Oleh: Misbahus Surur*
Dalam rangka pra muktamar NU di Lampung, 21-25 Desember 2021, TVNU program “Peci dan Kopi” dengan host Ahmad Rozali menghadirkan talkshow menarik dengan tamu Kiai Yahya Cholil Staquf (GusYahya). Dalam acara tersebut Ahmad Rozali membahas pandangan Gus Yahya ihwal trajectory NU ke depan.
Saya sempat mencatat penjelasan Gus Yahya mengenai kontribusi besar Gus Dur dalam membangun NU, di antaranya: bahwa core of the core-nya adalah tidak terus menerus berpikir Islam terdiskriminasi, melainkan mulai mengubah cara pandang. “Dari melawan untuk menghancurkan yang lain, menjadi berkontribusi untuk menyempurnakan…”
Di pertengahan talkshow, Gus Yahya juga sempat sedikit bercerita ihwal perjalanan pemikiran keagamaannya. Gus Yahya mengatakan, bahwa andai tidak terkoneksi, secara pemikiran dan gagasan keislaman, dengan sosok Gus Dur, barangkali ia bisa saja sekarang menjadi eksponen kaum fundamentalisme Islam. “Saya ini dulunya tidak seperti ini. Kalau saya tidak berubah, mungkin saya sudah jadi FPI-lah…” kelakarnya.
Perjalanan senada, kita tahu, juga pernah dialami Gus Dur sendiri. Dalam sebuah tulisan dari Hairus Salim, saya pernah membaca bahwa Gus Dur, sebelum kuliah ke Timur-Tengah, pernah sempat bercita-cita hendak mendirikan cabang Ikhwanul Muslimin (IM)—organisasi fundamentalis kelahiran Mesir—di Indonesia. Tapi entah bagaimana saat menyaksikan langsung bagaimana perjuangan IM di tanah kelahirannya, Mesir, kekaguman Gus Dur terhadap IM pupus.
Di hari lain, masih di TVNU, dalam program yang sama, juga masih dipandu oleh host Ahmad Rozali, giliran menyaksikan talkshow Kiai Said (K.H. Said Aqil Siraj). Kiai Said bercerita, bahwa zaman dulu memang secara kelembagaan banyak pesantren-pesantren besar salaf yang terkenal, di antaranya Pondok Lirboyo dan Sidogiri. Jika dilihat dari kondisi dan situasi hari ini, lingkungan pesantren tersebut punya karakter beragama yang bisa dibilang kaku dan “fundamental”.
Pesantren-pesantren salaf tersebut, misalnya, melarang santrinya melihat televisi atau film; melarang koran masuk ke pesantren; melarang acara seminar dan diklat di dalam pesantren; melarang santri bercelana panjang dan berkaos; atau kalau sholat mewajibkan para santri menggunakan baju lengan panjang-bersarung, dan seterusnya dan seterusnya. Kiai Said bercerita bahwa ayahnya, yang seorang kiai saleh di kampung, juga sekaku itu dalam menjalankan agama. Bahkan Kiai Said sempat mengenang, di masa muda pernah dihukum ayahnya gara-gara ketahuan menonton film India di bioskop.
Setelah mendengarkan kisah dan peristiwa yang diceritakan dua kiai NU dan kandidat kuat calon ketum PBNU di muktamar NU tahun ini, saya jadi berpikir barangkali zaman dulu, baik secara kelembagaan maupun keumatan (nahdliyin), watak dan karakter NU itu memang sangat tradisionalis. Mungkin bisa juga kita menyebutnya kolot. Wajar saja, fakta ini sesuai kondisi dan semangat zamannya (zeit geist), yang menggambarkan ciri khas NU yang tradisionalis tersebut.
Sebaliknya, di zaman kiwari, NU dianggap organisasi paling moderat, bahkan lebih moderat dari organisasi yang dulu mendaulat sebagai organisasi moderat, yakni Muhammadiyah. Cara berpikir dan gaya beragama kaum nahdliyin di zaman now jauh berbeda dengan zaman dulu. Mendengarkan cerita Kiai Said, bisa dipahami bahwa keberagamaan kaum nahdliyin zaman dulu sekaku cara beragama orang-orang salafi-wahabi di era sekarang-lah barangkali.a
Pengalaman Terpapar Pemahaman Fundamentalis-Ekstrimis
Sewaktu mondok, saya juga pernah punya pengalaman terkontaminasi pemahaman fundamentalis-ekstrimis. Tapi tentu tidak se-wow pengalaman tokoh-tokoh besar NU di atas. Saat mondok di salah satu pesantren di Ponorogo, sembari bersekolah di sebuah madrasah (tsanawiyah hingga aliyah), tersebab menuruti hobi membaca, saya sempat terpapar gagasan fundamentalis diawali dari hobi membaca dan mengoleksi majalah. Majalah-majalah tersebut, saya sadari di masa sekarang, isinya menjajakan paham radikalisme. Melalui wacana yang saya serap lewat majalah, dulu saya sempat punya pikiran bahwa masyarakat Islam di Indonesia terus dizalimi atau terdiskriminasi oleh umat agama lain. Persis seperti anggapan para anggota (eks) HTI hari ini.
Kala itu, seperti semacam ada konstruksi wacana dan pemahaman dalam diri saya—akibat ditulari majalah-majalah tersebut—bahwa sesungguhnya negara-negara Islam di seluruh dunia sedang dikooptasi atau dijadikan bulan-bulanan oleh negara-negara kafir Barat. Saya amat membenci program kristenisasi, dan kerap membuat stereotip-stereotip buruk lainnya kepada orang-orang di luar Islam. Pemahaman-pemahaman seperti itu, sedikit banyak, menurut saya, secara tidak langsung ditularkan oleh konsumsi bacaan. Saat itu saya amat aktif mengonsumsi majalah Sabili dan Hidayatullah, juga beberapa majalah seperti Tarbawi, Karima, Annida dan majalah Ummi. Bagi saya, beberapa majalah tersebut, terutama Sabili dan Hidayatulloh, adalah majalah-majalah penting yang paling saya tunggu terbitnya tiap bulan.
Jadi, bisa dibilang konsumsi dan asupan pengetahuan dan wacana keislaman masa-masa MTs dan Aliyah saya, selain saya dapat dari ngaji kitab kuning dan pelajaran di madrasah, juga saya dapat dari majalah-majalah yang dicetak oleh kalangan Islam fundamentalis. Baik itu dari majalah yang beraliran Islam dakwah, tarbiyah, maupun yang beraliran jihadi. Dalam hal ini, secara konten/isi dan tampilan perwajahan misalnya, saya lebih terprovokasi dengan majalah Sabili dan Hidayatulloh. Kalau kita identifikasi zaman sekarang, konten kedua majalah tersebut dekat dengan karakter Islam Jihadi, yang muatan-muatannya amat provokatif. Sementara majalah Tarbawi, Karima dan Ummi lebih memberi asupan nilai dari ranah gerakan Islam tarbiyah. Dan majalah Annida memberi asupan di bidang sastra Islami-nya.
Saat di pondok—padahal pesantren saya bukan pesantren modern—saya juga sempat terpapar gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang ditularkan oleh salah seorang santri seangkatan, yang berasal dari Tangerang. Barangkali ia mengudap ide-ide Ikhwanul Muslimin (IM) sudah sejak dari lingkungan rumahnya, kemudian dibawanya ke pondok. Kala itu, saya sempat dikenalkan dengan pemikiran sosok Hasan Al-Banna olehnya. Bahkan sempat membeli beberapa buku pengantar untuk mengenal lebih jauh manhaj IM, serta bersama banyak teman membuat kaos bersimbol Ikhwanul Muslimin. Di saat itu pula, konsumsi karya sastra saya seperti novel, kumcer, adalah karya-karya sastra Islam yang banyak ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena (FLP).
Alhamdulillah dalam perjalanan waktu ketika masuk bangku kuliah, saya kemudian juga lebih membuka diri terhadap berbagai bacaan dan buku-buku keislaman yang dulu sempat saya anggap liberal atau kiri dan isinya dianggap menyebarkan ajaran komunisme. Dan setelah saya baca, ternyata juga tidak mengajarkan paham komunisme.
Ketika duduk di bangku MTs dan Aliyah, saya banyak bertemu dengan pemikiran tokoh-tokoh semacam Abu A’la Al-Maududi, Sayyid Qutub, Hasan Al-Banna, dan seterusnya. Giliran masuk bangku kuliah, mulailah saya bertemu dengan tokoh-tokoh pemikir Islam dari jalur lain, yang cenderung kontra dengan pemikiran tokoh-tokoh awal. Mereka adalah Nasr Hamid Abu Zaid, Abid al-Jabiri, Muhammad Shahrur, Hasan Hanafi, dan seterusnya. Selanjutnya saya juga mengonsumsi pemikiran Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur, dan Tan Malaka. Bahkan di akhir kuliah, saya gandrung membacai karya sastra, baik puisi maupun novel, seperti karya Chairil Anwar, Romo Mangun, Ahmad Tohari, hingga Pramoedya Ananta Toer.
Menurut saya, pemikiran radikalis-fundamentalis dalam beragama memang pertama-tama cenderung ditularkan oleh pemahaman kita sendiri yang saklek terhadap agama, yang barangkali ditularkan dari watak kajian yurisprudensi (fiqih) di satu sisi dan ilmu teologi di sisi lain. Tapi ketika kita terus bergerak ke lintas bacaan dan mencoba berdialektika dengan banyak pemikiran dari berbagai buku dan gagasan di luar gagasan yang berciri skriptualis-fundamentalis, peluang selamat dari menetap pada satu bentuk pemikiran tertentu yang kolot akan lebih besar.
Dalam arti, kalau seorang santri terus membuka diri terhadap berbagai pemikiran dan wawasan dari beragam sumber, dan tidak hanya terpaku pada satu bentuk ide/gagasan atau pada satu dua tokoh pemikir, tidak menutup kemungkinan wawasan dan gaya beragamanya juga semakin tidak kolot dan bahkan adaptif (kosmopolit).
Sebagai penutup: orang boleh saja sefundamental yang dia mau. Tapi tanpa—secara berkesinambungan—membuka diri terhadap segala jenis pemikiran dan bacaan (baik yang sejalur atau yang bertentangan), kita tidak akan pernah pergi ke mana-mana (berubah) dan akan tetap tinggal sebagai seorang “radikalis”, persis seperti yang diceritakan Gus Yahya dan Kiai Said di atas. (*)
*Misbahus Surur, penulis, pengajar, dan Pengurus LTN NU Trenggalek. Ia menulis buku Sebelum Trenggalek Kini (Intrans Publishing, 2019) dan Kronik Pedalaman (Interlude & Buku Langgar, 2020).