Sebuah beduk besar yang indah menyita perhatian saya saat mengunjungi Masjid Jawa di Bangkok. Masjid yang didirikan pada tahun 1905 ini adalah masjid tinggalan para pemukim berdarah Jawa di Bangkok. Arsitekturnya menyerupai masjid-masjid Nusantara, begitu pun tradisi yang dihidupinya.

Pak Abu, salah seorang pengelola masjid, mengisahkan bahwa beduk tersebut dibawa di tahun 1930-an. “Dulu juga ada kentongan kayu yang cukup besar. Sayangnya kentongan tersebut rusak sehingga sekarang hanya ada beduk besar itu.”

Menyebut beduk dan kentongan, ingatan saya spontan melayang kepada kisah favorit Gus Dur tentang perbedaan pendapat yang tajam antara Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dari Jombang dan KH Faqih Maskumambang dari Gresik, Jawa Timur, di awal tahun 1900-an. Keduanya adalah ulama berpengaruh besar, dan menduduki jabatan terhormat sebagai Rais Akbar dan Wakil Rais Aam Nahdlatul Ulama.

Kiai Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa kentongan tidak dapat digunakan menjadi pewarta masuk waktu shalat, dengan dasar tidak ditemukannya dalil yang mendukungnya. Kiai Faqih, sebaliknya, menyatakan bahwa kentongan boleh saja digunakan, dengan qiyas (disamakan) terhadap beduk yang juga digunakan untuk fungsi yang sama.

Sekiranya beliau berdua adalah tokoh-tokoh “zaman now” yang sedang mengejar posisi dan pengaruh, apa kiranya yang akan terjadi? Pasukan bot mungkin akan menyerbu lansekap media sosial dengan pertempuran antar #tagar di dunia maya. Aksi ratusan ribu pendukung mungkin akan berlangsung silih-berganti. Saling lapor ujaran penghinaan antarkelompok barangkali akan menyibukkan kantor-kantor polisi dan pengadilan.

Kala itu, Kiai Hasyim Asy’ari segera mengumpulkan para ulama di Jombang dan murid-murid seniornya. Bukan untuk meyakinkan hadirin akan kebenaran pendapatnya, tetapi justru mempersilakan untuk menentukan apakah akan menggunakan kentongan di masjid dan suraunya masing-masing. Kiai Hasyim hanya memberlakukan fatwa tersebut kepada pondok pesantrennya di Tebuireng, Jombang.

“Dari kedua ulama besar ini, kita belajar bahwa #belaagama dapat dilakukan dengan kebesaran jiwa, dengan saling menghormati pendapat yang berbeda, tanpa berpikir menang-kalah.”

Beberapa waktu setelahnya, Kiai Hasyim Asy’ari diundang memberikan ceramah di pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelum kedatangan beliau, Kiai Faqih mengutus beberapa santrinya berkeliling masjid dan surau di seputar Gresik, membawa pesan untuk menyimpan semua kentongan sebagai bentuk penghormatan selama Kiai Hasyim Asy’ari berada di Gresik.

Dari kedua ulama besar ini, kita belajar bahwa #belaagama dapat dilakukan dengan kebesaran jiwa, dengan saling menghormati pendapat yang berbeda, tanpa berpikir menang-kalah. Dan, bahwasanya, sikap saling menghormati adalah kearifan yang telah lama hidup dalam tradisi kepemimpinan dan kehidupan bersama kita.

Howard Gardner dalam bukunya 5 Minds for the Future menyebutkan, respecting mind adalah salah satu keterampilan berpikir yang terpenting di zaman global. Teknologi informasi dan transportasi membawa arus perjumpaan antarkultur dan ideologi yang deras dan cepat. Keberagaman menjadi sebuah keniscayaan, dan pada saat yang sama, menciptakan kegamangan dalam mempertahankan ideologi dan kultur kelompok. Sikap menghormati yang berbeda menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara keduanya. Menariknya, melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidak semudah mengucapkannya. Bahkan ia menjadi barang langka.

Di jalan raya, para pengemudi hanya menaati aturan karena tidak ingin ditilang polisi, bukan karena mereka menghormati kepentingan para pengguna jalan yang lain. Dalam hidup bertetangga, alih-alih menghidupkan semangat rukun agawe sentosa (rukun membawa sejahtera), bauran kepentingan politik praktis dengan agama menciptakan ketegangan antarrumah. Antarpejabat lembaga negara tidak bekerja sama dengan saling menghormati wewenang masing-masing, justru saling menegasikan kebijakan dan lembaga masing-masing. Para politisi saling umbar kelemahan lawannya untuk memenangi kekuasaan, melupakan sikap ksatria dalam pertempuran.

Memang sikap penghormatan kepada yang lain dan yang berbeda tampak sebagai hal yang sederhana, tetapi mengabaikannya sudah terbukti membawa kerusakan yang sistemik. Aturan serumit apa pun, instrumen sosial secanggih apa pun, hanya akan menjadi ritual mekanis belaka saat ia kehilangan nilai dasar penghormatan kepada yang berbeda. Akibatnya orang akan sibuk menuntut haknya sambil bersungut-sungut memenuhi kewajiban sebagai mandat hidup bersama. Tidak mencari titik temu, orang akan sibuk membangun dinding-dinding psikologis untuk melindungi kepentingannya dan kelompoknya.

Di tengah karut-marut kehidupan berbangsa saat ini, tidakkah kita merindukan teladan para pemimpin, seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Faqih Maskumambang?

Artikel ditulis oleh Alissa Wahid, salah seorang putri KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
You May Also Like

Dewi Yukha Nida, Qari Internasional dari Trenggalek

Ning Nida, demikian ia biasa dipanggil. Sapaan “Ning” kepadanya tidaklah berlebihan. Bukan…

Sejarah Tradisi Kupatan di Durenan Trenggalek: Dari Wali Songo hingga Mbah Mesir

Tradisi kupatan merupakan akulturasi budaya yang dilakukan oleh salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga. Tradisi kupatan yang sebelumnya adalah simbol yang dikenal

Mengenal Lebih Dekat Ketua PCNU Trenggalek KH. Fatchulloh Sholeh (Gus Loh)

KH. Muhammad Fatchulloh Sholeh adalah Ketua Tanfidziyah PCNU kabupaten Trenggalek. Di periode…

Sosok Mbah Anwar, Cikal Bakal Pondok Al-Anwar Ngadirenggo

Sebelum berdiri madrasah pada 1992, Kiai Ghufron mengajar para santrinya di langgar atau musala kecil yang sudah terlebih dahulu berdiri.