Suatu hari, rencana sowan saya ke Mbah Hamid hampir urung ketika saya yang sudah berada tepat di depan rumahnya mendapati beliau sedang melonjorkan tubuhnya di atas sofa usang di selasar. Mbah Hamid ketiduran, batin saya. Saya lihat juga di atas meja, sebuah paperline bersampul biru tergeletak dalam kondisi terbuka di antara beberapa buku dan majalah lawas. Saya pun balik badan, berniat untuk pulang. Hingga terdengar suara istri Mbah Hamid dari dalam rumah yang meminta saya agar kembali. Akhirnya, saya dipersilakan duduk setelah ia membangunkan suaminya itu.
Saya memang sering sowan Mbah Hamid. Selain karena beliau dan istrinya cukup dekat dengan bapak dan ibu saya, juga untuk berdiskusi, atau lebih tepatnya mengumpulkan informasi tentang sejarah Nahdlatul Ulama Trenggalek beserta tokoh-tokohnya. Sebab itulah, barangkali, istrinya tidak segan untuk membangunkan Mbah Hamid ketika mengetahui saya datang.
“Ngantuk, Mas… Hari-hari ini, atas permintaan seorang jenderal di Jakarta, saya menulis tentang peristiwa 1965 di Trenggalek. Tentu berdasarkan apa yang saya alami dan saksikan sebagai pelaku,” tutur Mbah Hamid sejurus kemudian, sambil menyodorkan paperline bersampul biru itu.
Saya pun meraihnya, membuka satu per satu halaman paperline tersebut, dan membaca naskah tulisan tegak bersambung itu meski dengan sekilas lalu. Saya baca sekilas lalu sebab tema yang sedang beliau tulis memang kurang menarik bagi saya. Namun dari situ lah, saya baru benar-benar menangkap sebuah impresi pada diri Mbah Hamid: keseriusan dalam menulis!
Di usianya yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, saya lihat, Mbah Hamid terus berupaya untuk mengeluarkan seluruh memori yang terekam di kepala, merangkainya, kemudian menuangkannya ke bentuk tulisan. Seakan, beliau tidak rela jika ada secuil saja dari pengalamannya sebagai pelaku sejarah yang tidak tertransmisikan ke generasi setelahnya. Tak heran jika hampir tiap kali sowan, saya saksikan beliau selalu berjibaku dengan buku-buku yang sebagian usang, paperline, dan sebuah bolpoin di teras rumahnya. Atau kalau beliau tidak sedang di teras, buku-buku itu yang selalu tergeletak di meja.
Di usianya yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, saya lihat, Mbah Hamid terus berupaya untuk mengeluarkan seluruh memori yang terekam di kepala, merangkainya, kemudian menuangkannya ke bentuk tulisan. Seakan, beliau tidak rela jika ada secuil saja dari pengalamannya sebagai pelaku sejarah yang tidak tertransmisikan ke generasi setelahnya.
Di kesempatan lain, oleh Mbah Hamid, saya, untuk kesekian kalinya, diberi—atau lebih tepatnya dititipi—sebuah salinan naskah yang beliau ketik dengan mesin ketik manual setebal hampir seratus lima puluh halaman. Naskah itu, kata beliau, dibuat rangkap dua dengan menggunakan kertas karbon. “Sing penting ojo diilangne.” Begitu beliau berpesan saat itu. Karena memang naskah yang asli sudah diserahkan kepada seseorang dan tidak kunjung dikembalikan.
Naskah tersebut, setelah kemudian saya pelajari, di dalamnya berisi catatan-catatan penting tentang perjalanan organisasi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Trenggalek sejak pertama kali dirintis, yaitu ketika masih berupa embrio, ketika masih terbentuk kepengurusan tingkat Kring (Ranting) di beberapa desa/kelurahan, tidak lama setelah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan para muasis memaklumkan berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Surabaya pada 1926. Naskah yang saya kira bisa dijadikan referensi utama dalam penyusunan sejarah NU di Trenggalek tersebut, pada akhirnya saya gandakan dan saya kembalikan lagi ke beliau.
Selain naskah tersebut, Mbah Hamid juga sudah menulis tidak kurang dari empat belas naskah atau buku—ada yang menyebut lebih dari dua puluh—dari yang tipis hingga yang tebal. Kesemuanya berkaitan dengan Trenggalek. Sependek pengetahuan saya, masih dua atau tiga saja yang sudah diterbitkan dan dicetak dalam jumlah banyak. Saya merasa sangat beruntung memiliki beberapa di antaranya, baik yang beliau serahkan langsung maupun yang melalui putra menantunya.
Belakangan saya sadar, naskah yang beliau berikan ke saya semuanya berhubungan dengan topik yang sering saya diskusikan bersama beliau tiap kali sowan. Karena itulah kemudian, saya—jika tidak overconvidence—memaknai bahwa pemberian naskah-naskah itu bukan sekadar hadiah melainkan amanah agar saya meneruskan upaya beliau, menyusun buku tentang sejarah Nahdlatul Ulama dan para masyayikh Trenggalek.
Dalam kaitannya dengan sejarah Nahdlatul Ulama dan para masyayikh Trenggalek, Mbah Hamid, bagi saya, merupakan sosok yang istimewa. Memang, masih ada beberapa tokoh sepuh pelaku sejarah yang juga bisa dijadikan referensi yang sahih. Namun kebanyakan dari mereka, para tokoh sepuh tersebut, memilih untuk fokus mengabdikan sisa usianya guna mengasuh santri dan masyarakat setelah tidak lagi aktif sebagai pengurus, baik sebagi pengasuh pesantren maupun memangku langgar di desanya. Segenap pengalaman kesejarahan lebih mereka simpan hanya sebagai ingatan. Hanya di momen-momen tertentulah, ingatan tersebut keluar dan tertransmisikan ke generasi setelahnya.
Lain halnya dengan Mbah Hamid. Setelah usia memaksanya untuk mengakhiri keaktifannya baik sebagai pengurus NU maupun politikus, Mbah Hamid justru semakin tekun menulis. Seakan-akan, kemampuan menulis yang beliau latih semenjak menjadi guru keluar secara maksimal justru di usia senjanya. Bahkan hingga beberapa waktu, beliau masih sempat untuk menemui kolega-koleganya dulu guna menambah referensi atau sekedar untuk mengonfirmasi informasi yang diperoleh sebelumnya.
Di samping itu, Mbah Hamid adalah pelaku sejarah yang dapat dikatakan bukan berlatar pesantren, meski ayahnya memangku langgar. Hal ini menjadikan mobilitas beliau semasa khidmahnya lebih tinggi, sehingga sering bersinggungan langsung dengan banyak pihak, baik internal Nahdlatul Ulama maupun eksternal. Sebagaimana kita tahu, pada masa itu, jajaran Syuriah yang terdiri dari para kiai memegang penuh kendali kebijakan organisasi. Namun pelaksanaannya diserahkan kepada Tanfidziyah yang jamaknya dipegang oleh para aktifis. Dan Mbah Hamid termasuk di dalamnya. Pada masa-masa itu juga, Mbah Hamid menjabat Komandan Banser dan Ketua GP Ansor Trenggalek untuk beberapa periode.
Ketika menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Trenggalek, Mbah Hamid juga ditunjuk sebagai anggota Panitia Sejarah Trenggalek yang tugas utamanya antara lain mencari Hari Jadi Kabupaten Trenggalek dan menyusun buku Sejarah Kabupaten Trenggalek. Sehingga Mbah Hamid terbiasa melakukan riset dan wawancara dengan banyak pihak.
Dengan posisi yang demikian, sangat wajar jika beliau tidak hanya kaya akan pengalaman kesejarahan akan tetapi juga memiliki kemampuan yang memadai untuk menyusunnya dalam bentuk karya tulis. Itulah di antara nilai lebih yang dimiliki Mbah Hamid, di samping ingatannya yang tetap kuat di usia tuanya.
Satu lagi yang mengagumkan dari Mbah Hamid. Beliau selalu bergairah setiap diajak diskusi mengenai sejarah Nahdlatul Ulama dan GP Ansor Trenggalek, meskipun pada saat itu tubuhnya sedang melemah. Malah, pernah beliau mengaku bahwa beliau selalu siap dan bersemangat jika diminta menjadi pembicara di acara apapun untuk topik yang sama. Yang penting ada yang menjemput dan mengantarkan pulang.
Bagi saya, apa yang telah dilakukan Mbah Hamid beserta semangatnya yang terus menyala, tidak lain merupakan ikhtiar beliau untuk mewariskan ingatan kesejarahan kepada generasi setelahnya. Seakan Mbah Hamid khawatir dengan ungkapan klise dari sejarawan Perancis, Charles Seignobos: “No documents, no history” (tak ada sejarah tanpa adanya dokumen/buku). Dan, sebagaimana kata pepatah Arab, barangsiapa yang tak memiliki sejarah maka ia akan dilupakan.
Namun belum juga upaya tersebut berhasil, Allah Swt lebih dahulu memanggil beliau. Ahad pagi, 28 Februari 2021, Abdul Hamid Wilis—demikian nama lengkap beliau—menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 82 tahun. Maka tak ada kata yang tepat bagi generasi sekarang selain meneruskan segenap upaya yang telah beliau mulai.
* Oleh: Androw Dzulfikar; Direktur Media Center PCNU Trenggalek dan Wakil Sekretaris PC GP Ansor Trenggalek