Oleh : Habib Wakidatul Ihtiar*

logo nahdlatul ulama jamiyah ijtimaiyah wasathiyah

 

Nahdlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah diniyyah-ijtima’iyah yang berlandaskan Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam urusan fikih (hukum amali), NU berpegang pada mazhab empat, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Sementara dalam aspek tasawuf, NU mengikuti ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.

Dalam gerakannya, NU senantiasa berpegang teguh pada prinsip wasathiyah. Wasathiyah mengandung makna sebagai sikap tengah-tengah/ moderat, baik dalam pola pikir, bersikap, maupun bertindak. Artinya, ia tidak terlalu kaku (fundamental-radikal) dan juga tidak terlalu bebas (liberal).

Prinsip wasathiyah sendiri diyakini sebagai sebuah cara pandang/ metodologi yang paling tepat dalam kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Keyakinan akan ketepatan sikap wasathiyah ini dilandaskan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.” (Q.S. Al-Baqarah: 143)

Tuntunan berperilaku wasathiyah juga disampaikan oleh Rasulullah saw.:

خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

 “Urusan yang terbaik itu adalah yang di tengah-tengah.(HR. Baihaqi)

Kedua dalil tersebut menerangkan secara eksplisit bahwa sikap wasathiyah (tawassuth, tasamuh, tawazzun, i’tidal) merupakan perintah Allah SWT dan ajaran Rasulullah saw. bagi seluruh umat manusia. Perintah ini mengandung hikmah besar bagi terciptanya tatanan kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin.

Bersikap tengah-tengah sejatinya tidak hanya bermanfaat bagi hubungan sesama muslim (ukhuwah Islamiyyah) semata, melainkan juga untuk menjalin hubungan harmonis dengan sesama umat manusia dalam kerangka ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah. Oleh karenanya, menjadi kewajiban bagi setiap orang, utamanya seorang muslim, untuk meyakini dan mengimplementasikan perilaku wasathiyyah secara aktif dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku Ahkamul Fuqaha’: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Surabaya: Khalista dan LTN PBNU, 2019), dijelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah memiliki 10 watak wasathiyah yang tercermin dalam dalam hal-hal sebagai berikut :

  1. Melandaskan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah seperti ijma’ dan qiyas.
  2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad tidak ada jalan lain kecuali harus bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari madzhab-madzhab yang diyakini penisbatannya kepada ashab al-madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secara Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/ fikih, dan akhlak/ tasawuf, seperti dalam rincian berikut: a) Di bidang syariah/ fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. b) Di bidang akidah mengikuti mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. c) Di bidang akhlak/ tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
  3. Berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu dakwah dengan hikmah/ kearifan, mau’izhah hasanah dan mujadalah bil husna.
  4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus-menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
  5. Mengakui keutamaan dan keadilan para sahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir.
  6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
  7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa’il furu’iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah
  8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim (ahl al-qiblah).
  9. Menjaga uhkuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwah nahdhiyah adalah keharusan terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.
  10. Menjaga keseimbangan antara aspek ruhani dan jasmani dengan mengembangkan tasawuf ‘amali, majelis-majelis zikir dan shalawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Demikian 10 watak wasathiyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari Islam Ahlussunnah wal Jamaaah. Karakter wasathiyyah (tengah-tengah) dinilai sebagai karakter yang otentik dari ajaran Islam. Islam sebagai agama rahmat, harus diyakini dan diejawentahkan dalam sikap-sikap yang kaya akan nilai kesantunan, kedamaian, dan kemaslahatan. Inilah esensi utama dari prinsip wasathiyyah yang dianut oleh Nahdaltul Ulama. Wallahu a’lam.

 


* Penulis adalah Bendahara PAC GP Ansor  Trenggalek

2 comments
Tinggalkan Balasan
You May Also Like

Nuansa Wahabi Dibalik Gerakan Padri

Oleh : Ust. Afrizal el-Adzim Syahputra, Lc., MA Kemunculan gerakan Salafi-Wahabi di…

Siti dan Sayyidati: Adaptasi Islam dengan Budaya Lokal

Oleh: Misbahus Surur*    ESAI — Beberapa hari lalu secara tak sengaja saya…

Idulfitri: Merayakan Makna dan “Diri” yang Sejati

Oleh: Ustadz Surya Qalandar¹   “Al-Hubûṭ” dan Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’an, digambarkan…

Muslimah Berkarya, Muslimah Berdaya

Opini – Berstatus sebagai seorang muslimah berkarya, muslimah berdaya di era milenial ini memang dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam membentuk karakter yang