin Tuhan akan menerima ibadahmu, sedangkan kau berlumur dosa?”
“Dosa?”. Dia menatapku.
“Hey kelinci! Beraninya kau bawa-bawa dosa. Coba fikir! Apakah kau yang tidak pernah menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya tidak termasuk berdosa?”
Deg!! Serasa batu besar di goa itu menghantamku. Benar, aku sudah melupakan ibadahku. Duh, bagaimana lagi? Aku sangat sibuk bekerja. Apalagi saat di Paris. Aku langsung menunduk mendengarnya. Dalam hati aku bergumam, “Gadis itu……Dasar serigala!”
“Sudah, tidurlah! Besok kau harus ikut aku..!” ungkapnya sembari meninggalkanku.
“Apa? Ikut denganmu? Mau kemana lagi kita?” tanyaku sebal.
“Kau dokter yang hebat kan?”
“Tentu saja!”
“Baiklah, besok ikutlah jika tak ingin mati!”
Aduh biyuuungg!! Aku tak bisa menolaknya lagi.
Keesokan harinya, duh gusti! Aku tidak merasa fit sama sekali. Ini malam! Kenapa hari masih saja malam? Dan gadis itu seudah bersiap seperti baru bangun tidur. Aku masih saja bertanya-tanya.
“Kenapa tidak ada pagi?”
“Kau sedang berada di negeri malam! Jadi jangan macam-macam! Ambil koper-koper itu, lalu ikutlah denganku!” ucapnya ketus. Aih, lebih baik dia jadi lelaki saja jika sikapnya sedingin itu.
Aku masih terus mengikuti langkahnya. Hingga tibalah kami di sebuah desa. Oh Tuhan! Desa ini….meskipun gelap aku seperti sudah mengenalinya! Ini mirip seperti desa Botoputih! Fikiranku terngiang ke Trenggalek lagi. Duh Bapak!! Aku pingin muleh wae!!
Pandanganku kembali teralih pada gadis hebat tapi aneh yang sedang berada di depanku. Ia membagi-bagikan isi koper-koper besar itu pada masyarakat sampai habis tak tersisa. Melihat itu, aku agak miris. Pasalnya, masyarakat nampak senang dengan apa yang telah dilakukan Zara. Bagi mereka, Zara adalah pahlawan yang tak tertandingi.
“Apa mereka tau, bahwa ini adalah hasil rampasanmu?” tanyaku sebal.
“Tau. Mereka tau ini adalah hasil rampasanku atas hak mereka.”
“Dasar serigala!” umpatku seenaknya.
“Dan kau Kelinci!! Hahaha!” balasnya diselingi tawa di balik cadarnya.
“Sebenarnya apa pekerjaanmu?”
“Pekerjaan?”
“Ya!”
“Emhh….apa ya?? Pembunuh!”
“Hahahaha!!” aku tertawa lepas saat mendengar hal itu. Entah kenapa, sebelumnya aku tidak bisa tertawa selepas ini.
“Ayo cepat! Aku sudah selesai. Giliran tugasmu sekarang. Obatilah mereka yang butuh obat. Tangani mereka yang harus segera ditangani!”
“Apa??”
“Kenapa?? Kau merasa jijik pada mereka? Atau kau takut tak dibayar seperti pasienmu yang ningrat itu?” aku terbelalak mendengarnya. Rasanya aku ingin tobat. Tak lagi mengulangi hal yang bodoh itu. Ya, keegoisanku. Aku hanya mau mengobati pasien yang ningrat saja. Kini, aku benar-benar menyesal. Apalagi, Zara yang terus menyundirku sedari tadi.”
“Baiklah…” ungkapku sambil melangkah gontai. Aku pun mulai memeriksa mereka.
Usai menjalankan tugas sebagai seorang dokter di desa yang masih menjadi tanda tanya besar ini, aku dan Zara beristirahat di sebuah gubuk kecil. Disana, ada beberapa anak yang sedang asyik bermain. Aku tersenyum puas hari ini. Entah mengapa, aku sangat bahagia.
“Melihat anak-anak itu, kau seperti kembali terlahir!” ungkap Zara.
“Kau benar. Aku benar-benar merasa kedamaian hari ini. Setelah menangani pasienku, aku seperti terhipnotis dan ingin melakukan yang terbaik untuk mereka…”
“Itulah jiwa seorang dokter yang sesungguhnya..”
Aku tersenyum. Nampak dari binar matanya, Zara juga ikut tersenyum. Aduh, kenapa aku senang saat melihatnya seperti itu? Iya, sejak aku mengetahui namanya, aku begitu penasaran dengan tabiat aslinya. Aku…….aku mulai suka padanya.
“Dor! Dor!”. Tiba-tiba saja suara itu mengganggu. Iya, sangat mengganggu. Masyarakat desa menjadi gaduh. Mereka sangat ketakutan. Zara, gadis serigala, atau siapapun kalian menyebutnya, langsung bertindak menangani mereka. Berbekal pistol dan tubuh elastisnya, ia meringkukkan beberapa preman berdasi itu. Namun nampaknya, mereka makin banyak saja.
“Cepat selamatkan warga!!!” teriaknya padaku. Sontak, aku langsung mempertegas penampilan. Kemudian berlari menuju rumah-rumah. Mengajak mereka semua untuk berlindung di tempat yang aman. Dalam hal ini, aku samasekali tidak merasa lelah. Ya, aku tidak merasa lelah. Aku justru merasa sangat bahagia bisa membantu mereka. Namun, disisi lain aku merasa cemas dan takut, aku tidak pernah menghadapi situasi genting semacam perang seperti ini.
Sampai sekarang, aku tidak melihat Zara. Padahal rasa-rasanya, keadaan sudah mulai normal. Gusti! Aku khawatir pada serigalaku!
Aku pun memberi arahan pada warga, ketika keadaan sudah benar-benar aman, mereka harus kembali dan beraktifitas seperti biasa. Jangan sampai.
Di lorong yang begitu panjang, gelap, dan tak berujung, aku berlari menyusuri waktu. Aku takut terjadi sesuatu Zara. Setiap ada kawanan preman berdasi itu, aku langsung bersembunyi. Iya, aku melawan mereka dengan taktik sembunyi lalu serang. Menurutku itu cara paling aman untuk melawan penjahat seperti mereka di lorong gelap seperti ini.
Aku pun melanjutkan perjalananku. Aku terus melihat sekeliling, siapa tau pembunuh yang nyatanya mulai kusukai itu sedang bermimikri dengan keadaan. Sebab pakaiannya juga serba hitam. Tapi, sampai aku lelah, tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa ia ada di sekitar sini. Aku mulai putus asa. Kubalikkan badanku untuk kembali pada warga. Namun,
“Dokter!!” suara itu memanggil. Iya, aku yakin itu Zara. Serigalaku.
“Zara??” ucapku lalu membalikkan badanku ke arahnya. Nampak ia sedang bersama seorang anak perempuan. Dia datang dengan sorot mata yang serius. Menyimpan kesedihan dan kekhawatiran. Dia berlari padaku. Tanpa kuduga, dia langsung memelukku dengan erat. Aku pun perang batin sekarang.
“Tidak! Jangan balas memeluknya bodoh!!” batinku sambil terus menahan tanganku yang mulai gemetaran.
“Kenapa kau memelukku?? Dasar serigala!! Aku bisa kehilangan jantungku jika seperti ini!” aku terus mengatai diriku, selagi jantungku benar-benar seperti mau terbang.
“Aku akan benar-benar menyukaimu jika seperti ini!!” batinku terus berperang. Pelukannya makin erat saja. Namun akhirnya, aku tetap ingin membalas pelukan hangat itu. Saat tanganku hampir mencapai,
“Dor!!” suara tembakan besar itu nyaring. Tidak! Ini tidak mungkin!! Zara sedang melindungiku. Iya! Dia sedang melindungiku dari peluru yang ganas itu. Tuhan! Dia….dia benar-benar tertembak sekarang. Sedangkan penembak itu, tiba-tiba jatuh tersungkur. Mati terkapar. Sebab sepertinya, dia sudah memiliki luka tembakan yang para. Terlihat tubuhnya berlumuran darah. Dan Zara, dia pun mulai berlumuran darah.
“Kita berhasil….” ungkapnya sebelum kami jatuh bersama.
“Kau harus bertahan! Aku akan mengobatimu..” ucapku sambil memangkunya. Aku mulai menahan air mata.
“Hey kelinci, jangan bertindak bodoh…selamatkan anak itu!” sergahmya dengan nada lemah.
“Apa kau sudah gila? Aku seorang dokter! Dasar serigala bodoh! Bagaimana mungkin aku akan membiarkan seseorang sekarat di depan mataku??” air mataku mulai berderai. Dia pun berkaca-kaca. Aku melanjutkan kalimatku,
“…apalagi, dia adalah orang yang aku sukai!” lanjutku. Dia mengalirkan air matanya. Lalu tiba-tiba bangkit, menjauh menahan lukanya. Dan aku tidak bisa memahami, entah darimana mereka berasal. Ya, ada dua harimau yang muncul tanpa sebab. Aku tidak berani mendekat. Nampak jelas, mereka menjemput Zara.
“Aku harus pergi…” ungkapnya makin menjauh.
“Kau berhasil menuntunku ke hidayah sebenarnya dengan senjata apimu, kaulah pembunuh hitam yang berhasil menjatuhkan jantungku. Bagaimana jika aku merindukanmu? Bagaimana jika aku akan terus menerus menyukaimu? Bagaimana jika….”
“Dokter!!”
Aku terdiam.
“Kita pasti akan bertemu..” ungkapnya kemudian menghilang bersama kedua harimau itu. Aku hanya bisa memeluk anak kecil tadi. Menyamai suaranya menangis. Tangis yang merupakan kesedihan yang mendalam. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara dering yang keras. Makin keras, dan sangat keras. Itu….
“Zara!!” teriakku. Oh tuhan! Sekarang, aku masih berada di kamar apartemenku. Di atas kasur empuk dan masih berseragam dokter. Teringat, tadi aku ketiduran. Dan baru saja aku bermimpi.
“Huhh….mimpi yang panjang!” ungkapku sambil menggaruk-garuk kepala. Kuambil hp yang sedari tadi berdering itu. Aish, asisten menelepon.
“Ada apa?”
“Ada pasien yang butuh penanganan segera Dok.. Orang penting!”
Aku teringat mimpi panjangku.
“Minta saja dokter yang lain! Lalu siapkan tiket! Aku ingin pulang…”
“Tapi Dok…”
“Banyak masyarakat desa kecil di Trenggalek yang membutuhkan pengobatan..” lanjutku.
“Oh iya, siapkan penerbangan sesudah subuh..” tambahku.
“Kenapa begitu Dok?”
“Aku mau sholat berjamaah dulu..”
Aku menutup telepon. Dia juga sudah setuju untuk menyiapkan tiketku. Iya, aku harus segera pulang. Mungkin mimpi tadi bukan sekedar bunga tidur. Namun sebagai kartu kuning. Dan aku harus segera memperbaikinya sebelum menjadi kartu merah.
Segera kupersiapkan semuanya. Saat aku hendak mengambil nerkas di meja dekat pintu kaca. Seseorang datang di kamar sebelah. Dia…..dia adalah seorang gadis, dan…dia bercadar! Iya! Dia bercadar! Matanya…..matanya itu! Aku mengenalnya!
“Zara??” gumamku. Dia menatapku sebentar. Di balik cadarnya itu, kuyakin dia tersenyum. Sorot matanya membuatku terpaku. Lalu ia menunduk sembari masuk. Aku menampar mukaku sendiri, dan itu sakit. Jelaslah, ini bukan mimpi. Tapi batinku terus menggumam,
“Apa aku kembali lagi negeri malam?”
(MNi)
1 comment
You could certainly see your skills within the work you
write. The sector hopes for even more passionate writers like
you who are not afraid to say how they believe.
All the time follow your heart.